Ruang Sujud
Bashar Al Assad Jatuh, Ini Komentar PBB
Published
4 months agoon
By
Robby Karman
Monitorday.com – Geir Pedersen, utusan PBB untuk Suriah, menyebut jatuhnya rezim Bashar al-Assad sebagai momen penting dalam sejarah Suriah.
Pedersen mengatakan peristiwa ini membuka peluang baru untuk perdamaian, rekonsiliasi, dan martabat bagi seluruh rakyat Suriah.
Bagi mereka yang mengungsi, ini adalah kesempatan untuk kembali ke rumah yang telah lama mereka tinggalkan.
Bagi keluarga yang terpisah oleh perang, ini membawa harapan untuk reuni yang selama ini dirindukan.
Pedersen juga menyoroti pentingnya keadilan bagi mereka yang ditahan secara tidak adil atau hilang selama konflik.
Assad melarikan diri dari Suriah setelah kelompok anti-rezim berhasil menguasai Ibu Kota Damaskus.
Kejatuhan rezim Assad menandai runtuhnya dominasi Partai Baath yang memerintah sejak 1963.
Sebelum jatuhnya Damaskus, kelompok oposisi telah lebih dulu menguasai kota Aleppo di utara Suriah.
Momentum ini dirayakan oleh rakyat Suriah yang telah lama menderita di bawah pemerintahan represif Assad.
Pedersen menegaskan bahwa meskipun tantangan ke depan masih besar, ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Rakyat Suriah diharapkan memanfaatkan ketahanan mereka untuk membangun negara yang bersatu dan damai.
Pedersen meminta semua pihak bersenjata untuk mematuhi hukum, melindungi warga sipil, dan menjaga lembaga publik.
Ia juga mengimbau warga Suriah untuk memprioritaskan dialog, persatuan, dan penghormatan terhadap hukum internasional.
Seluruh pihak diminta bekerja sama untuk menciptakan perdamaian dan menghormati hak asasi manusia.
Pedersen mengingatkan bahwa komitmen bersama diperlukan untuk menghormati kenangan para korban konflik.
Suriah yang adil, bebas, dan makmur kini menjadi harapan bersama untuk seluruh rakyatnya.

