Monitorday.com – Mabit dalam ibadah haji bukan sekadar bermalam secara fisik di Muzdalifah atau Mina, melainkan sebuah ibadah yang penuh dengan nilai-nilai spiritual dan sosial. Di balik aktivitas yang tampak sederhana itu, terdapat hikmah besar yang mampu memperkuat keimanan dan mengasah kepekaan hati seorang Muslim.
Salah satu hikmah utama dari mabit adalah latihan untuk bersabar dan berserah diri kepada Allah. Jamaah haji dituntut untuk meninggalkan kenyamanan hidup, tidur di tempat terbuka, tanpa kasur empuk, tanpa fasilitas mewah. Dalam kondisi tersebut, seseorang diajak untuk menyadari bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, dan kemewahan bukanlah tujuan akhir hidup ini.
Mabit juga menjadi momen perenungan dan kontemplasi, terutama di Muzdalifah yang sunyi dan lapang. Di sana, ribuan orang bermalam dalam keheningan malam, langit terbuka, dan udara dingin. Dalam suasana itu, hati lebih mudah tersentuh untuk mengingat dosa, meminta ampun, dan memperbaiki diri. Ini adalah waktu yang sangat tepat untuk menyendiri bersama Allah, jauh dari hiruk pikuk dunia.
Selain itu, mabit mengajarkan kesetaraan dan kebersamaan. Tidak peduli kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, semua orang tidur di tempat yang sama. Ini adalah bentuk nyata bahwa di hadapan Allah, semua manusia adalah sama. Yang membedakan hanyalah ketakwaan. Dari sinilah lahir nilai ukhuwah Islamiyah yang sejati — saling membantu, berbagi, dan menghargai.
Mabit juga menyimpan pelajaran dari sejarah perjuangan para nabi, terutama Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW. Di Mina, kita mengenang bagaimana Ibrahim diuji untuk menyembelih anaknya, Ismail, dan bagaimana keduanya menunjukkan ketaatan luar biasa. Mabit menjadi bagian dari kisah pengorbanan itu, sebagai refleksi bagi umat Islam agar selalu siap taat kepada perintah Allah, meskipun terasa berat.
Dalam konteks ibadah haji yang serba padat, mabit justru menjadi jeda yang sangat berharga. Ia menjadi titik perenungan di antara perjalanan spiritual yang melelahkan. Ini adalah saatnya untuk menguatkan niat, memperbarui tekad, dan memperdalam makna ibadah, bukan hanya menjalankan ritual semata.
Di balik semua hikmah itu, mabit juga mengajarkan kita untuk menghargai waktu malam, yang dalam Islam memiliki kedudukan istimewa. Allah banyak menyebut malam dalam Al-Qur’an sebagai waktu yang penuh keberkahan, tempat terbaik untuk berdoa, berdzikir, dan bertobat. Mabit menghidupkan kembali tradisi malam yang penuh makna tersebut.
Hikmah lainnya adalah membangun ketahanan diri. Bermalam di tengah keterbatasan fisik dan kenyamanan melatih mental, mengajarkan rasa syukur atas nikmat yang sering dilupakan, dan membentuk pribadi tangguh dalam menghadapi tantangan hidup.
Bagi sebagian jamaah, mabit bisa menjadi titik transformasi spiritual. Di sanalah mereka merenung, menangis, memohon ampun, dan merasa benar-benar dekat dengan Allah. Banyak yang membawa pulang pengalaman mabit sebagai momen paling menyentuh selama haji, bahkan melebihi puncak wukuf di Arafah.
Mabit bukan hanya tempat untuk tidur, tapi tempat untuk bangkit — dari kelalaian menuju kesadaran, dari kesombongan menuju kerendahan hati. Mabit mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan, dan setiap kita akan kembali kepada Allah, satu per satu, tanpa harta dan status.
Dengan semua hikmah itu, mabit bukan hanya kewajiban haji, tapi juga pelajaran hidup yang mendalam. Siapa yang menjalaninya dengan hati, akan pulang dengan jiwa yang lebih bersih, lebih kuat, dan lebih dekat kepada Tuhan.