Connect with us

Review

Desk Ketenagakerjaan: Solusi Harmoni Buruh dan Industri

Polri meresmikan Desk Ketenagakerjaan sebagai wadah mediasi sengketa industri, melindungi pekerja, dan mendukung pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Senin pagi kemarin, aroma kopi di meja kerja saya hampir tumpah ketika notifikasi berita muncul di layar.

“Kapolri Resmikan Desk Ketenagakerjaan,” bunyinya. Sekilas, itu hanya berita biasa. Tapi ada sesuatu yang membuat saya berhenti dan membaca lebih lanjut. Sebagai seorang pekerja, isu ini terasa personal. Apakah ini benar-benar solusi yang kita tunggu?

Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo baru saja meresmikan pembentukan Desk Ketenagakerjaan di Rupatama. Langkah ini, katanya, adalah bukti nyata keberpihakan Polri terhadap dinamika ketenagakerjaan yang kerap memanas. “Kita ingin memberikan saluran bagi rekan-rekan buruh untuk menyampaikan apa yang selama ini menjadi keluhan mereka,” tegasnya.

Sebagai seorang pemimpin, Jenderal Sigit memahami bahwa sengketa tenaga kerja bukan hanya persoalan individu, tetapi juga menyangkut stabilitas industri dan ekonomi nasional. Oleh karena itu, Desk Ketenagakerjaan dirancang sebagai ruang mediasi yang inklusif. Prosesnya pun dirancang berjenjang: mulai dari penerimaan laporan, analisis kasus, mediasi, hingga penegakan hukum sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium.

Langkah ini mendapat dukungan penuh dari Menteri Ketenagakerjaan Yassierli. Ia memuji kolaborasi ini sebagai wujud nyata dari visi Presiden untuk sinergi antar-stakeholder. “Kolaborasi seperti ini adalah bentuk negara hadir, memberikan ketenangan bagi pekerja dan kepastian hukum,” ujarnya dengan semangat.

Namun, mari kita lihat lebih dalam. Apa arti desk ini bagi para pekerja? Dalam dunia kerja yang penuh tekanan, isu seperti pemutusan hubungan kerja sepihak, gaji yang tertahan, atau kondisi kerja yang tidak manusiawi sering kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Dengan adanya desk ini, para pekerja memiliki jalur resmi untuk menyampaikan keluhan mereka. Bukan hanya itu, desk ini juga menjadi simbol harapan bahwa suara mereka akan didengar, bahwa ada mekanisme yang adil untuk menyelesaikan konflik.

Jenderal Sigit bahkan menaruh harapan besar bahwa Desk Ketenagakerjaan ini dapat menciptakan lingkungan industri yang sehat. Dalam pandangannya, buruh yang terlindungi adalah kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen. Pernyataan ini bukan sekadar ambisi, melainkan visi besar untuk membawa Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi.

Namun, tantangan tentu ada. Keberhasilan desk ini tidak hanya bergantung pada niat baik Polri atau pemerintah, tetapi juga pada bagaimana semua pihak berkolaborasi. Perusahaan harus mau membuka diri terhadap mediasi, buruh harus berani bersuara, dan masyarakat harus mendukung terciptanya dialog yang konstruktif.

Pagi itu, saya menutup berita dengan secercah harapan. Desk Ketenagakerjaan bukan sekadar kebijakan baru, tetapi sebuah langkah maju menuju harmoni antara buruh dan industri. Sebuah pengingat bahwa, di tengah dinamika global yang terus berubah, ada upaya nyata untuk melindungi yang paling rentan di antara kita.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Review

Beruk Saja Punya Ijazah, Pejabat Malu!

Dila N Andara

Published

on

Monitorday.com – Mari kita beri tepuk tangan meriah untuk para beruk di Pariaman! Di sebuah sudut negeri yang mungkin dulu cuma terkenal karena sala lauak dan tabuik, kini muncul sebuah inovasi pendidikan revolusioner: Sekolah Tinggi Ilmu Beruk (STIB). Para beruk di sini tidak sekadar belajar bergelantungan, melainkan juga serius menuntut ilmu hingga akhirnya—percaya atau tidamereka mengantongi ijazah resmi. Iya, ijazah betulan. Bukan hasil scan, bukan pula hasil “jalan belakang”.

Sementara itu, di ranah manusia, situasinya justru penuh drama dan ironi. Ada yang sibuk antre legalisir ijazah palsu, ada pula yang mengejar gelar akademik secepat kecepatan kilat—bahkan tanpa pernah merasakan bangku kuliah. Geli, ya? Tapi ini bukan sinetron komedi, ini realita negeri +62 yang penuh warna.

Di STIB, para beruk harus melewati serangkaian pendidikan keras. Mereka belajar memetik kelapa tanpa jatuh, menjaga keseimbangan di atas tali, bahkan memahami isyarat kompleks dari para pelatihnya. Mereka diuji dalam kesabaran, ketekunan, dan ketahanan mental. Intinya, para beruk ini benar-benar berjuang untuk mendapatkan ijazah mereka. Bukan sekadar modal senyum manis di foto, apalagi modal “kedekatan” dengan pejabat kampus.

Bandingkan dengan sejumlah oknum manusia yang mengaku “sarjana” dalam sekejap mata. Tanpa kuliah, tanpa skripsi, tahu-tahu sudah bergelar “Doktor Honoris Curang”. Mungkin mereka pikir gelar akademik bisa dipesan sekalian dengan bakso urat di pinggir jalan.

Sekolah Tinggi Ilmu Beruk ini mengajarkan kita satu hal mendasar: belajar itu butuh proses. Bahkan beruk pun tahu itu. Sementara sebagian manusia malah sibuk mencari jalan pintas untuk sekadar pamer gelar di belakang namanya. Kalau kata pepatah lama, “Lebih baik jadi beruk berijazah, daripada manusia berijazah palsu.”