Mungkin Kamu Suka
Ruang Sujud
Jejak Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Published
9 hours agoon
02/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya melibatkan pejuang fisik di medan perang, tetapi juga para ulama yang memberikan kontribusi besar, baik dalam aspek spiritual maupun sosial-politik. Ulama memiliki peran yang sangat strategis dalam membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia melalui dakwah, fatwa, dan gerakan sosial yang mereka pimpin. Jejak mereka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia membuktikan bahwa ulama tidak hanya berperan dalam ranah agama, tetapi juga sebagai motor penggerak perubahan dalam sejarah bangsa.
Peran Ulama dalam Menumbuhkan Semangat Nasionalisme
Ulama di Indonesia sejak awal sudah memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk semangat nasionalisme. Sebagai pemimpin spiritual, mereka menggunakan media dakwah untuk membangkitkan rasa cinta tanah air dan kesadaran akan pentingnya perjuangan melawan penjajahan. Dalam kondisi yang penuh tekanan dan penjajahan Belanda, ulama menjadi pendorong utama dalam mempersatukan berbagai elemen bangsa untuk berjuang bersama meraih kemerdekaan.
Salah satu contoh penting adalah peran ulama dalam pergerakan Syarikat Islam (SI). Organisasi ini, yang dipimpin oleh ulama-ulama terkemuka seperti Haji Agus Salim, memberikan kontribusi besar terhadap pergerakan kemerdekaan dengan mengedepankan semangat persatuan dan nasionalisme berbasis agama. Dalam berbagai ceramah dan khutbahnya, mereka menekankan pentingnya persatuan umat Islam untuk meraih kemerdekaan.
Ulama dan Pergerakan Pesantren dalam Perjuangan Kemerdekaan
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkembang pesat di Indonesia, menjadi pusat kegiatan politik dan sosial yang turut mendukung perjuangan kemerdekaan. Para kiai dan ulama pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam menyebarkan semangat perlawanan terhadap penjajahan. Mereka mendidik generasi muda dengan nilai-nilai perjuangan, keadilan, dan kebebasan.
Selain itu, pesantren menjadi tempat penting bagi pembentukan kader-kader pejuang yang kemudian terlibat langsung dalam perlawanan fisik. Kiai Hasyim Asy’ari, seorang ulama terkemuka asal Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, tidak hanya dikenal sebagai tokoh agama, tetapi juga sebagai pemimpin perlawanan terhadap penjajahan Jepang dan Belanda. Beliau menjadi inisiator resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 yang menggerakkan umat Islam untuk berperang melawan Belanda dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Peran Ulama dalam Organisasi Nasional dan Gerakan Perjuangan
Ulama juga berperan besar dalam mendirikan dan mengembangkan berbagai organisasi nasional yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Organisasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Syarikat Islam memiliki ulama sebagai tokoh sentral dalam perjuangan mereka. Tidak hanya menggerakkan umat melalui organisasi agama, tetapi ulama juga menggerakkan umat untuk berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan secara langsung.
Pada masa penjajahan Belanda, ulama terlibat dalam berbagai pergerakan kemerdekaan, baik secara diplomatis maupun melalui aksi-aksi revolusioner. Mereka mendirikan organisasi-organisasi sosial dan politik, serta berperan dalam menyebarkan ideologi kemerdekaan. Melalui ceramah dan fatwa-fatwa, ulama mengajak umat Islam untuk berjuang melawan kolonialisme dan memperjuangkan hak-hak mereka sebagai bangsa merdeka.
Ulama dan Keterlibatannya dalam Perundingan Kemerdekaan
Selain melalui dakwah dan perjuangan fisik, ulama juga terlibat dalam proses perundingan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1945, setelah Jepang menyerah, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Dalam periode ini, ulama terlibat aktif dalam merumuskan dasar negara, terutama dalam pembahasan Piagam Jakarta, yang menegaskan prinsip-prinsip Islam dalam sistem negara Indonesia. Peran ulama dalam hal ini sangat krusial, mengingat mereka tidak hanya menjadi penjaga ajaran agama, tetapi juga penjaga nilai-nilai moral yang ingin diterapkan dalam sistem negara yang baru merdeka.
Jejak Ulama dalam Perjuangan Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, ulama tetap memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas negara dan memperjuangkan kesejahteraan umat. Mereka berperan dalam memberikan pandangan mengenai pembangunan nasional yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam. Melalui organisasi keagamaan, ulama terus berkontribusi dalam pembangunan sosial dan politik Indonesia, menjaga moralitas bangsa, dan memperjuangkan keadilan sosial.
Salah satu contoh peran ulama pasca kemerdekaan adalah keterlibatan mereka dalam pembentukan undang-undang dan kebijakan yang sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, ulama juga aktif dalam pendidikan dan dakwah untuk membentuk karakter generasi muda Indonesia yang berkepribadian Islami.
Kesimpulan
Jejak ulama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia menunjukkan bahwa mereka bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pahlawan nasional yang berperan dalam membangun dan mempertahankan kemerdekaan negara. Mereka memainkan peran yang sangat besar dalam membangkitkan semangat perjuangan, menjaga moralitas bangsa, serta berkontribusi dalam perumusan dasar-dasar negara yang merdeka. Dalam sejarah Indonesia, ulama memiliki peran sentral yang tidak hanya terbatas pada aspek agama, tetapi juga dalam aspek sosial, politik, dan kemerdekaan bangsa. Tanpa kontribusi besar dari para ulama, perjuangan kemerdekaan Indonesia mungkin tidak akan berjalan sekuat dan semulia itu.
Ruang Sujud
Peran Ulama dalam Membangun Peradaban Islam
Published
13 hours agoon
02/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Ulama memiliki peran sentral dalam membangun peradaban Islam sejak zaman Rasulullah hingga era modern. Mereka tidak hanya bertindak sebagai ahli agama, tetapi juga sebagai pemimpin intelektual, sosial, dan politik yang membentuk arah perkembangan umat Islam. Keberadaan ulama di berbagai bidang ilmu telah memberikan kontribusi besar dalam membangun peradaban Islam yang maju dan berlandaskan pada nilai-nilai keislaman.
Ulama sebagai Pewaris Nabi
Dalam Islam, ulama disebut sebagai pewaris para nabi (warasatul anbiya). Hal ini menunjukkan bahwa peran mereka bukan hanya sebatas mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjaga dan meneruskan ajaran Islam kepada generasi berikutnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud).
Dari hadis ini, jelas bahwa ulama memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kemurnian ajaran Islam serta menyebarkannya kepada umat. Mereka menjadi penjaga ilmu, moralitas, dan ketertiban sosial dalam masyarakat Muslim.
Peran Ulama dalam Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
Sejak awal peradaban Islam, ulama tidak hanya fokus pada ilmu agama, tetapi juga mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, seperti kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat.
Misalnya, Imam Al-Ghazali tidak hanya terkenal sebagai seorang teolog dan sufi, tetapi juga sebagai filsuf yang memberikan kritik mendalam terhadap pemikiran rasionalisme Yunani. Bukunya, Ihya Ulumuddin, menjadi rujukan penting dalam memahami hubungan antara syariat dan tasawuf.
Di bidang kedokteran, Ibnu Sina atau Avicenna menulis kitab Al-Qanun fi At-Tibb yang menjadi pedoman utama dalam dunia medis selama berabad-abad. Di bidang matematika, Al-Khwarizmi menemukan konsep aljabar yang menjadi dasar bagi ilmu matematika modern.
Lembaga pendidikan seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan Al-Qarawiyyin di Maroko juga berkembang atas inisiatif para ulama yang ingin menyebarkan ilmu pengetahuan secara luas. Inilah yang menjadikan dunia Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan di era kejayaan Islam.
Peran Ulama dalam Politik dan Pemerintahan
Sejarah Islam mencatat bahwa ulama tidak hanya berperan dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam politik dan pemerintahan. Banyak ulama yang menjadi penasihat para khalifah dan sultan, serta turut berjuang dalam menjaga keadilan dan kesejahteraan umat.
Di era Kekhalifahan Abbasiyah, Imam Abu Hanifah menolak tawaran menjadi hakim negara karena ingin menjaga independensi fatwanya. Sementara itu, Imam Malik dengan kitab Al-Muwatta’-nya menjadi rujukan dalam penyusunan hukum Islam di berbagai wilayah kekhalifahan.
Di Indonesia, KH Hasyim Asy’ari sebagai pendiri Nahdlatul Ulama dan KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah, menunjukkan bagaimana ulama juga berperan dalam membangun tatanan sosial yang lebih baik. Bahkan, mereka turut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, mengeluarkan fatwa jihad untuk melawan penjajah.
Ulama sebagai Penggerak Sosial dan Ekonomi
Selain dalam bidang ilmu dan politik, ulama juga berperan dalam membangun ekonomi umat. Sejak zaman Rasulullah, para ulama telah mengajarkan konsep ekonomi berbasis keadilan dan kesejahteraan. Prinsip seperti zakat, wakaf, dan perdagangan halal menjadi fondasi utama dalam sistem ekonomi Islam.
Di era modern, banyak ulama yang aktif dalam pengembangan ekonomi berbasis syariah, seperti perbankan Islam, koperasi syariah, dan wakaf produktif. Mereka membantu menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan sesuai dengan ajaran Islam, sekaligus mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat.
Tantangan Ulama di Era Modern
Di era globalisasi dan digitalisasi, ulama menghadapi tantangan baru dalam menyebarkan ajaran Islam dan mempertahankan peradaban Islam. Beberapa tantangan utama yang dihadapi ulama saat ini antara lain:
1. Kemajuan Teknologi dan Media Sosial
Teknologi informasi memungkinkan penyebaran ilmu keislaman lebih luas, tetapi juga membuka peluang bagi munculnya pemahaman Islam yang dangkal atau bahkan radikal. Ulama harus mampu menyesuaikan metode dakwah dengan perkembangan zaman agar tetap relevan bagi generasi muda.
2. Pluralisme dan Isu Sosial
Dunia modern menghadirkan beragam tantangan sosial, seperti isu toleransi, hak asasi manusia, dan persaingan ideologi. Ulama harus memiliki wawasan yang luas untuk memberikan pandangan Islam yang moderat dan relevan dengan kondisi masyarakat.
3. Ekonomi dan Kesejahteraan Umat
Kesenjangan ekonomi masih menjadi persoalan besar di banyak negara Muslim. Ulama perlu aktif dalam mengembangkan ekonomi Islam yang berkeadilan, seperti mendorong praktik bisnis halal, wakaf produktif, dan pemberdayaan ekonomi umat.
4. Pendidikan Islam yang Berkualitas
Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, sistem pendidikan Islam juga harus berkembang. Ulama memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pendidikan Islam tetap relevan dan dapat bersaing di tingkat global tanpa kehilangan esensi ajaran Islam.
Kesimpulan
Peran ulama dalam membangun peradaban Islam sangatlah besar dan mencakup berbagai bidang, mulai dari ilmu pengetahuan, pendidikan, politik, ekonomi, hingga sosial. Mereka bukan hanya sebagai penjaga ajaran agama, tetapi juga sebagai pemikir, inovator, dan pemimpin dalam masyarakat.
Di era modern, ulama dituntut untuk lebih adaptif dalam menghadapi perubahan zaman. Dengan tetap berpegang pada prinsip Islam yang kuat, mereka dapat terus membangun peradaban yang maju, berkeadilan, dan memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia.
Ruang Sujud
Ulama dan Perkembangan Ilmu Keislaman di Nusantara
Published
17 hours agoon
02/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Nusantara memiliki sejarah panjang dalam perkembangan ilmu keislaman, yang tidak lepas dari peran ulama. Sejak awal kedatangan Islam di wilayah ini, para ulama telah menjadi motor utama dalam penyebaran agama serta pengembangan berbagai disiplin ilmu keislaman. Melalui pendidikan, dakwah, dan karya tulis, mereka membentuk fondasi keislaman yang kokoh di masyarakat.
Kedatangan Islam dan Peran Ulama di Nusantara
Islam mulai masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 melalui jalur perdagangan, dengan para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan Gujarat yang membawa ajaran Islam ke daerah pesisir. Namun, penyebaran Islam tidak hanya terjadi melalui perdagangan, tetapi juga melalui dakwah para ulama.
Para ulama ini bukan hanya pendakwah, tetapi juga pendidik dan intelektual yang memperkenalkan ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, hadis, fikih, tasawuf, dan ilmu kalam. Salah satu contoh awal adalah peran Wali Songo di Jawa, yang tidak hanya menyebarkan Islam tetapi juga membangun sistem pendidikan berbasis pesantren.
Pendidikan Islam di Nusantara
Pesantren menjadi lembaga utama dalam perkembangan ilmu keislaman di Nusantara. Sejak zaman Wali Songo hingga saat ini, pesantren telah melahirkan banyak ulama besar yang berperan dalam menyebarkan ilmu dan menjaga nilai-nilai Islam.
Di antara ulama terkenal yang lahir dari sistem pesantren adalah KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), yang berperan dalam mengembangkan ilmu fikih dan tasawuf di Indonesia. Ada juga KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang membawa pendekatan modern dalam pendidikan Islam.
Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membentuk karakter santri agar memiliki akhlak yang baik. Santri diajarkan kitab-kitab klasik yang ditulis oleh ulama besar, seperti Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, Fathul Mu’in karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari, dan Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti.
Perkembangan Ilmu Tafsir di Nusantara
Ilmu tafsir berkembang pesat di Nusantara berkat kontribusi ulama yang menulis kitab tafsir dalam bahasa lokal. Salah satu ulama besar yang berkontribusi dalam bidang tafsir adalah Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, yang menulis tafsir Tafsir Marah Labid atau Tafsir Al-Munir.
Selain itu, ada juga Buya Hamka yang menulis Tafsir Al-Azhar, sebuah tafsir yang lebih kontekstual dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Tafsir-tafsir ini membantu umat Islam Nusantara memahami Al-Qur’an dengan lebih mudah dan sesuai dengan kondisi sosial budaya mereka.
Peran Ulama dalam Ilmu Fikih
Fikih merupakan salah satu cabang ilmu keislaman yang berkembang pesat di Nusantara. Para ulama di Indonesia umumnya bermazhab Syafi’i, mengikuti tradisi yang berkembang di Timur Tengah.
Ulama-ulama Nusantara banyak yang menulis kitab fikih berbahasa Melayu atau Jawa untuk memudahkan umat dalam memahami hukum Islam. Salah satu contohnya adalah kitab Sabilal Muhtadin karya Syaikh Arsyad Al-Banjari, yang menjadi rujukan fikih di Kalimantan dan sekitarnya.
Selain itu, peran ulama dalam fikih juga terlihat dalam forum-forum bahtsul masail yang digelar oleh organisasi seperti NU dan Muhammadiyah. Forum ini berfungsi untuk membahas dan merumuskan fatwa-fatwa yang relevan dengan perkembangan zaman.
Perkembangan Tasawuf di Nusantara
Tasawuf juga memiliki tempat penting dalam perkembangan ilmu keislaman di Nusantara. Banyak ulama sufi yang datang ke Indonesia untuk mengajarkan ilmu tasawuf dan mendirikan tarekat.
Syaikh Yusuf Al-Makassari adalah salah satu ulama sufi yang berpengaruh di Nusantara. Ia mengajarkan tasawuf yang tetap berpegang pada syariat dan menekankan jihad fisabilillah melawan penjajah. Ada juga Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani, yang menulis kitab Sairus Salikin sebagai panduan tasawuf bagi umat Islam di Nusantara.
Keberadaan tarekat-tarekat seperti Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syattariyah juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh tasawuf dalam kehidupan masyarakat Muslim di Indonesia. Ulama tarekat tidak hanya mengajarkan ibadah, tetapi juga membimbing umat dalam kehidupan spiritual dan sosial.
Peran Ulama dalam Ilmu Kalam dan Akidah
Ilmu kalam atau teologi Islam juga berkembang di Nusantara berkat peran ulama yang memperkenalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ulama Nusantara umumnya mengikuti pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam akidah, yang menekankan keseimbangan antara dalil naqli (wahyu) dan dalil aqli (akal). Salah satu ulama yang berkontribusi dalam pengembangan ilmu kalam di Nusantara adalah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menulis kitab-kitab teologi untuk membimbing umat dalam memahami konsep ketuhanan yang benar.
Ulama dan Pengembangan Ilmu Keislaman di Era Modern
Di era modern, ulama tidak hanya berperan dalam bidang pendidikan dan dakwah, tetapi juga dalam merespons berbagai tantangan global yang dihadapi umat Islam.
Banyak ulama yang kini memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkan ilmu keislaman, seperti melalui media sosial, podcast, dan kanal YouTube. Misalnya, Ustaz Abdul Somad, Buya Yahya, dan KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha) aktif dalam memberikan ceramah yang bisa diakses oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia.
Selain itu, institusi pendidikan Islam seperti UIN, IAIN, dan pesantren modern terus berkembang dalam mengajarkan ilmu-ilmu Islam dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan modern.
Kesimpulan
Perkembangan ilmu keislaman di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peran besar para ulama. Mereka telah berkontribusi dalam penyebaran Islam, pendidikan, penulisan kitab, serta pembinaan umat dalam berbagai aspek kehidupan.
Dari ilmu tafsir, fikih, tasawuf, hingga ilmu kalam, ulama Nusantara telah melahirkan berbagai pemikiran dan karya yang menjadi rujukan hingga kini. Di era modern, peran ulama semakin luas dengan memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkan dakwah dan ilmu Islam kepada masyarakat global.
Dengan terus berkembangnya ilmu keislaman di Nusantara, ulama diharapkan tetap berperan aktif dalam menjaga kemurnian ajaran Islam serta membimbing umat dalam menghadapi tantangan zaman.
Ruang Sujud
Peran Ulama dalam Menjaga Kemurnian Ajaran Islam
Published
21 hours agoon
02/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Ulama memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Mereka adalah pewaris para nabi yang bertanggung jawab dalam menyebarkan, mengajarkan, dan menjaga Islam agar tetap sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Sepanjang sejarah, ulama telah berperan sebagai penjaga akidah, pembimbing umat, dan pelurus pemahaman yang keliru.
Ulama sebagai Pewaris Nabi
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.” Hadis ini menegaskan bahwa ulama memiliki tugas besar dalam menyampaikan ilmu Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Pewarisan ini bukan dalam bentuk kenabian, tetapi dalam bentuk ilmu yang mereka pelajari dan ajarkan kepada umat.
Sebagai pewaris nabi, ulama bertugas memastikan bahwa ajaran Islam tidak diselewengkan oleh kepentingan pribadi, politik, atau budaya yang bertentangan dengan syariat. Mereka terus berusaha menjaga kesucian Islam dari berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merusak pemahaman dan praktik umat.
Menjaga Akidah Umat
Akidah merupakan fondasi utama dalam Islam. Ulama berperan sebagai penjaga kemurnian akidah dengan membimbing umat agar tetap dalam ajaran tauhid yang murni. Mereka menentang segala bentuk syirik, bid’ah, dan pemahaman yang bertentangan dengan prinsip Islam.
