Connect with us

Review

Bahlil! Tertawalah di Atas Penderitaan Rakyat

Kelangkaan LPG 3 kg menjadi bahan candaan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di tengah penderitaan rakyat. Pernyataannya menuai kemarahan publik, mencerminkan ketidakpedulian pejabat terhadap kesulitan masyarakat.

Diana Sari N

Published

on

Monitorday.com – Di negeri yang katanya makmur ini, ternyata kemiskinan bukan lagi sekadar angka statistik, melainkan bahan lelucon bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, dalam sebuah acara politik Partai Golkar, justru menjadikan kelangkaan LPG 3 kg sebagai bahan candaan.

Ketika rakyat berjuang mendapatkan gas untuk sekadar memasak, ada seorang ibu yang harus meregang nyawa dalam antrean panjang, dan sang pejabat justru berkelakar seolah ini hanya masalah teknis biasa.

Kelangkaan LPG subsidi bukanlah hal baru. Di berbagai daerah, antrean panjang menjadi pemandangan lumrah. Orang tua, ibu rumah tangga, hingga pedagang kecil harus berjuang sejak subuh demi mendapatkan tabung gas yang kian sulit didapat. Pemerintah, dalam segala propaganda keberhasilannya, selalu berdalih bahwa distribusi LPG 3 kg sudah terkendali, padahal realitas di lapangan berbicara sebaliknya. Bukan hanya sekadar kesulitan mencari, harga pun melambung liar tanpa ada kepastian.

Dalam situasi ini, seorang pejabat negara seharusnya menjadi bagian dari solusi, bukan justru menambah luka dengan candaan yang mencerminkan kurangnya empati. Ucapan Bahlil yang menyindir bahwa gangguan pada alat pengeras suara mungkin disebabkan oleh operator yang belum kebagian LPG 3 kg bukan hanya tidak pantas, tapi juga menghina akal sehat. Bagaimana bisa seorang yang memiliki tanggung jawab atas sektor energi justru mengolok-olok krisis yang tengah dihadapi rakyatnya?

Reaksi publik pun tidak bisa dibendung. Media sosial meledak dengan kemarahan dan kekecewaan. Warganet menumpahkan kekesalannya dalam berbagai unggahan di X, mengkritik keras bagaimana seorang pejabat tinggi bisa begitu bebal terhadap penderitaan rakyat. Bukan sekadar reaksi spontan, tapi ini adalah akumulasi kemuakan terhadap elite politik yang semakin jauh dari realitas.

Seorang pengguna X dengan tajam menulis, “Kemiskinan yang selalu ditertawakan.. Mereka senang dengan kemiskinan karena peluang mereka tetap menjaga kekuasaannya.. yang bisa mereka perjualbelikan saat pemilu tiba.” Cuitan ini bukan sekadar emosi sesaat, melainkan cerminan bahwa rakyat mulai memahami pola permainan para penguasa. Kemiskinan dan kesulitan hidup rakyat bukanlah sesuatu yang ingin diatasi, melainkan dibiarkan tetap ada agar tetap bisa dimanfaatkan dalam pusaran kekuasaan.

Yang lebih menyakitkan, candaan ini muncul di tengah tragedi. Seorang ibu yang harus kehilangan nyawanya setelah antre berjam-jam untuk mendapatkan LPG 3 kg bukanlah cerita fiksi. Itu adalah kenyataan yang brutal. Nyawa manusia yang seharusnya dihargai, justru menjadi latar belakang sebuah humor murahan dari seorang menteri. Adab, etika, empati—semua lenyap di hadapan kekuasaan yang semakin pongah.

Apakah ini pertama kalinya seorang pejabat publik berkelakar di atas penderitaan rakyat? Tentu saja tidak. Sejarah politik Indonesia telah mencatat banyak episode serupa. Dari pejabat yang menyarankan rakyat makan singkong saat harga beras melonjak, hingga yang menyebut kenaikan harga BBM sebagai bentuk cinta kepada negara. Mereka hidup dalam realitas yang berbeda, di mana kemiskinan hanya sekadar wacana di ruang rapat, bukan sesuatu yang nyata mereka rasakan.

Dalam konteks kepemimpinan, tindakan seperti ini mencerminkan krisis moral yang lebih dalam. Ketika seorang pemimpin tidak lagi mampu melihat kesengsaraan rakyat sebagai sesuatu yang serius, maka ia telah kehilangan legitimasi moral untuk memimpin. Lebih dari itu, pernyataan ini adalah bentuk penghinaan terhadap mereka yang setiap hari berjuang untuk bertahan hidup. Apakah layak seorang pejabat yang demikian tetap menduduki jabatannya? Seharusnya tidak. Tapi di negeri ini, konsekuensi atas kesalahan pejabat sering kali hanyalah permintaan maaf kosong atau pernyataan bahwa ucapannya “dipelintir” media.