Yang lebih menggelikan, ijazah beruk ini tidak dipakai buat nyalon bupati, apalagi mendaftar CPNS. Mereka cukup puas dengan keterampilan hidup yang nyata: memetik kelapa, menghibur wisatawan, bahkan menjadi ikon kesetiaan belajar. Sedangkan di dunia manusia? Ijazah palsu itu justru dipakai buat memoles karier, menaiki jabatan, dan sayangnya, mengatur hidup orang banyak.

Kalau beruk bisa sekolah dan sabar mengikuti proses hingga sah mendapatkan ijazah, mungkin sudah saatnya kita bertanya: siapa yang sebenarnya perlu sekolah lagi—beruk atau manusia?

Mungkin di masa depan, Sekolah Tinggi Ilmu Beruk bisa membuka program pascasarjana. Tidak mustahil para beruk bergelar S.B. (Sarjana Beruk), M.B. (Magister Beruk), hingga D.B. (Doktor Beruk) akan lebih dihormati dibanding manusia-manusia berijazah palsu yang hobinya cuma mengelabui rakyat.

Sungguh menggelikan tapi menampar keras. Pendidikan seharusnya tentang nilai, proses, dan integritas. Bukan sekadar selembar kertas bertuliskan nama panjang nan eksotis, tapi tanpa makna. Hari ini, beruk di Pariaman mengajarkan kita semua pelajaran penting: belajar sungguhan itu keren. Menipu ijazah itu memalukan.

Selamat untuk para beruk lulusan STIB! Semoga ketekunan kalian suatu hari nanti menjadi bahan refleksi nasional: kalau beruk saja bisa serius bersekolah, masa manusia kalah?

Continue Reading

Review

Hidupkan Petrus, Basmi Preman Berkedok Ormas

Ormas preman harus dibasmi tanpa kompromi. Hidupkan ketegasan ala Petrus untuk menegakkan hukum, menjaga investasi, dan melindungi hak rakyat kecil.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Di tengah kebebasan demokrasi yang berkembang di Indonesia, ada bayang-bayang gelap yang mengancam kestabilan masyarakat dan dunia usaha. Organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) yang seharusnya memberikan kontribusi positif bagi bangsa ini justru kini semakin terjerumus ke dalam praktik-praktik premanisme. Mereka memanfaatkan kedudukan mereka untuk meresahkan masyarakat dan merusak iklim investasi yang sangat dibutuhkan oleh negara. Setiap Idul Fitri, tanpa terkecuali, kita mendengar laporan tentang ormas yang selalu menuntut Tunjangan Hari Raya (THR) dari pedagang hingga pemilik usaha, tanpa rasa malu. Bahkan tak jarang, mereka melakukan pemalakan terang-terangan di area-area parkir, menuntut ‘uang keamanan’ yang seharusnya tidak mereka dapatkan.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, dengan tegas menyerukan agar pemerintah segera menindak tegas ormas-ormas yang terlibat dalam tindakan seperti ini. Dalam wawancara yang berlangsung di Kompleks MPR/DPR RI pada Kamis (24/4/2025), Aria menyatakan bahwa sudah saatnya ormas yang menyalahgunakan kekuasaannya dibubarkan. Undang-undang Ormas yang ada sudah cukup untuk melakukan pembubaran terhadap ormas yang bertindak di luar jalur hukum. Aria mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan setiap warga negara, termasuk anggota ormas, harus tunduk pada aturan yang ada.

“Semua harus dilihat dari cara pandang kita itu sebagai warga negara adalah taat hukum,” ujarnya.

Tak hanya Aria Bima, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKB, Abdullah, juga ikut mendesak agar pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Antipremanisme. Abdullah menyoroti betapa meresahkannya aksi premanisme yang berkedok ormas di berbagai daerah. Ia memberi contoh proyek pembangunan pabrik BYD di Subang, Jawa Barat, yang terganggu oleh ulah ormas yang melakukan pemalakan kepada para investor. Aksi premanisme seperti ini jelas merusak suasana investasi yang aman dan kondusif. “Seolah-olah tidak ada hukum di Indonesia. Mereka bisa seenaknya melakukan pemalakan dan pemerasan. Mereka bebas melakukan apa saja. Ini jelas tidak boleh dibiarkan,” tegas Abdullah.

Aksi premanisme ini tidak hanya mengancam dunia usaha, tetapi juga mencoreng citra organisasi kemasyarakatan yang seharusnya berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat dan membangun kerukunan antarwarga. Jika ormas tidak segera dibubarkan, maka Indonesia akan terus menghadapi masalah yang merusak fondasi hukum dan ketertiban yang telah dibangun selama ini.

Pembubaran ormas yang terlibat dalam praktik premanisme adalah langkah yang sangat tepat dan harus segera dilakukan.

Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tegas, tidak hanya sebatas memberikan peringatan, tetapi juga menerapkan sanksi yang setimpal sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Seperti yang telah dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo terhadap 2 ormas saat itu, pembubaran ormas-ormas semacam itu akan memberikan pesan kuat bahwa Indonesia tidak memberi ruang bagi pelaku kejahatan berkedok ormas.

Untuk itu, penting bagi seluruh masyarakat dan pihak berwenang untuk bersatu dalam memberantas premanisme yang menyusup ke dalam ormas. Melalui tindakan tegas yang nyata, kita dapat memastikan bahwa ormas di Indonesia kembali pada tujuan semula, yaitu untuk membangun kebersamaan dan kemajuan, bukan malah merusak dan memeras masyarakat.

Continue Reading

Review

Akademisi di Lingkungan Kekuasaan: Menjaga Kebenaran dan Integritas

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – “Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan, sementara kekuasaan adalah kendaraan yang mengantarkan kita ke tujuan.” – Imam Al-Ghazali

Di pagi yang cerah ini, saya mendapatkan sebuah artkel oleh salah seorang dosen yang memiliki pandangan sendiri terhadap keberadaan akademisi di pusaran kekuasaan. Tampaknya, kedekatan antara akademisi dan kekuasaan dinilai sebagai kedekatan kompromistis yang sifatnya penuh pragmatis. Pertanyaannya? apakah selalu begitu?