Sejarah mencatat banyak ulama yang berjuang mempertahankan akidah umat, seperti Imam Ahmad bin Hanbal yang teguh dalam mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah di tengah fitnah Mu’tazilah. Di Indonesia, ulama seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan juga berperan dalam membimbing masyarakat agar tetap berpegang pada ajaran Islam yang benar.
Meluruskan Pemahaman yang Keliru
Di setiap zaman, selalu ada pemikiran dan ajaran yang berpotensi menyesatkan umat. Ulama bertugas untuk meluruskan pemahaman yang keliru agar umat Islam tidak terjerumus dalam penyimpangan.
Misalnya, dalam sejarah Islam pernah muncul berbagai kelompok seperti Khawarij dan Mu’tazilah yang memiliki pemahaman ekstrem dalam memahami ajaran Islam. Ulama besar seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari berperan dalam meluruskan pemahaman tersebut dan mengembalikan umat kepada ajaran yang benar sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW.
Di era modern, tantangan semakin besar dengan munculnya berbagai ideologi yang mencoba mengaburkan ajaran Islam, seperti sekularisme, liberalisme, dan radikalisme. Ulama harus terus memberikan pemahaman yang benar kepada umat agar tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi yang menyimpang dari Islam.
Menyebarkan Ilmu Islam
Pentingnya ilmu dalam Islam membuat ulama memiliki tanggung jawab besar dalam menyebarkan ilmu agama kepada masyarakat. Melalui majelis taklim, pesantren, masjid, dan media modern, ulama mengajarkan tafsir Al-Qur’an, hadis, fikih, serta akhlak Islam kepada umat.
Di Indonesia, pesantren menjadi salah satu sarana utama dalam mencetak ulama dan mendidik masyarakat agar memahami Islam dengan baik. Ulama-ulama pesantren seperti KH Maimun Zubair dan KH Mustofa Bisri telah berkontribusi besar dalam menyebarkan ilmu Islam kepada umat.
Selain mengajar secara langsung, ulama juga menulis kitab dan buku yang menjadi rujukan umat Islam. Kitab-kitab karya ulama klasik seperti Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dan Tafsir Al-Jalalain karya Imam Jalaluddin As-Suyuti masih menjadi pegangan umat Islam hingga saat ini.
Membimbing Umat dalam Kehidupan Sosial
Ulama tidak hanya berperan dalam aspek keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan sosial. Mereka menjadi panutan dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat dengan memberikan solusi berdasarkan syariat Islam.
Di masa lalu, ulama seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Yusuf Al-Makassari terlibat dalam perjuangan melawan penjajahan dengan semangat jihad fi sabilillah. Mereka tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menanamkan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan.
Di era modern, ulama turut berperan dalam membimbing umat menghadapi berbagai tantangan sosial, seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan moralitas. Mereka memberikan fatwa, tausiyah, dan nasihat yang dapat menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan.
Menjaga Persatuan Umat
Salah satu tugas penting ulama adalah menjaga persatuan umat Islam. Mereka berusaha meredam konflik yang muncul di tengah masyarakat dan menyatukan umat di atas nilai-nilai Islam yang luhur.
Di Indonesia, organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang dipimpin oleh para ulama berperan dalam menjaga persatuan umat Islam di tengah keberagaman. Ulama dalam organisasi ini sering kali menjadi jembatan dalam menyelesaikan perbedaan pendapat agar tidak berujung pada perpecahan.
Kesimpulan
Ulama memiliki peran besar dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Mereka bertugas sebagai pewaris nabi, menjaga akidah, meluruskan pemahaman yang keliru, menyebarkan ilmu Islam, membimbing umat dalam kehidupan sosial, dan menjaga persatuan umat.
Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, ulama harus tetap berpegang teguh pada tugasnya dalam membimbing umat agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang menyimpang. Dengan adanya ulama yang istiqamah dalam menjalankan peran mereka, Islam akan terus terjaga sebagai agama yang murni dan membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.
Ruang Sujud
Silaturahmi dan Keberkahan Hidup: Kunci Kedamaian dan Kelimpahan Rezeki
Published
1 day agoon
01/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Silaturahmi adalah salah satu ajaran Islam yang memiliki banyak manfaat, baik secara spiritual maupun sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, menjaga hubungan dengan keluarga, saudara, dan sahabat merupakan cara untuk menciptakan kedamaian dan memperluas rezeki. Islam mengajarkan bahwa silaturahmi bukan sekadar bertemu atau berkomunikasi, tetapi juga membangun kasih sayang, menghindari permusuhan, serta mempererat persaudaraan dalam kebaikan.
Keberkahan dalam hidup sering kali dikaitkan dengan hubungan sosial yang baik. Orang yang menjaga silaturahmi akan mendapatkan kelapangan rezeki dan panjang umur, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini, kita dapat memahami bahwa menjalin silaturahmi bukan hanya bermanfaat secara sosial, tetapi juga mendatangkan keberkahan dalam berbagai aspek kehidupan.
Makna Silaturahmi dalam Islam
Silaturahmi berasal dari bahasa Arab, terdiri dari kata silah yang berarti hubungan, dan rahim yang berarti kasih sayang. Secara istilah, silaturahmi bermakna menjaga hubungan baik dengan sesama, terutama dengan keluarga, kerabat, dan sahabat, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
Islam mengajarkan bahwa silaturahmi adalah bentuk ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk menjaga hubungan kekeluargaan:
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (QS. An-Nisa: 1)
Dari ayat ini, kita bisa memahami bahwa silaturahmi merupakan perintah langsung dari Allah yang harus dijalankan oleh setiap Muslim.
Keberkahan Hidup dari Silaturahmi
Menjaga silaturahmi membawa banyak keberkahan dalam hidup. Berikut beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari menjalin hubungan yang baik dengan sesama:
1. Dilapangkan Rezeki
Hadis Rasulullah SAW menyebutkan bahwa silaturahmi dapat melapangkan rezeki. Ini tidak selalu berarti kekayaan materi, tetapi juga keberkahan dalam pekerjaan, usaha, dan kehidupan secara keseluruhan.
Silaturahmi membuka peluang baru dalam bisnis dan karier. Hubungan yang baik dengan keluarga dan teman dapat membawa informasi, rekomendasi, dan peluang kerja yang mungkin tidak kita dapatkan jika hubungan tersebut terputus.
2. Panjang Umur dan Sehat Jiwa
Menjaga hubungan baik dengan orang lain berdampak positif pada kesehatan mental dan fisik. Orang yang memiliki banyak dukungan sosial cenderung lebih bahagia dan memiliki tingkat stres yang lebih rendah.
Dalam berbagai penelitian modern, ditemukan bahwa orang yang aktif dalam menjalin hubungan sosial memiliki harapan hidup yang lebih panjang. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang menyebutkan bahwa silaturahmi dapat memperpanjang umur seseorang.
3. Menghapus Dosa dan Menambah Pahala
Silaturahmi adalah ibadah yang dapat menghapus dosa. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan manusia diperlihatkan setiap hari Kamis dan Senin. Maka Allah mengampuni setiap orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, kecuali seseorang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Allah berfirman, ‘Tangguhkan dahulu keduanya ini sampai mereka berdamai.’” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa memutus silaturahmi dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan ampunan Allah. Oleh karena itu, menjaga hubungan baik dengan sesama sangat dianjurkan agar kehidupan kita semakin berkah.
4. Meningkatkan Kedamaian dan Kebahagiaan
Silaturahmi membawa kedamaian dalam hidup. Hubungan yang harmonis dengan keluarga dan teman membuat hati lebih tenang. Ketika terjadi konflik, Islam mengajarkan untuk segera meminta maaf dan memperbaiki hubungan.
Dalam kehidupan sosial, orang yang aktif menjalin silaturahmi cenderung memiliki lebih banyak teman dan lebih sedikit musuh. Hal ini menciptakan lingkungan yang lebih nyaman dan penuh dengan kebahagiaan.
Cara Menjaga Silaturahmi Agar Hidup Lebih Berkah
Menjalin dan menjaga silaturahmi membutuhkan usaha dan kesadaran. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjaga hubungan baik dengan sesama:
1. Menyempatkan Waktu untuk Bertemu
Sesibuk apa pun, luangkan waktu untuk mengunjungi keluarga atau sahabat. Tidak harus sering, tetapi setidaknya sesekali lakukan kunjungan untuk menunjukkan kepedulian.
2. Memanfaatkan Teknologi untuk Berkomunikasi
Di era digital, komunikasi menjadi lebih mudah dengan adanya telepon, pesan singkat, dan media sosial. Jika tidak bisa bertemu langsung, tetaplah menjalin komunikasi melalui pesan atau video call agar hubungan tetap terjaga.
3. Menghadiri Acara Keluarga dan Sosial
Acara pernikahan, tahlilan, atau reuni adalah kesempatan untuk mempererat hubungan. Jangan hanya hadir saat ada kebahagiaan, tetapi juga ketika ada duka, seperti melayat atau menghibur orang yang sedang mengalami kesulitan.
4. Saling Membantu dan Berbagi Rezeki
Silaturahmi dapat diperkuat dengan sikap saling tolong-menolong. Memberikan bantuan kepada keluarga atau teman dalam kesulitan adalah salah satu cara terbaik untuk menjaga hubungan yang baik.
5. Menghindari Konflik dan Menjadi Pemaaf
Ketika terjadi kesalahpahaman, segera selesaikan dengan cara yang baik. Islam mengajarkan untuk selalu memaafkan dan mengedepankan kedamaian dalam hubungan sosial.
6. Mendoakan Kebaikan untuk Orang Lain
Salah satu bentuk silaturahmi yang sederhana tetapi sangat bermanfaat adalah dengan mendoakan orang lain. Rasulullah SAW bersabda:
“Doa seorang Muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya adalah doa yang mustajab.” (HR. Muslim)
