DI RUANG SIDANG Mahkamah Konstitusi (MK), Rizki Maulana Syafei, mahasiswa semester tujuh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, menahan napas. Jemarinya yang berkeringat menggenggam erat tas kecil di tangan kiri. Di sampingnya, Enika Maya Oktavia menatap kosong ke arah meja majelis hakim. Ketika Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan yang menyatakan ketentuan presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945, tubuh Rizki terasa lemas.
“Jujur pada waktu itu saya gemetaran sebadan-badannya,” ungkap Rizki, mengenang momen bersejarah itu.
Rizki dan tiga rekannya—Enika, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khorul Fatna—tidak pernah membayangkan akan berada di titik ini. Mereka tahu bahwa pasal tentang ambang batas pencalonan presiden adalah “pasal keramat.” Ketentuan yang mewajibkan partai atau gabungan partai memiliki 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya untuk mencalonkan presiden, telah lebih dari 30 kali digugat ke MK. Namun, semua gugatan sebelumnya gagal.
“Kami hanya ingin mencoba,” kata Faisal. “Kami tahu peluang kecil, tapi setidaknya ada harapan.”
Namun, kali ini majelis hakim MK membuat keputusan yang berbeda, keputusan yang Rizki sebut sebagai “sangat monumental.”
Putusan ini langsung memicu gelombang reaksi. Partai-partai politik besar, yang selama ini diuntungkan oleh ambang batas pencalonan, terbelah. NasDem, misalnya, mengkritisi langkah MK yang dianggap merumitkan pemilu. “Aturan ini penting untuk menyaring pemimpin kredibel,” ujar Hermawi Taslim, Sekjen NasDem.
Sementara itu, PAN dan PKS menyambut hangat keputusan ini. “Kami sudah lama berjuang untuk menghapus presidential threshold,” kata Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN.
Di luar kalangan partai, respons publik juga beragam. Beberapa menyebut putusan ini sebagai kemenangan bagi hak politik rakyat, membuka peluang bagi kandidat independen dan wajah-wajah baru dalam politik. Namun, ada pula yang khawatir sistem ini akan memecah suara pemilih dan mempersulit pembentukan pemerintahan yang stabil. Media sosial dipenuhi diskusi hangat, dari yang mendukung hingga skeptis.
“Setidaknya ini langkah menuju demokrasi yang lebih inklusif,” tulis seorang warganet.
Umbu Rauta Guru Besar dan pakar hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana. Saat dimintai tanggapan soal peristiwa di Sidang MK tersebut, ia melihat ini sebagai tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. “Ini adalah koreksi terhadap oligarki yang selama ini membelenggu politik kita,” ujarnya.
Keputusan MK menunjukkan keberanian untuk bergeser dari pandangan sebelumnya, sebuah langkah yang dianggapnya sebagai wujud judicial activism. “Namun, tantangan ke depan adalah memastikan regulasi pemilu yang lebih adil dan inklusif,” tambahnya.
Keputusan ini tidak hanya melibatkan perubahan hukum, tetapi juga membuka peluang transformasi politik yang lebih besar. Dalam lanskap politik Indonesia yang sering kali didominasi oleh elite, putusan ini adalah angin segar bagi demokrasi. Empat mahasiswa ini, dengan idealisme mereka, telah membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. “Kami hanya ingin mencoba,” kata Rizki. Dan kali ini, mereka berhasil.