Faktanya, akademisi di lingkaran kekuasaan bukanlah fenomena baru. Sejarah menunjukkan bahwa intelektual dari perguruan tinggi sering kali terlibat dalam politik, baik sebagai penasehat, pejabat negara, maupun aktor-aktor penting dalam pemerintahan.

Fenomena ini menunjukkan pentingnya peran akademisi dalam menciptakan kebijakan yang berbasis pada ilmu pengetahuan. Namun, hubungan ini juga memunculkan tantangan besar dalam menjaga independensi dan integritas akademik.

Akademisi, dengan pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki, memiliki potensi besar untuk mempengaruhi kebijakan publik. Melalui riset ilmiah dan pendekatan berbasis bukti, mereka bisa menginjeksi kebijakan dengan perspektif yang lebih rasional dan terukur, mengisi kekosongan analitis dalam birokrasi pemerintahan yang sering kali dibayangi oleh kepentingan politik semata.

Oleh karena itu, keberadaan akademisi dalam pemerintahan dapat menguntungkan, asalkan mereka menjaga prinsip ilmiah dan tidak terjerat dalam agenda politik.

Namun, masuknya akademisi ke dalam kekuasaan juga membawa risiko besar. Godaan untuk memanfaatkan posisi strategis dalam pemerintahan dapat mempengaruhi objektivitas ilmiah mereka. Misalnya, akademisi yang terlibat dalam penyusunan kebijakan mungkin harus menghadapi dilema etika ketika kebijakan tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada hasil riset ilmiah, melainkan dipengaruhi oleh kepentingan politik.

Hal ini bisa mengancam integritas akademik mereka, apalagi jika kebijakan yang dihasilkan justru bertentangan dengan nilai-nilai ilmiah yang mereka junjung.

Tentu saja, motivasi idealisme menjadi salah satu faktor utama mengapa akademisi mendekat kepada kekuasaan. Mereka ingin memperbaiki keadaan masyarakat dan negara melalui kebijakan yang berbasis riset ilmiah. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga kepentingan pribadi dan lembaga yang mendorong mereka untuk mengambil peran di pemerintahan, seperti kesempatan untuk memperluas jaringan dan memperkuat pengaruh. Ini menjadi dilema yang harus dihadapi oleh akademisi yang terlibat dalam politik.

Namun, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, keterlibatan akademisi dalam pemerintahan dapat memperkuat posisi ilmu pengetahuan dalam pembangunan bangsa. Mereka dapat membantu merumuskan kebijakan yang lebih berbasis bukti dan data, yang pada gilirannya dapat membawa dampak positif bagi masyarakat. Kehadiran akademisi dalam pemerintahan juga dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk memperoleh kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada kebenaran ilmiah.

Sejumlah ulama dan pakar ilmu sosial juga menekankan pentingnya keberadaan akademisi dalam pemerintahan. Misalnya, Imam Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu adalah cahaya yang harus menerangi segala aspek kehidupan, termasuk dalam pemerintahan. Akademisi yang terlibat dalam pemerintahan, menurut beliau, memiliki tanggung jawab moral untuk menerjemahkan pengetahuan mereka demi kebaikan bersama.

Dengan demikian, akademisi di pemerintahan bukan hanya berfungsi sebagai penjaga kebenaran ilmiah, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat memperbaiki struktur sosial dan politik.

Namun, penting bagi akademisi untuk tetap menjaga jarak kritis dengan kekuasaan. Mereka harus tetap memegang teguh prinsip-prinsip ilmiah dan tidak tergoda oleh kekuasaan yang dapat memengaruhi objektivitas mereka.

Dalam konteks ini, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan selalu saling terkait. Kekuasaan bisa membentuk wacana yang dianggap sebagai kebenaran, dan akademisi yang terlalu dekat dengan kekuasaan bisa terperangkap dalam konstruksi kebenaran yang tidak sepenuhnya objektif.

Akademisi yang terlibat dalam kekuasaan harus mampu menjaga keseimbangan antara idealisme dan realitas politik. Mereka harus bisa memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar berlandaskan pada prinsip-prinsip ilmiah dan bukan hanya untuk kepentingan politik tertentu.

Dalam hal ini, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama. Akademisi yang terlibat dalam kebijakan publik harus terbuka terhadap evaluasi dan kritik dari masyarakat, media, dan komunitas ilmiah.

Dari sisi positifnya, keterlibatan akademisi dalam pemerintahan bisa membawa perubahan signifikan dalam sistem pemerintahan yang lebih berbasis pada bukti ilmiah dan data. Mereka dapat membantu menciptakan kebijakan yang lebih rasional, terukur, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, akademisi memiliki peran penting dalam mempengaruhi arah pembangunan bangsa dan menjaga agar kebijakan publik tidak hanya didasarkan pada kepentingan politik semata.

Namun, di sisi lain, akademisi juga harus terus mempertahankan independensi mereka. Mereka harus memastikan bahwa mereka tidak menjadi alat kekuasaan yang digunakan untuk memperkuat narasi politik tertentu yang tidak berbasis pada bukti ilmiah. Mereka harus mampu bertindak sebagai penjaga kebenaran dan tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip ilmiah, meskipun dihadapkan pada tekanan politik yang besar.

Sebagai penutup, kita harus menyadari bahwa keberadaan akademisi dalam pemerintahan bukanlah hal yang harus dipandang negatif. Justru, dengan peran yang tepat dan integritas yang kuat, akademisi dapat menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan bagi bangsa ini. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Ghazali, ilmu pengetahuan haruslah menjadi cahaya yang menerangi jalan kehidupan, dan kekuasaan harus digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sebagai negara yang terus berkembang, Indonesia sangat membutuhkan peran akademisi yang mampu menjaga integritas, kebenaran ilmiah, dan keadilan dalam setiap kebijakan yang diambil.