Dengan mendoakan orang lain, hubungan akan semakin erat dan penuh dengan keberkahan.
Kesimpulan
Silaturahmi adalah kunci keberkahan hidup yang membawa kedamaian dan kelimpahan rezeki. Islam mengajarkan bahwa menjaga hubungan baik dengan keluarga, sahabat, dan sesama Muslim adalah bagian dari ibadah yang mendatangkan pahala besar.
Keberkahan dalam hidup tidak hanya datang dari kekayaan materi, tetapi juga dari kebahagiaan, kesehatan, dan hubungan sosial yang harmonis. Dengan menjalin silaturahmi, kita dapat memperoleh ketenangan hati, memperluas rezeki, serta mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Oleh karena itu, mari kita jadikan silaturahmi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Jangan biarkan kesibukan atau ego menghalangi kita untuk tetap menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitar kita. Semoga dengan silaturahmi, hidup kita semakin berkah dan penuh kebahagiaan.
Ruang Sujud
Silaturahmi dalam Islam: Makna, Manfaat, dan Cara Menjaganya
Published
2 days agoon
01/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Silaturahmi adalah salah satu ajaran penting dalam Islam yang menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama, terutama keluarga, saudara, dan sahabat. Dalam ajaran Islam, silaturahmi bukan hanya tentang berkunjung atau bertemu, tetapi juga mencakup segala bentuk interaksi yang mempererat hubungan dan menciptakan kedamaian.
Allah SWT dan Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya menjaga silaturahmi. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (QS. An-Nisa: 1)
Hadis Rasulullah SAW juga menyebutkan bahwa menjaga silaturahmi dapat memperpanjang umur dan melapangkan rezeki. Oleh karena itu, sebagai umat Muslim, kita harus memahami makna silaturahmi, manfaatnya, serta bagaimana cara menjaganya agar kehidupan kita lebih berkah dan harmonis.
Makna Silaturahmi dalam Islam
Silaturahmi berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu silah yang berarti hubungan dan rahim yang berarti kasih sayang atau rahmat. Dalam Islam, silaturahmi mengandung makna mempererat hubungan kekeluargaan, persaudaraan, dan persahabatan berdasarkan rasa kasih sayang dan keimanan kepada Allah.
Silaturahmi bukan hanya tentang menjaga hubungan dengan orang yang berbuat baik kepada kita, tetapi juga dengan mereka yang mungkin pernah menyakiti kita. Rasulullah SAW bersabda:
“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi itu orang yang membalas kebaikan, tetapi orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang tetap menyambung hubungan dengan orang yang telah memutuskannya.” (HR. Bukhari)
Dari hadis ini, kita bisa belajar bahwa silaturahmi adalah bentuk akhlak mulia yang menuntut ketulusan hati dalam menjaga hubungan dengan sesama.
Manfaat Silaturahmi dalam Islam
Silaturahmi tidak hanya membawa pahala, tetapi juga memberikan banyak manfaat bagi kehidupan seseorang, baik dari segi spiritual, sosial, maupun psikologis.
1. Mendapatkan Ridha dan Keberkahan dari Allah
Menjaga silaturahmi adalah salah satu bentuk ibadah yang dicintai oleh Allah. Dalam hadis disebutkan bahwa siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya, hendaklah ia menyambung silaturahmi. (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Mempererat Ukhuwah Islamiyah
Silaturahmi membantu mempererat hubungan antar sesama Muslim. Dengan menjaga komunikasi yang baik, kesalahpahaman dan permusuhan dapat dihindari, sehingga tercipta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Menambah Rezeki dan Keberkahan dalam Hidup
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari hadis ini, kita bisa memahami bahwa menjalin hubungan baik dengan orang lain dapat membuka pintu-pintu rezeki.
4. Menghapus Dosa dan Meningkatkan Kesehatan Mental
Silaturahmi dapat membantu seseorang mengurangi beban pikiran dan stres. Dengan berbagi cerita dan mendapatkan dukungan dari keluarga atau sahabat, seseorang akan merasa lebih tenang. Selain itu, menjaga hubungan baik juga dapat menjadi ladang pahala dan menghapus dosa-dosa kecil.
5. Membuka Peluang dan Kesempatan Baru
Dalam kehidupan sosial dan profesional, memiliki jaringan yang luas sangatlah penting. Dengan menjaga hubungan baik, seseorang bisa mendapatkan berbagai peluang baru, baik dalam hal bisnis, pekerjaan, maupun aspek kehidupan lainnya.
Cara Menjaga Silaturahmi dalam Kehidupan Sehari-hari
Meskipun silaturahmi memiliki banyak manfaat, sering kali kita lalai dalam menjaganya karena kesibukan atau perbedaan pendapat. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjaga dan memperkuat silaturahmi:
1. Menyempatkan Waktu untuk Berkunjung
Salah satu cara terbaik untuk menjaga silaturahmi adalah dengan berkunjung langsung ke rumah keluarga atau sahabat. Tidak harus sering, tetapi setidaknya sesekali luangkan waktu untuk bertatap muka dan berbincang dengan mereka.
2. Menggunakan Teknologi untuk Tetap Terhubung
Di era digital, komunikasi menjadi lebih mudah dengan adanya telepon, pesan singkat, dan media sosial. Jika tidak bisa bertemu langsung, tetaplah menjalin komunikasi melalui pesan atau video call untuk menunjukkan kepedulian.
3. Menghadiri Acara Keluarga atau Reuni
Menghadiri acara pernikahan, tahlilan, atau pertemuan keluarga adalah kesempatan baik untuk mempererat hubungan. Jangan hanya hadir ketika ada kebahagiaan, tetapi juga saat ada kesedihan, seperti melayat atau menghibur orang yang sedang berduka.
4. Saling Memberi dan Membantu
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Dengan saling membantu dalam kebaikan, hubungan akan semakin erat dan penuh keberkahan.
5. Menghindari Konflik dan Menjadi Pemaaf
Tidak jarang, perbedaan pendapat dapat menimbulkan perselisihan. Jika terjadi konflik, usahakan untuk menjadi pihak yang lebih dulu meminta maaf atau mengajak berdamai. Sikap pemaaf dan rendah hati akan memperkuat hubungan jangka panjang.
6. Mendoakan Kebaikan untuk Orang Lain
Salah satu cara sederhana tetapi sangat bermakna dalam menjaga silaturahmi adalah dengan mendoakan kebaikan bagi orang lain. Rasulullah SAW bersabda: “Doa seorang Muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya adalah doa yang mustajab.” (HR. Muslim).
Kesimpulan
Silaturahmi adalah ajaran mulia dalam Islam yang memiliki banyak manfaat, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Menjaga silaturahmi bukan hanya tentang berkomunikasi, tetapi juga tentang membangun hubungan yang penuh kasih sayang, saling membantu, dan menjauhi konflik.
Dengan menjaga silaturahmi, seseorang tidak hanya mendapatkan keberkahan dalam hidup, tetapi juga memperkuat hubungan sosial dan memperluas rezeki. Oleh karena itu, jangan biarkan kesibukan atau ego menghalangi kita untuk tetap menjalin hubungan baik dengan keluarga, sahabat, dan sesama Muslim. Mari jadikan silaturahmi sebagai bagian dari ibadah dan upaya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Ruang Sujud
Silaturahmi di Era Digital: Memanfaatkan Teknologi untuk Menjaga Hubungan
Published
2 days agoon
01/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Silaturahmi adalah bagian penting dalam kehidupan sosial manusia. Dalam Islam, menjaga silaturahmi merupakan ajaran yang sangat ditekankan karena dapat mempererat hubungan, membawa keberkahan, serta membuka pintu rezeki. Namun, di era digital seperti sekarang, cara menjaga silaturahmi telah mengalami perubahan besar. Jika dulu silaturahmi lebih banyak dilakukan secara langsung melalui pertemuan fisik, kini teknologi memungkinkan kita untuk tetap terhubung tanpa harus bertatap muka.
Dengan adanya internet, media sosial, dan berbagai aplikasi komunikasi, menjaga hubungan dengan keluarga, sahabat, maupun kolega menjadi lebih mudah. Namun, di sisi lain, era digital juga menghadirkan tantangan tersendiri dalam menjaga kehangatan silaturahmi. Artikel ini akan membahas bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk mempererat hubungan sosial serta bagaimana kita dapat mengatasi tantangan yang muncul akibat perubahan cara berkomunikasi.
Peran Teknologi dalam Mempermudah Silaturahmi
Seiring berkembangnya teknologi, manusia semakin dimudahkan dalam berkomunikasi. Beberapa manfaat utama teknologi dalam menjaga silaturahmi antara lain:
1. Kemudahan Berkomunikasi dengan Jarak Jauh
Dulu, jika seseorang ingin menyapa keluarga atau sahabat yang tinggal di kota lain, mereka harus mengirim surat atau menunggu momen khusus untuk bertemu. Kini, dengan adanya aplikasi pesan instan seperti WhatsApp, Telegram, dan Line, komunikasi dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja.
2. Video Call untuk Interaksi Lebih Personal
Jika sekadar mengirim pesan terasa kurang, video call menjadi solusi yang lebih mendekatkan. Aplikasi seperti Zoom, Google Meet, dan FaceTime memungkinkan orang untuk melihat ekspresi lawan bicara mereka secara langsung. Hal ini sangat membantu, terutama bagi mereka yang tinggal berjauhan dengan keluarga atau teman dekat.
3. Media Sosial sebagai Sarana Berbagi Kehidupan
Platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter memungkinkan seseorang untuk berbagi momen penting dalam hidup mereka, baik dalam bentuk foto, video, maupun status tulisan. Dengan cara ini, teman dan keluarga tetap bisa mengikuti perkembangan kehidupan satu sama lain meskipun jarang bertemu secara langsung.
4. Grup Chat untuk Menjaga Kebersamaan
Fitur grup dalam aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram memungkinkan keluarga atau komunitas untuk tetap terhubung dalam satu ruang percakapan. Grup keluarga, alumni sekolah, atau komunitas tertentu sering kali menjadi sarana penting untuk menjaga silaturahmi.
Tantangan Silaturahmi di Era Digital
Meskipun teknologi memberikan banyak kemudahan, ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan dalam menjaga silaturahmi di era digital:
1. Kurangnya Interaksi Fisik
Meskipun komunikasi digital sangat praktis, tidak ada yang bisa menggantikan kehangatan pertemuan langsung. Bertemu secara fisik memiliki nilai emosional yang lebih tinggi dibandingkan hanya berkomunikasi melalui layar.
2. Kesalahpahaman dalam Komunikasi
Terkadang, pesan teks dapat disalahartikan karena kurangnya ekspresi wajah dan nada suara. Hal ini bisa menyebabkan kesalahpahaman yang dapat merusak hubungan jika tidak segera diklarifikasi.
3. Ketergantungan Berlebihan pada Media Sosial
Beberapa orang merasa cukup dengan melihat unggahan teman atau keluarga di media sosial tanpa benar-benar berkomunikasi langsung. Padahal, silaturahmi yang sesungguhnya bukan hanya tentang melihat kabar seseorang, tetapi juga tentang berinteraksi secara aktif.
4. Gangguan dari Teknologi itu Sendiri
Ironisnya, meskipun teknologi mempermudah komunikasi, terkadang justru menghalangi silaturahmi yang sebenarnya. Misalnya, dalam sebuah pertemuan keluarga, banyak orang yang lebih sibuk dengan ponsel mereka daripada berbicara langsung dengan anggota keluarga yang hadir.
Cara Memanfaatkan Teknologi untuk Silaturahmi yang Lebih Berkualitas
Agar silaturahmi tetap hangat dan bermakna di era digital, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
1. Gunakan Teknologi dengan Bijak
Manfaatkan teknologi untuk memperkuat hubungan, bukan menggantikannya sepenuhnya. Misalnya, gunakan video call sebagai pengganti pertemuan fisik hanya jika pertemuan langsung tidak memungkinkan.
2. Tetap Luangkan Waktu untuk Bertemu Langsung
Sesekali, usahakan untuk bertemu langsung dengan keluarga dan teman. Silaturahmi yang dilakukan secara tatap muka memiliki dampak yang lebih besar dalam membangun kedekatan emosional.
3. Gunakan Media Sosial untuk Berbagi Hal Positif
Media sosial bisa menjadi alat yang baik untuk menjaga silaturahmi jika digunakan dengan cara yang tepat. Bagikan cerita, motivasi, atau kabar baik yang dapat mempererat hubungan, bukan hanya sekadar update status tanpa makna.
4. Hindari Komunikasi yang Bisa Menimbulkan Kesalahpahaman
Saat mengirim pesan teks, gunakan bahasa yang jelas dan hindari kata-kata yang bisa menimbulkan tafsir ganda. Jika memungkinkan, gunakan emoji atau voice note untuk menambahkan ekspresi dalam pesan.
5. Jadwalkan Waktu Khusus untuk Berkomunikasi dengan Keluarga
Salah satu cara efektif untuk menjaga silaturahmi adalah dengan menjadwalkan waktu tertentu untuk berkomunikasi dengan keluarga atau sahabat. Misalnya, menelepon orang tua setiap akhir pekan atau mengatur pertemuan rutin dengan teman lama.
Kesimpulan
Silaturahmi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia, dan teknologi telah memberikan banyak kemudahan dalam menjaga hubungan dengan orang-orang terdekat. Namun, penting untuk tetap menjaga keseimbangan antara komunikasi digital dan interaksi langsung agar hubungan tetap hangat dan bermakna.
Memanfaatkan teknologi dengan bijak dapat membantu mempererat ukhuwah dan menjaga silaturahmi tetap hidup di tengah kesibukan modern. Dengan menghindari ketergantungan berlebihan pada komunikasi virtual dan tetap meluangkan waktu untuk bertemu secara langsung, kita dapat menjaga hubungan sosial yang lebih sehat dan berkualitas.
Ruang Sujud
Manfaat Silaturahmi dalam Islam: Mempererat Ukhuwah dan Membuka Rezeki
Published
2 days agoon
01/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Silaturahmi adalah salah satu ajaran penting dalam Islam yang memiliki banyak manfaat, baik dari segi spiritual, sosial, maupun ekonomi. Dalam Al-Qur’an dan hadis, silaturahmi dianjurkan sebagai bagian dari kehidupan seorang Muslim. Bukan hanya mempererat hubungan dengan sesama, tetapi juga dipercaya membawa keberkahan dan memperpanjang umur. Artikel ini akan membahas bagaimana silaturahmi dapat mempererat ukhuwah serta menjadi salah satu sebab terbukanya pintu rezeki.
Pengertian Silaturahmi dalam Islam
Silaturahmi berasal dari bahasa Arab, yaitu silah yang berarti hubungan, dan rahim yang berarti kasih sayang atau rahmat. Dalam konteks Islam, silaturahmi adalah menjalin hubungan baik dengan keluarga, saudara, teman, dan masyarakat luas. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga hubungan sosial dan tidak memutus tali persaudaraan.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa silaturahmi memiliki dampak besar dalam kehidupan seseorang, baik dari segi duniawi maupun ukhrawi.
Silaturahmi Mempererat Ukhuwah Islamiyah
Salah satu manfaat utama dari silaturahmi adalah mempererat ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama Muslim. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka membutuhkan interaksi dan dukungan sosial dari keluarga, sahabat, dan masyarakat.
Dengan menjaga silaturahmi, seseorang dapat membangun rasa kasih sayang, saling memahami, dan menghindari permusuhan. Ketika ada perselisihan, silaturahmi dapat menjadi jembatan untuk menyelesaikan perbedaan dengan damai. Bahkan, dalam Islam dianjurkan untuk segera meminta maaf dan memperbaiki hubungan jika terjadi konflik.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10).
Ayat ini menegaskan bahwa menjaga ukhuwah adalah bagian dari ketakwaan, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan silaturahmi.
Silaturahmi sebagai Pintu Rezeki
Selain mempererat ukhuwah, silaturahmi juga memiliki manfaat besar dalam membuka pintu rezeki. Dalam kehidupan nyata, hubungan sosial sering kali menjadi faktor utama dalam mendapatkan peluang baru, baik dalam pekerjaan, bisnis, atau kemudahan dalam urusan duniawi lainnya.
Dalam dunia bisnis, misalnya, menjalin hubungan baik dengan kolega, pelanggan, dan mitra kerja dapat membantu seseorang mendapatkan rekomendasi dan peluang kerja yang lebih luas. Dalam lingkungan sosial, silaturahmi bisa menjadi jalan bagi seseorang untuk mendapatkan informasi atau bantuan yang tidak diduga sebelumnya.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi ﷺ:
“Sesungguhnya sedekah kepada orang miskin adalah (bernilai) satu sedekah, sedangkan kepada kerabat nilainya dua: sedekah dan silaturahmi.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).
Hadis ini menunjukkan bahwa menyambung hubungan dengan keluarga tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga dapat membawa keberkahan dalam kehidupan seseorang.
Dampak Silaturahmi terhadap Kesehatan dan Kebahagiaan
Silaturahmi tidak hanya berdampak pada aspek spiritual dan ekonomi, tetapi juga berpengaruh terhadap kesehatan mental dan kebahagiaan seseorang. Studi ilmiah menunjukkan bahwa orang yang memiliki hubungan sosial yang baik cenderung lebih bahagia dan memiliki tingkat stres yang lebih rendah.
Ketika seseorang merasa memiliki dukungan sosial, ia akan lebih mampu menghadapi tantangan hidup. Silaturahmi juga dapat mengurangi risiko depresi dan kecemasan, karena seseorang merasa diperhatikan dan dicintai oleh orang-orang di sekitarnya.
Dalam Islam, silaturahmi juga menjadi cara untuk saling memberi motivasi dan nasihat dalam kebaikan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa hubungan sosial yang kuat dapat menciptakan kehidupan yang lebih harmonis dan penuh dengan kasih sayang.
Silaturahmi dalam Era Digital
Di era digital seperti sekarang, menjaga silaturahmi menjadi lebih mudah dengan adanya teknologi komunikasi. Jika dahulu orang harus bertemu langsung atau berkirim surat, kini silaturahmi bisa dilakukan melalui telepon, pesan singkat, dan media sosial.
Namun, perlu diingat bahwa silaturahmi yang ideal tetap membutuhkan interaksi langsung, terutama dengan keluarga dekat. Mengunjungi orang tua, saudara, atau sahabat lama dapat memberikan kesan yang lebih mendalam dibandingkan sekadar mengirim pesan.
Kesimpulan
Silaturahmi memiliki manfaat yang sangat besar dalam kehidupan seorang Muslim. Selain mempererat ukhuwah Islamiyah, silaturahmi juga menjadi salah satu faktor yang dapat membuka pintu rezeki. Dalam Islam, silaturahmi bahkan dianggap sebagai ibadah yang dapat memperpanjang umur dan membawa keberkahan dalam hidup.
Dengan menjaga hubungan baik dengan keluarga, sahabat, dan masyarakat, seseorang tidak hanya mendapatkan manfaat duniawi, tetapi juga keberkahan ukhrawi. Oleh karena itu, mari kita terus mempererat tali silaturahmi agar kehidupan kita menjadi lebih harmonis, bahagia, dan penuh berkah.
Ruang Sujud
Makna Ketupat di Hari Raya: Simbol Lebaran yang Penuh Filosofi
Published
3 days agoon
31/03/2025
Monitorday.com – Ketupat adalah salah satu makanan khas yang selalu hadir saat Hari Raya Idul Fitri. Hidangan berbentuk segi empat ini terbuat dari beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa muda atau janur. Bukan sekadar makanan, ketupat memiliki makna mendalam yang merepresentasikan nilai-nilai Islam, budaya, dan tradisi masyarakat Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan membahas filosofi ketupat, sejarahnya, serta mengapa makanan ini begitu erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri.
1. Sejarah Ketupat dalam Tradisi Nusantara
Ketupat bukan hanya sekadar makanan yang populer di Indonesia, tetapi juga dikenal di berbagai negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura. Sejarah ketupat di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Islam dan budaya Jawa.
Menurut beberapa catatan sejarah, ketupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Ia menggunakan ketupat sebagai bagian dari dakwahnya untuk mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa yang saat itu masih kuat dengan kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha. Sunan Kalijaga mengenalkan konsep “Bakda Lebaran” dan “Bakda Kupat”, yang masing-masing merujuk pada perayaan Idul Fitri dan tradisi makan ketupat setelahnya.