Persoalan energi adalah persoalan hajat hidup orang banyak. Kelangkaan LPG 3 kg bukan sekadar masalah distribusi, tapi juga mencerminkan ketidakmampuan negara dalam menjamin kebutuhan dasar warganya. Saat harga BBM, listrik, dan gas terus naik tanpa kendali, rakyat kecil dipaksa untuk semakin berhemat, sementara para pejabat tetap hidup dalam kenyamanan. Ketimpangan ini semakin tajam, menciptakan jurang yang kian lebar antara penguasa dan yang dikuasai.

Pernyataan Bahlil seharusnya menjadi alarm keras bagi publik. Jika pejabat setingkat menteri saja bisa dengan entengnya menertawakan kesulitan rakyat, bagaimana dengan pejabat lain yang lebih jauh dari sorotan media? Inilah saatnya bagi rakyat untuk tidak lagi sekadar marah di media sosial. Sudah terlalu banyak kemarahan yang berlalu begitu saja tanpa ada perubahan nyata. Demokrasi memberikan hak kepada rakyat untuk menuntut pertanggungjawaban, bukan sekadar menjadi penonton dalam sandiwara politik yang terus berulang.

Jangan biarkan kelalaian dan ketidakpedulian ini berlalu tanpa konsekuensi. Pejabat yang gagal memahami derita rakyat tidak layak dipertahankan. Jika empati sudah mati di kalangan penguasa, maka rakyatlah yang harus menghidupkan kembali perlawanan. Bukan sekadar dalam bentuk kemarahan sesaat, tetapi melalui kesadaran politik yang lebih dalam. Sebab, di negeri yang makin gaduh ini, mereka yang tertawa di atas penderitaan rakyat harus diingatkan bahwa mereka hanya bisa berkuasa sejauh rakyat mengizinkan.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Monitor Saham BUMN



News5 hours ago

Menghadapi Khauf dengan Roja’: Strategi Spiritual untuk Meningkatkan Iman

News5 hours ago

Kementerian Kebudayaan Dukung Ragam Program HISKI Majukan Sastra Indonesia

News5 hours ago

Di Depan 177 Kepala Daerah PDIP Jelang Pelantikan, Megawati Ingatkan Hal Ini

News6 hours ago

Dilantik Jadi Mendikti Saintek, Muhammadiyah Ucapkan Selamat ke Prof Brian Yuliarto

News7 hours ago

Khauf dan Roja’: Keseimbangan Emosi dalam Kehidupan Seorang Mukmin

News9 hours ago

Kerajaan Bahrain Bakal Jadi Tuan Rumah Konferensi Umat Islam Internasional

News11 hours ago

Kemendikdasmen dan BKN Sepakat Sederhanakan Aturan Kepegawaian GTK

News13 hours ago

Masjid Syeikh Zayid Solo Gelar Program Biro Jodoh Jelang Ramadhan

News16 hours ago

Kementerian Pertahanan Suriah Rekrut Mantan Milisi Sebagai Tentara

News17 hours ago

Mantan Dubes Israel di Maroko Merengek Minta Larangan Pembakaran Bendera Negaranya

Sportechment18 hours ago

Meta Respon Isu Pembatasan Akses Media Sosial

News18 hours ago

PIP 2025: Tidak Ada Kartu ATM Khusus, Ini Cara Cek dan Besaran Bantuannya

News19 hours ago

Mengenal Danantara yang Bakal Diluncurkan Prabowo

Sportechment19 hours ago

Raffi Ahmad Ungkapkan Niat Perdalam Ilmu Agama di Mesir

News20 hours ago

Manchester United Sediakan Tempat Ibadah di Stadion Old Trafford

News1 day ago

Hasil Pertemuan AS dan Rusia Soal Perang Ukraina, Apa Saja?

News1 day ago

INACRAFT 2025: UMKM Binaan BUMN Siap Tembus Pasar Global

News1 day ago

Otorita Usul Lahan Gratis untuk Kedutaan di IKN, Apa Tujuannya?

Ruang Sujud1 day ago

Praktik Muraqabah: Kunci untuk Meningkatkan Kesadaran Diri dan Keterhubungan dengan Allah

Sportechment1 day ago

Kisah Pendidikan Cristiano Ronaldo: Dikeluarkan dari Sekolah – Jadi Legenda Sepak Bola