Continue Reading

Review

Guru Non-ASN Bakal Dapat Tunjangan, Berapa Besarannya?

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com — Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan baru berupa pemberian tunjangan bagi guru non-Aparatur Sipil Negara (non-ASN), baik di sekolah negeri maupun swasta. Besaran tunjangan yang direncanakan berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan.

Wacana ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, usai rapat tertutup Komisi X bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, pada Selasa (22/4).

“Guru-guru non-ASN dengan kualifikasi tertentu akan diberikan tunjangan. Besarnya sedang dihitung, antara Rp300 ribu sampai Rp500 ribu,” ujar Lalu dalam keterangannya yang dikutip dari Antara.

Lalu menyampaikan bahwa kebijakan ini rencananya akan diumumkan secara resmi oleh Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei mendatang.

Ia menyebutkan bahwa tunjangan ini merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan para pendidik yang belum berstatus ASN.

“Ini akan diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo tanggal 2 Mei nanti. Ini bentuk perhatian beliau terhadap dunia pendidikan kita,” tambahnya.

Tunjangan ini tidak hanya diberikan kepada guru yang sudah memiliki sertifikasi. Bahkan, menurut Lalu, program ini khusus menyasar guru-guru non-ASN yang belum sertifikasi, termasuk guru swasta dan honorer yang belum masuk dalam kategori PNS maupun PPPK.

“Ini di luar skema sertifikasi. Jadi, guru non-ASN, yang belum menjadi PNS atau PPPK, akan mendapatkan tunjangan minimal Rp300 ribu,” jelasnya.

Meski besaran tunjangan sudah mulai dirumuskan, Lalu mengungkapkan bahwa jumlah pasti penerima tunjangan masih dalam tahap perhitungan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.

“Jumlahnya belum bisa kami sampaikan, karena masih dihitung oleh kementerian. Yang pasti, besarannya akan berada di kisaran tersebut,” pungkasnya.

Continue Reading

Review

Esemka: Mobil Nasional yang Ghaib

Esemka, simbol mobil nasional, hilang misterius. Dulu dielu-elukan, kini jadi bahan satire nasional. Janji industrialisasi berubah jadi parodi panjang berbalut nasionalisme semu.

Dila N Andara

Published

on

Monitorday.com – Apa kabar mobil Esemka? Serius, ada yang tahu? Atau mobil ini memang hanya bisa hidup di tengah pidato, bukan di tengah jalan raya? Dulu dielu-elukan sebagai lambang kemandirian industri otomotif nasional, kini Esemka lebih cocok jadi karakter fiktif dalam sinetron “Janji Palsu Abadi”. Rakyat disuruh percaya, walau pabriknya seperti horor urban legend—katanya ada, tapi saksi matanya hilang satu per satu.

Mari kita kembali ke masa lalu yang penuh harapan dan ilusif itu. Tahun 2009, sebuah mobil disebut-sebut sebagai hasil karya anak SMK. Kamera televisi menyorot, pejabat tersenyum lebar, dan rakyat bersorak. “Luar biasa! Anak bangsa bisa bikin mobil!” teriak mereka yang polos hatinya dan tulus cintanya pada negeri. Bahkan, mobil itu sempat dijadikan kendaraan dinas, dipakai tokoh-tokoh penting sebagai bukti cinta tanah air—atau cinta pada panggung politik, kita tak pernah benar-benar tahu.

Namun seiring waktu, kabut tebal menyelimuti Esemka. Tidak ada showroom, tidak ada penjualan massal, tidak ada review konsumen. Yang ada hanyalah senyum canggung para pejabat ketika ditanya wartawan, dan akun-akun medsos yang beralih profesi menjadi pengarsip satire nasional.

Esemka, konon, sempat akan diproduksi massal di Boyolali. Bahkan peresmiannya digelar dengan megah. Tapi seperti biasa, peresmian di negeri ini kadang hanya simbolik. Kayak launching kembang api tanpa roket. Dentum meriah, tapi tak pernah meluncur ke angkasa. Begitu juga Esemka, lebih sering muncul di spanduk dan baliho dibanding aspal jalanan.

Lebih lucu lagi, ketika akhirnya muncul kabar bahwa Esemka ternyata bukan sepenuhnya karya anak bangsa. Ada aroma kuat impor dari Tiongkok, dengan sedikit sentuhan lokal sekadar ganti emblem dan tambal sulam dashboard. Tapi hei, bukankah semua besar itu dimulai dari mimpi? Walau mimpi itu kini berubah jadi guyonan: “Mobil Esemka itu nyata, sama nyata dengan kejujuran politisi.”

Kini, Esemka menghilang seolah tak pernah eksis. Seperti mantan yang pernah berjanji nikah, tapi setelah lima tahun cuma tinggal foto lamaran. Aneh bin ajaib, tak ada yang tahu bagaimana nasib pabriknya, bagaimana kelanjutan produksinya, dan bagaimana tanggung jawab atas gembar-gembor nasionalisme yang dulu disematkan padanya.

Lebih menggelikan lagi, di era digital ini, netizen justru lebih banyak tahu soal keberadaan mobil terbang di Dubai dibanding lokasi showroom Esemka di Indonesia. Di marketplace, Anda bisa dengan mudah mencari mobil listrik dari China, Korea, bahkan India. Tapi coba ketik “beli Esemka” — dan Anda akan disuguhi berita lama serta meme segar.

Kalau saja Esemka bisa bicara, mungkin ia akan bilang, “Maaf, saya hanya alat kampanye. Jangan terlalu serius.” Tapi karena Esemka tak pernah benar-benar menyapa rakyat dari balik kemudi, kita hanya bisa menduga: Apakah ia benar-benar gagal? Atau misinya memang bukan untuk jalanan, melainkan untuk jalan menuju kekuasaan?