Di beberapa daerah, ketupat juga memiliki nama lain. Di Bali, misalnya, makanan ini disebut sebagai “tipat” dan menjadi bagian dari ritual keagamaan Hindu. Namun, dalam Islam, ketupat lebih identik dengan simbolisasi kemenangan setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa.
2. Filosofi Ketupat dalam Budaya Islam
Ketupat bukan hanya sekadar makanan lezat yang disantap bersama opor ayam dan rendang, tetapi juga memiliki makna filosofis yang dalam. Ada beberapa simbol yang bisa diambil dari ketupat:
- Anyaman yang rumit melambangkan kehidupan manusia
Jika diperhatikan, ketupat memiliki anyaman daun kelapa yang cukup rumit. Ini melambangkan perjalanan hidup manusia yang penuh dengan kesalahan, dosa, dan cobaan. Namun, setelah melewati proses panjang, manusia bisa mencapai kesucian kembali, sebagaimana umat Islam yang kembali fitri setelah berpuasa di bulan Ramadan. - Ketupat sebagai simbol permintaan maaf
Dalam tradisi Jawa, ketupat sering disebut “kupat”, yang merupakan singkatan dari “ngaku lepat”, yang berarti mengakui kesalahan. Ini sejalan dengan makna Idul Fitri sebagai waktu untuk saling memaafkan dan memperbaiki hubungan dengan sesama. - Beras di dalam ketupat melambangkan kebersihan hati
Beras yang dimasak di dalam ketupat menggambarkan hati manusia yang kembali bersih setelah menjalani Ramadan dengan penuh ketakwaan. Ini mengingatkan kita untuk terus menjaga kesucian hati setelah Idul Fitri.
3. Ketupat dalam Perayaan Idul Fitri di Berbagai Daerah
Meskipun ketupat adalah hidangan yang umum ditemukan di seluruh Indonesia saat Lebaran, setiap daerah memiliki cara unik dalam menyajikannya.
- Di Jawa, ketupat sering disajikan dengan opor ayam dan sambal goreng hati.
Kombinasi ini menjadi menu wajib di banyak rumah saat Lebaran, menciptakan cita rasa yang gurih dan lezat. - Di Betawi, ketupat sayur lebih populer.
Ketupat disajikan dengan kuah santan berbumbu yang berisi labu siam dan tahu, serta ditambah kerupuk dan sambal. - Di Sumatra, ketupat sering dihidangkan bersama rendang atau gulai.
Ketupat menjadi pelengkap hidangan bersantan yang kaya rasa dan beraroma khas rempah. - Di Sulawesi, ketupat biasanya disandingkan dengan coto Makassar atau pallubasa.
Kuah daging sapi yang kental dan kaya rempah berpadu sempurna dengan tekstur ketupat yang lembut.
Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam merayakan Idul Fitri dengan ketupat, tetapi maknanya tetap sama, yaitu sebagai simbol kemenangan dan kebersamaan.
4. Tradisi Bakda Kupat: Perayaan Khusus Ketupat
Di beberapa daerah, ada tradisi khusus yang disebut Bakda Kupat, yaitu perayaan yang berlangsung sekitar seminggu setelah Idul Fitri. Tradisi ini masih dijalankan di beberapa wilayah di Jawa, terutama di daerah yang masih kental dengan ajaran Wali Songo.
Dalam perayaan Bakda Kupat, masyarakat akan membuat ketupat dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada tetangga dan keluarga. Tradisi ini memperkuat nilai-nilai kebersamaan, sedekah, dan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah.
5. Resep dan Cara Membuat Ketupat
Meskipun saat ini banyak ketupat instan yang dijual di pasar, membuat ketupat sendiri tetap memberikan kepuasan tersendiri. Berikut adalah cara membuat ketupat yang sederhana dan mudah diikuti:
Bahan-bahan:
- 10 bungkus ketupat dari janur
- 1 kg beras, cuci bersih dan rendam selama 30 menit
- Air secukupnya
Cara Membuat:
- Isi setiap bungkus ketupat dengan beras hingga setengah penuh. Jangan terlalu penuh agar beras memiliki ruang untuk mengembang.
- Susun ketupat di dalam panci besar dan tuangkan air hingga semua ketupat terendam.
- Rebus selama 4-5 jam dengan api sedang. Jika air mulai surut, tambahkan air panas agar ketupat tetap terendam dan matang sempurna.
- Setelah matang, angkat ketupat dan tiriskan hingga benar-benar kering sebelum disajikan.
Ketupat yang sudah matang bisa disimpan di suhu ruangan selama 2-3 hari atau disimpan di dalam kulkas untuk daya tahan yang lebih lama.
Kesimpulan
Ketupat bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga bagian dari budaya dan tradisi yang sarat makna. Dari sejarah penyebarannya oleh Sunan Kalijaga hingga simbolisasi permintaan maaf dan kebersihan hati, ketupat menjadi lambang Idul Fitri yang begitu dalam.
Saat menikmati ketupat bersama keluarga di Hari Raya, kita bisa mengingat filosofi di baliknya: kesederhanaan, kebersamaan, dan kemenangan setelah menjalani bulan Ramadan. Dengan begitu, Idul Fitri tidak hanya menjadi ajang perayaan, tetapi juga momen refleksi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Ruang Sujud
Khutbah Prof. Rokhmin: Rahasia Idul Fitri yang Terlupakan
Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa ketakwaan adalah kunci keberkahan individu dan kemajuan bangsa. Dengan meningkatkan SDM, inovasi, dan kepemimpinan yang berintegritas, Indonesia bisa mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Published
3 days agoon
31/03/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar! Laa ilaaha illallah, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd!
Dalam gema takbir yang menggema di langit Jakarta, hati umat Islam bersuka cita menyambut hari kemenangan. Idul Fitri, bukan sekadar momentum berbuka setelah sebulan berpuasa, tetapi juga perjalanan spiritual menuju kesucian jiwa dan pembaharuan diri. Seperti embun yang menetes di pagi hari, Idul Fitri membawa kesejukan bagi jiwa-jiwa yang telah ditempa oleh Ramadhan.
Di tengah lautan jamaah yang khusyuk, Masjid Jami Abu Bakar Ash-Shiddiq di Jakarta Timur menjadi saksi peristiwa yang penuh hikmah. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, seorang cendekiawan sekaligus Anggota DPR RI 2024–2029, menyampaikan khutbah dengan semangat yang membakar jiwa. Dengan suara lantang penuh inspirasi, ia mengingatkan bahwa Idul Fitri adalah momentum kemenangan bagi mereka yang telah menjalani ibadah shaum dengan penuh keikhlasan dan ketulusan kepada Allah SWT.
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah ayat 183, puasa bertujuan untuk membentuk insan yang bertakwa. Ketakwaan ini tidak hanya berkaitan dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah (hablum minallah), tetapi juga mencakup interaksi sosial (hablum minannas). Dalam khutbahnya, Prof. Rokhmin mengingatkan bahwa ketakwaan yang hakiki akan membawa keberkahan bagi individu, masyarakat, dan bangsa. Ia mengutip QS. Al-A’raf ayat 96: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Sebagai seorang intelektual dan pemimpin, Prof. Rokhmin menegaskan bahwa ketakwaan adalah pilar utama menuju kejayaan bangsa. Dalam visinya tentang Indonesia Emas 2045, ia menekankan bahwa negara yang maju, adil, dan makmur hanya dapat terwujud jika rakyatnya memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat. Kesuksesan sejati, katanya, bukan hanya diukur dari materi, tetapi dari keberkahan dan kebahagiaan yang bersumber dari ketaatan kepada Allah serta kebermanfaatan bagi sesama.
Lebih lanjut, Guru Besar IPB University ini menegaskan bahwa keberkahan hidup tidak hanya datang dari ibadah ritual semata, tetapi juga dari kerja keras, kejujuran, disiplin, serta kepedulian terhadap lingkungan dan sesama. “Jadilah umat Islam yang produktif dan inovatif. Jangan hanya berdoa, tapi juga berusaha dengan sebaik-baiknya,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa Islam mengajarkan keseimbangan antara spiritualitas dan usaha duniawi, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.
Namun, di tengah optimisme itu, Prof. Rokhmin juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi bangsa ini. Meskipun umat Islam di Indonesia telah menjalankan puasa selama lebih dari tujuh dekade sejak kemerdekaan, kualitas sumber daya manusia (SDM) masih jauh tertinggal. Data menunjukkan bahwa Indeks PISA Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara, produktivitas tenaga kerja hanya 14 USD per jam—jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih di posisi ke-112 dunia.
Selain itu, deindustrialisasi yang terus berlanjut memperparah keadaan ekonomi. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB turun drastis dari 29% pada 1997 menjadi hanya 17,8% pada 2024. Ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap). Prof. Rokhmin menggarisbawahi bahwa akar masalahnya terletak pada kepemimpinan yang lemah dalam moralitas dan ketakwaan. Banyak pemimpin terjerumus dalam korupsi dan kepentingan pribadi, sehingga menghambat kemajuan bangsa.
Di tengah situasi yang penuh tantangan ini, reformasi ekonomi menjadi keharusan. Prof. Rokhmin menawarkan solusi strategis, mulai dari peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan SDM agar lebih siap menghadapi era digital dan industri 4.0, hingga penguatan sektor UMKM dan hilirisasi industri agar nilai tambah produk nasional meningkat. Ia juga menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan agar kemakmuran bangsa dapat dinikmati oleh seluruh rakyat.
Meski tantangan besar membayangi, Prof. Rokhmin tetap optimis. Ia percaya bahwa dengan ketakwaan yang kokoh, kerja keras, dan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, Indonesia dapat mewujudkan cita-citanya sebagai Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur—negeri yang sejahtera, makmur, dan mendapat ridha Allah SWT. “Mari kita jadikan Idul Fitri ini sebagai momentum kebangkitan, bukan hanya bagi diri kita, tetapi juga bagi bangsa dan negara. Dengan iman dan takwa, insya Allah Indonesia akan berjaya!” serunya penuh semangat.
Takbir kembali berkumandang, menggetarkan langit dan hati. Hari kemenangan ini bukan hanya tentang kembali ke fitrah, tetapi juga tentang tekad untuk menjadi insan yang lebih baik, demi diri, keluarga, bangsa, dan agama. Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa Lillahil Hamd!
Monitor Saham BUMN