Akhir kata, Esemka adalah dongeng modern—sebuah narasi patriotik dengan plot twist yang absurd. Ia adalah pelajaran bahwa tak semua janji industrialisasi perlu dipenuhi, selama rakyat cukup mudah dibuai dengan narasi dan nostalgia. Jadi, kalau Anda masih mencari Esemka, mungkin tempat terbaik adalah di museum harapan yang tak kunjung nyata, di sebelah etalase “janji kampanye yang belum ditepati”.

Continue Reading

Review

Plongoisme Merajalela, Kampus Jadi Ladang Bisu

Plongoisme menggerogoti kampus: gaya bicara kosong, pemikiran tumpul, dan kepemimpinan dangkal mengubah institusi pendidikan menjadi ladang formalitas dan ketakutan struktural.

Dila N Andara

Published

on

Monitorday.com – Kampus, seharusnya menjadi taman gagasan, malah tumbuh subur sebagai ladang plongoisme. Para pemimpin institusi pendidikan yang konon katanya cerdas, tercerahkan, dan tercerai dari gelapnya ketidaktahuan sering justru menjadi pelukis utama di kanvas kebisuan intelektual. Di ruang-ruang senat dan forum akademik, yang terdengar bukanlah gemuruh ide atau diskusi sehat, melainkan gema hampa dari kepala-kepala plongo: kosong tapi percaya diri.

Plongoisme bukan soal wajah yang selalu melongo, meskipun sering tampak demikian. Ini tentang sikap, cara berpikir, dan gaya bicara yang menelanjangi kemiskinan isi kepala. Ia hadir saat seorang petinggi kampus bicara selama 20 menit tetapi tak ada satu pun kalimat yang bernilai epistemik. Ia bersinar dalam surat edaran berlembar-lembar yang berbusa kata namun tak punya makna. Ia menjadi wabah saat dosen-dosen menulis jurnal bukan untuk memperkaya pengetahuan, melainkan demi mengisi kolom akreditasi.

Di sinilah filosofi plongisme dan dunguisme menemukan panggungnya. Plongisme adalah seni mematung dalam kebodohan yang terselubung toga; dunguisme adalah ilmu mencium angin sambil menunduk penuh perhitungan. Keduanya menari di bawah lampu sorot akademik yang meredup. Mereka mencipta suasana di mana mahasiswa takut bertanya, dosen malas berpikir, dan rektor bangga dengan plakat tanpa isi. Semua tunduk, semua patuh, semua plongo.

Ciri khas kaum plongois adalah pidato-pidato megah yang tak lebih dari parade metafora kosong. Mereka suka mengutip tokoh besar dunia, walau tak paham konteksnya. Mereka rajin menyebut “transformasi digital”, “merdeka belajar”, atau “sustainability”, tiga mantra suci yang bisa menyihir siapapun menjadi terlihat relevan. Tapi coba tanya, bagaimana implementasinya? Mereka akan menjawab dengan tatapan teduh dan senyum diplomatis, sambil berharap Anda pindah topik.

Mereka juga punya ritual: seminar internasional dengan moderator plongo dan pembicara yang lebih tertarik pada background Zoom ketimbang isi materi. Slide PowerPoint yang penuh dengan clip art dan kutipan motivasional dari Einstein (yang entah pernah berkata begitu atau tidak). Dan tentu, sesi tanya jawab yang kosong karena hadirin sudah terlatih untuk tidak berpikir apalagi bertanya.

Namun jangan salah, para plongois bukan tak punya relasi. Mereka sangat ahli dalam menjalin simpul kuasa. Lulusan program doktoral yang mereka kelola seringkali menjadi rekan bisnis ideologis: saling mengamini, saling menaikkan jabatan, saling menyebar virus plongo di setiap institusi. Plongo melahirkan plongo. Inilah reproduksi struktural dari anti-intelektualisme yang dibungkus akademik.

Ironisnya, semakin tinggi jabatan seseorang di institusi pendidikan, semakin besar potensi plongoismenya. Bukan karena bodoh secara biologis, tapi karena terlalu sibuk mengatur narasi citra daripada mengasah pikiran. Mereka takut salah, takut terlihat manusiawi, maka lebih aman menjadi boneka formalitas yang selalu tersenyum dan berkata “saya dukung program ini” pada semua hal yang lewat.

Maka jangan heran jika kampus hari ini lebih mirip museum wacana daripada laboratorium ide. Kita punya dekan yang plongo, dosen yang dunguis, dan mahasiswa yang tak tahu hendak menjadi apa, karena inspirasi di sekitarnya telah sirna, diganti formalitas birokrasi dan ketakutan sistemik. Kampus kehilangan ruh karena terlalu sibuk dengan penilaian eksternal, akreditasi semu, dan lomba siapa paling inovatif dalam meniru.

Mungkin inilah saatnya kita menyambut revolusi: bukan dengan api dan bendera, tapi dengan berpikir. Dengan menertawakan plongoisme, kita perlahan mencabut akarnya. Biarkan kampus kembali menjadi tempat berpikir, bukan hanya tempat berpakaian toga dan berfoto dengan ijazah palsu semangat.

Continue Reading

Review

Cetak Sejarah Baru Sepak Bola Indonesia

Erick Thohir ajak semua pihak mencetak sejarah baru sepak bola Indonesia di HUT ke-95 PSSI dengan menjadikan prestasi sebagai tradisi dan fokus membangun ekosistem sepak bola berkelanjutan.

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com – Pagi itu, suara sorak-sorai pecah di sebuah lapangan kampung di pelosok Jawa Tengah. Bocah-bocah berlarian mengejar bola lusuh dengan semangat layaknya final Piala Dunia. Tak ada sepatu bola, apalagi jersey mewah. Tapi semangat mereka—itulah yang dirayakan oleh Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, saat Indonesia memperingati ulang tahun ke-95 PSSI. “Inilah saatnya kita mencetak sejarah baru!” serunya penuh optimisme.

Tepat 19 April 2025, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) genap berusia 95 tahun. Usia yang nyaris seabad, dengan kisah panjang yang tak hanya mencatat kemenangan dan kekalahan, tapi juga menyimpan harapan serta semangat perlawanan. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, memanfaatkan momentum ini untuk menyulut semangat baru bagi sepak bola nasional. Dengan semangat tinggi, ia mengajak seluruh elemen—dari pengurus pusat hingga akar rumput—untuk menyatukan langkah menciptakan tonggak sejarah baru.

“Sejarah besar bukan cuma untuk dikenang, tapi juga untuk dilanjutkan,” tegas Erick saat memberi sambutan dalam perayaan ulang tahun ke-95 PSSI di The Meru, Sanur, Bali. Ia merujuk pada momen bersejarah tahun 1938, saat Hindia Belanda—yang membawa nama Indonesia—tampil di Piala Dunia Prancis. Kini, nyala api itu coba ia kobarkan kembali dengan visi transformasi sepak bola Indonesia.

Erick tidak hanya berbicara. Dalam dua tahun masa kepemimpinannya, transformasi mulai terasa nyata. Prestasi demi prestasi mulai hadir: emas SEA Games 2023 yang telah dinanti sejak 1991, lolosnya Timnas ke babak 16 besar Piala Asia 2023 untuk pertama kalinya, serta keberhasilan Timnas U-17 tampil di dua edisi Piala Dunia U-17 secara beruntun, termasuk lolos lewat kualifikasi. Langkah-langkah ini bukan hanya kemenangan di lapangan, tapi juga pesan kuat bahwa perubahan sedang terjadi.

Namun Erick tahu, kerja belum selesai. Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya menjadikan sepak bola sebagai tradisi. Bukan sekadar kegiatan musiman, tapi budaya yang hidup dalam keseharian masyarakat. Ia mengajak semua stakeholder—Exco, Asprov, klub, pemain, pelatih, wasit, hingga suporter—untuk bekerja lebih dari sekadar menjalankan tugas. Harus ada semangat membangun warisan.

“Tradisi itu dimulai dari kerja keras. Dari pembinaan usia dini sampai pembentukan tim nasional yang tangguh, semua harus saling menguatkan,” ujarnya. Tak lupa, ia juga menyampaikan apresiasi kepada pemerintah, DPR, serta masyarakat sepak bola yang telah berjuang bersama dalam proses panjang ini.

Ke depan, PSSI di bawah Erick menyiapkan roadmap jangka panjang yang telah disampaikan ke FIFA dan pemerintah. Misinya jelas: bukan hanya membina tim yang mampu bersaing di kancah internasional, tapi juga membangun ekosistem sepak bola yang profesional, sehat, dan berkelanjutan—baik untuk Timnas senior, U-20, U-17, bahkan tim putri.

Langkah ini tentu tidak mudah. Masih banyak tantangan, dari kualitas liga yang belum stabil, hingga infrastruktur dan pembinaan yang perlu ditingkatkan. Namun jika seluruh pihak bergerak dalam satu visi, maka mimpi membawa Indonesia kembali ke panggung dunia bukan lagi sekadar angan.

Momen 95 tahun ini adalah panggilan, bukan hanya perayaan. Sepak bola Indonesia tak lagi bisa hanya jadi tontonan penuh emosi tanpa arah. Ini saatnya mengubah semangat jadi sistem, gairah jadi prestasi. Dan seperti anak-anak yang berlari di lapangan kampung itu, Indonesia siap mengejar sejarahnya sendiri—dengan bola di kaki, dan mimpi di dada.

Continue Reading

Review

Tarif Trump: Indonesia Bangkit atau Tumbang?

Tarif Trump memaksa Indonesia menata ulang strategi ekspor dan ekonomi. Presiden Prabowo serukan kemandirian nasional sebagai jawaban atas perang dagang global.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Maret 2025 menjadi bulan yang dikenang sebagai momen ketika Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melemparkan bom dagang ke pentas global. Melalui kebijakan Reciprocal Tariffs, Amerika mengerek pajak ekspor dari sejumlah negara mitra dagang, termasuk Indonesia.

Gelombang kebijakan ini tak lain adalah perwujudan dari ambisi proteksionisme Trump yang mendunia, sehingga dunia pun menyematkan nama “Global Trade War” pada kebijakan itu.

Indonesia berada dalam daftar ke-10 negara yang terkena imbas, sementara China—raksasa ekonomi Asia—berada di urutan pertama. Tarif bea ekspor yang dikenakan pada Indonesia dan China sama-sama berada di angka mengejutkan: 32%. Kebijakan ini langsung menyentak sektor industri ekspor dalam negeri, terutama tekstil, garmen, sepatu, dan furnitur—empat sektor padat karya yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor ke Negeri Paman Sam.

Presiden Prabowo Subianto angkat bicara dengan nada yang tak bisa disembunyikan: serius dan reflektif. “Ini berat, karena ini masalah padat karya, tetapi kita akan cari jalan keluar, kita berani mencari pasar baru,” ujarnya dengan nada tegas namun tenang.

Kalimat itu bukan sekadar reaksi atas tekanan, melainkan isyarat arah baru: Indonesia harus berubah.

Selama bertahun-tahun, Indonesia menikmati peran sebagai mitra dagang setia Amerika. Namun loyalitas ini ternyata tidak menjadi tameng. Prabowo menggarisbawahi kondisi ini dengan ungkapan menohok, “Selama ini kita murid yang setia. Paling setia, paling loyal. Sekarang kita harus dewasa, harus bangun.” Pernyataan ini viral lewat sebuah video di TikTok, menyulut diskusi publik tentang posisi Indonesia di tengah kerasnya realitas global.