Idul Fitri 1446 H, Mendikdasmen: Menjaga Hati, Mengendalikan Diri

Sekolah Rakyat dan Revolusi Pendidikan Baru

Wanita Ini Jadi Korban Kekerasan Seksual Tentara Israel

Timnas U-17 Siap Tempur di Ajang Piala Asia 2025, Erick Thohir Kirim Pesan Ini

Jejak Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Terjadi Saat Shalat Jumat, Ratusan Muslim Dikhawatirkan Syahid Akibat Gempa Myanmar

Peran Ulama dalam Membangun Peradaban Islam

Trump Bicara Soal Jelang TikTok Kena Banned 5 April

Strategi Global, Dimana Posisi Indonesia?

Val Kilmer, Pemeran Batman Forever Meninggal Dunia di Usia 65 Tahun

Jika Pilpres di 2026: Prabowo-Dedi Mulyadi, Duet Paling Tepat!

Zakat dari Harta Haram, Apa Hukumnya?

Ulama dan Perkembangan Ilmu Keislaman di Nusantara

Syaikh Usamah Ar Rifa’i Terpilih Jadi Mufti Agung Suriah

Pengakuan Carlo Ancelotti Usai Real Madrid Kebobolan 4 Gol

Hari Ini Jasa Marga Berlakukan Contraflow di Tol Jagorawi Arah Puncak

Gibran Sebut Didit Prabowo Sebagai Pemersatu Tokoh Bangsa

Bomber Inter Milan Absen Lawan AC Milan di Semifinal Coppa Italia, Lha Kok Kenapa?

Polemik UU TNI!Mantan Panglima GAM Justru Pro