Memang, Prabowo bukan baru kali ini bicara soal kemandirian. Dalam jejak digitalnya yang luas, ia berulang kali mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada negara lain. Ia menyebut dengan gamblang, “No body is going to help us”—tak akan ada yang menolong jika kita sendiri tidak berdiri tegak.

Dan kini, momen itu datang. Indonesia dipaksa belajar lebih cepat, lebih mandiri, lebih berani.

Tarif Trump bukan hanya pukulan ekonomi, tapi juga alarm ideologis: sudah saatnya Indonesia menyusun ulang peta strategis perdagangannya. Ketergantungan terhadap pasar tunggal seperti Amerika tak bisa lagi dijadikan strategi jangka panjang. Diversifikasi pasar, penguatan industri dalam negeri, hingga diplomasi ekonomi yang lebih gesit harus segera digenjot.

Mungkin ini saatnya Indonesia menoleh lebih serius ke pasar Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Mungkin juga ini waktu yang tepat untuk mempercepat industrialisasi berbasis teknologi dan memperkuat UMKM ekspor. Apa pun jalannya, satu hal pasti: Indonesia tidak boleh hanya mengeluh atau bertahan. Indonesia harus bangkit dan mengambil kendali.

Tarif Trump adalah ujian, tapi juga peluang. Dan di balik setiap guncangan besar, selalu ada potensi kebangkitan besar. Pertanyaannya: apakah kita siap?

Continue Reading

Review

SMK Indonesia Menembus Dunia Kerja Global

1.500 lulusan SMK Indonesia siap bekerja di luar negeri, memperlihatkan kualitas keterampilan dan karakter yang siap bersaing di pasar global.

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com – Bayangkan, Anda baru saja lulus dari SMK, dan dalam hitungan bulan, Anda sudah siap bekerja di negara yang jauh, seperti Jepang atau Jerman. Itulah yang kini menjadi kenyataan bagi 1.500 lulusan SMK di seluruh Indonesia. Dengan keberanian dan semangat juang yang tinggi, mereka siap membawa keterampilan mereka ke luar negeri—mewakili Indonesia di panggung dunia.

Keberangkatan para lulusan SMK ini merupakan bagian dari program yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bersama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). 1.500 siswa dari berbagai penjuru Indonesia dilepas untuk menjalani program magang di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, hingga Korea Selatan, dalam rangka mempersiapkan mereka menghadapi dunia kerja global.

Pada acara pelepasan di SMK Mitra Industri MM2100 Cikarang, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Fajar Riza Ul Haq, mengungkapkan rasa bangga dan syukur yang mendalam. “Kami sangat senang ketika para lulusan SMK ini memiliki keberanian untuk melangkah ke dunia luar negeri dan memperkenalkan kualitas bangsa Indonesia di dunia internasional,” ungkapnya dengan penuh semangat.

Namun, ada satu pesan penting yang disampaikan oleh Fajar. Selain memiliki keterampilan teknis yang mumpuni, karakter juga menjadi hal yang tidak kalah penting. “Kita tidak hanya berbicara soal skill atau hard skill, tetapi juga tentang karakter. Seperti yang kita lihat pada seorang pekerja migran asal Indramayu yang berhasil menyelamatkan korban kebakaran di Korea, tindakan heroik semacam itu menunjukkan betapa kuatnya karakter yang dimiliki oleh pekerja migran Indonesia,” katanya.

Memang, keberangkatan ke luar negeri bukan hanya soal mencari pekerjaan, tetapi juga tentang membawa nama baik Indonesia. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menekankan bahwa para peserta magang ini adalah “duta bangsa” yang akan mencerminkan budaya kerja keras dan sopan santun yang selama ini dikenal dari rakyat Indonesia. Menurutnya, kesempatan magang ini juga menjadi peluang besar untuk meningkatkan kompetensi para lulusan SMK agar siap bersaing di tingkat global. “Ini bukan sekadar magang, tetapi langkah penting untuk memperkuat kemampuan dan membuka peluang lebih besar di pasar kerja internasional,” ujar Yassierli.

Salah satu peserta magang, Dini Amalia Saputri, mengaku sangat bersyukur bisa berangkat ke Jepang. Ia mengungkapkan betapa sulitnya proses seleksi untuk bisa lolos menjadi bagian dari program magang ini. Dari seratus orang yang mendaftar, hanya beberapa yang terpilih. Prosesnya melibatkan berbagai tes, termasuk tes bahasa Jepang, yang ia lalui dengan penuh perjuangan. Namun, bagi Dini, usaha tersebut terasa sangat berharga karena ia yakin ini akan menjadi langkah besar dalam kariernya. “Sekolahku memang pusat unggulan, dan saya sangat bersyukur bisa mendapat kesempatan ini,” katanya dengan senyum lebar.

Program ini adalah bukti nyata dari kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta yang saling mendukung dalam menciptakan generasi muda yang siap berkompetisi di dunia kerja internasional. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemenaker, BP2MI, serta dunia industri, berkomitmen untuk memperkuat kualitas pendidikan vokasi agar lulusan SMK tidak hanya siap untuk bekerja di pasar domestik, tetapi juga bisa menembus pasar global.

Dengan bekerja di luar negeri, para lulusan ini tidak hanya akan meningkatkan kemampuan teknis mereka, tetapi juga memperkaya pengalaman hidup yang akan berguna untuk kemajuan bangsa. “Ini adalah kesempatan luar biasa bagi generasi muda Indonesia untuk belajar dan berkembang, serta membawa nama Indonesia lebih jauh lagi,” ujar Fajar Riza Ul Haq dengan penuh harapan.

Continue Reading

Review

Damai yang Membunuh Palestina

Perjanjian damai Gaza yang digagas Mesir, Yordania, dan Prancis justru berpotensi membunuh perjuangan Palestina. Meletakkan senjata adalah jalan cepat menuju pembantaian.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Di tengah reruntuhan Gaza dan suara rintihan rakyat yang kehilangan keluarga, rumah, dan harapan—dunia sekali lagi berusaha menjual “perdamaian” yang semu. Tapi benarkah ini damai, atau sekadar jebakan sejarah yang sedang berulang?

Perjanjian damai yang sedang digagas oleh Presiden Mesir Abdel Fattah As-Sisi, Raja Yordania Abdullah II, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengusung misi mulia: menghentikan pertumpahan darah di Gaza. Tapi sejatinya, perjanjian ini bukan solusi—ia adalah pisau yang dibungkus pita. Salah satu syarat utama yang diajukan adalah pelucutan senjata para pejuang Hamas dengan iming-iming dana rekonstruksi miliaran dolar. Sebuah tawaran yang terdengar seperti hadiah, tapi sesungguhnya beracun.

Sejarah mengajarkan kita untuk tidak mudah lupa. Pada 1994, Ukraina melepaskan senjata nuklirnya dengan janji keamanan dari kekuatan besar. Hari ini, Ukraina dilanda perang dan kehilangan wilayahnya. Pada 1982, PLO meletakkan senjata di Lebanon setelah perjanjian damai. Hasilnya? Kamp pengungsi Sabra dan Shatila menjadi ladang pembantaian berdarah selama 43 jam, dengan ribuan warga sipil yang dibunuh secara brutal. Lalu apakah kita masih percaya bahwa pelucutan senjata adalah jalan menuju kedamaian?

Delegasi Hamas tidak bodoh. Mereka tahu, satu-satunya alasan musuh bersedia duduk di meja perundingan adalah karena mereka tidak bisa menang di medan perang. Persis seperti yang dikatakan oleh seorang wakil Taliban dalam perundingan dengan Amerika, “Senjata inilah yang membawa kalian ke meja ini.” Pernyataan ini bukan hanya cerdas, tapi mencerminkan harga diri sebuah perjuangan yang tak bisa ditukar dengan janji kosong.

Taliban akhirnya berhasil memaksa Amerika Serikat angkat kaki dari Afghanistan. Bukan karena diplomasi, tapi karena keteguhan dalam berjuang. Gaza hari ini menghadapi dilema yang sama: tunduk pada perjanjian damai yang mematikan atau terus berdiri dengan senjata sebagai satu-satunya penjaga kehormatan.

Tawaran “damai” ini menuntut para pejuang meletakkan senjata dan rakyat Gaza menerima bantuan. Tapi apakah para penandatangan perjanjian itu akan menjamin keselamatan mereka? Sejarah mengatakan: tidak. Musuh tidak menghargai kelemahan. Ketika senjata diletakkan, pembantaian dimulai. Itulah narasi yang berulang dan terus berulang dalam sejarah umat ini.

Perjanjian ini justru membuka jalan bagi penyembelihan berikutnya, bukan menghentikannya. Inilah jebakan klasik yang menyamar sebagai diplomasi. Inilah konspirasi halus yang memakai jargon “kemanusiaan” untuk memandulkan perlawanan.

Yang dibutuhkan hari ini bukan tekanan kepada para pejuang, tapi tekanan kepada penjajah. Bukan seruan untuk menyerah, tapi dukungan bagi mereka yang mempertahankan kehormatan tanah suci Al-Aqsa. Jangan jadi umat yang dua kali dibodohi oleh sejarah. Jangan biarkan Gaza menjadi Sabra dan Shatila kedua.

Hari ini, tanggung jawab kita adalah berdiri tegak. Kirimkan doa, donasi, dan desakan politik. Gunakan suara kita untuk melawan propaganda perdamaian palsu yang justru menguntungkan penjajah dan membunuh perlawanan.

Sebab satu kebenaran tak terbantahkan tetap berdiri tegak:
Bangsa yang meletakkan senjatanya, sedang menandatangani surat kematiannya sendiri.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Review4 hours ago

Beruk Saja Punya Ijazah, Pejabat Malu!

Sportechment9 hours ago

Duh! Dibantai Real Betis, Klub Milik Ronaldo Dipastikan Degradasi

Sportechment9 hours ago

Persaingan Ketat di Sprint Race MotoGP Spanyol 2025, Catat Jadwal Siaran Langsungnya

Pangan10 hours ago

Pupuk Indonesia Wujudkan Ketahanan Pangan di Forum Internasional

News10 hours ago

Mendikdasmen Tegaskan Pentingnya Penguatan Bahasa Indonesia untuk Kedaulatan Bangsa

News10 hours ago

Membasmi Judi Online

News10 hours ago

Pemuda Riau Siap Jaga Lingkungan

Review11 hours ago

Hidupkan Petrus, Basmi Preman Berkedok Ormas

News18 hours ago

Pasar Mangga Dua Jadi Sorotan Dunia

News18 hours ago

Spanyol Bangkit, Tegas Tolak Senjata Zionis

News18 hours ago

Akhirnya, Prancis Lawan Kebejatan Israel

Migas20 hours ago

Pertamina Dukung Scooter Prix 2025 di Sentul

News20 hours ago

Wamendikdasmen: Kompetensi dan Kesejahteraan Guru Jadi Prioritas Pembenahan Pendidikan

News20 hours ago

Menlu RI Bakal Hadiri Pertemuan BRICS di Brasil

News21 hours ago

Dukung Gerina, Ustaz Adi Hidayat Kenalkan Dua Program Inovatif

News22 hours ago

Mendikdasmen: Karakter Pilar Utama Pendidikan Nasional yang Berdaya Saing

Sportechment1 day ago

Cetak Sejarah di Timnas, Evandra Florasta Traktir Satu Kelas Makan Mie

Sportechment1 day ago

Jaecoo J5 Siap Mengaspal di Indonesia

Review1 day ago

Akademisi di Lingkungan Kekuasaan: Menjaga Kebenaran dan Integritas

News1 day ago

PLO Pilih Wakil Presiden Pertama, Sinyal Awal Era Baru Pascakepemimpinan Mahmoud Abbas