Connect with us

Ruang Sujud

Hikmah di Balik Ujian: Cara Allah Menguatkan Hamba-Nya

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan, setiap manusia pasti akan menghadapi ujian, entah itu berupa kesedihan, kehilangan, atau kegagalan. Banyak yang menganggap ujian sebagai hukuman, padahal dalam Islam, ujian justru bisa menjadi tanda cinta Allah kepada hamba-Nya.

Ujian merupakan cara Allah membersihkan hati dan menguatkan jiwa. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan: ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2). Ayat ini menegaskan bahwa ujian adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan.

Melalui ujian, manusia belajar sabar, ikhlas, dan tawakal. Ujian menjadikan seseorang lebih rendah hati dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika tak ada tempat lagi untuk bersandar, maka sujud pun menjadi pilihan utama.

Hikmah terbesar dari ujian adalah tumbuhnya kekuatan dari dalam diri. Saat seseorang bisa melewati ujian dengan sabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah, maka hatinya akan semakin kokoh, layaknya baja yang ditempa api.

Banyak tokoh besar dalam sejarah Islam pun melalui ujian berat. Nabi Ayyub diuji dengan penyakit bertahun-tahun, Nabi Yusuf difitnah dan dipenjara, dan Nabi Muhammad SAW sendiri menghadapi hinaan serta penolakan di awal dakwahnya. Namun semua ujian itu menjadi jalan bagi mereka untuk meraih kemuliaan.

Sebagai manusia, kita tidak bisa memilih ujian apa yang akan datang, tapi kita bisa memilih bagaimana cara menghadapinya. Dengan ilmu, doa, dan kesabaran, setiap ujian akan membawa kita pada level kehidupan yang lebih tinggi, baik secara spiritual maupun emosional.

Ketika ujian datang, jangan langsung mengeluh. Cobalah bertanya: “Apa hikmah yang ingin Allah tunjukkan padaku kali ini?” Sebab, di balik setiap rasa sakit, ada pelajaran yang tak ternilai.

Akhirnya, ujian bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah jembatan menuju kedewasaan, dan jika disikapi dengan bijak, maka ujian akan menjadi anugerah terbesar yang bisa memperkuat hubungan seorang hamba dengan Tuhannya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Perbedaan Karomah, Sihir, dan Tipu Daya: Perspektif Ulama

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam masyarakat, sering muncul kebingungan antara karomah, sihir, dan tipu daya. Ketiganya bisa terlihat serupa karena menampilkan kejadian luar biasa di luar nalar manusia. Namun menurut para ulama, perbedaan di antara ketiganya sangat jelas—terutama dalam hal sumber kekuatan, tujuan, dan pengaruhnya terhadap keimanan.

Karomah adalah kejadian luar biasa yang Allah berikan kepada wali-wali-Nya, yaitu orang-orang yang taat, saleh, dan istiqamah dalam ibadah serta menjauhi maksiat. Karomah bukan sesuatu yang bisa diminta atau dipelajari. Ia merupakan karunia ilahi yang datang sebagai bentuk kemuliaan atas kedekatan seseorang kepada Allah. Ulama Ahlus Sunnah sepakat bahwa karomah adalah hakikat dan bukan khayalan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dan Imam al-Qurtubi.

Sebaliknya, sihir adalah ilmu yang bersumber dari bantuan jin atau syaitan. Sihir bisa dipelajari dan diajarkan, namun jelas dilarang dalam Islam karena mengandung unsur syirik. Penyihir biasanya melakukan ritual tertentu untuk menjalin kerja sama dengan makhluk gaib dan menyesatkan orang lain. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 102, sihir disebut sebagai ajaran yang diturunkan kepada Harut dan Marut sebagai ujian, bukan untuk diamalkan.

Sementara itu, tipu daya (kadang disebut istidraj) adalah kejadian luar biasa yang terjadi kepada orang fasik atau bahkan musuh-musuh Allah, yang tampak seperti karomah atau keajaiban. Dalam pandangan para ulama, istidraj merupakan bentuk penghinaan halus dari Allah kepada orang-orang yang gemar bermaksiat namun tetap diberi nikmat duniawi. Hal ini disebut dalam Surah Al-A’raf ayat 182: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami tarik mereka secara berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dari arah yang tidak mereka ketahui.”

Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa karomah tidak akan terjadi pada orang yang menyimpang dari syariat. Bila seseorang mengaku memiliki karomah tetapi akhlaknya rusak, atau malah menyalahi syariat, maka hal itu bukan karomah—melainkan sihir atau istidraj. Inilah pentingnya ilmu dan akidah yang lurus dalam membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Untuk mengenali perbedaan ketiganya, para ulama memberikan panduan: perhatikan apakah orang tersebut taat pada syariat, menjauhi maksiat, serta rendah hati. Jika iya, maka kejadian luar biasa itu bisa jadi karomah. Tapi jika orang itu justru menyimpang, mengajak pada kesesatan, atau menonjolkan diri dengan angkuh, maka waspadalah—bisa jadi itu adalah sihir atau tipu daya.

Kesimpulannya, tidak semua yang ajaib itu mulia. Karomah adalah cahaya bagi orang beriman, sihir adalah kegelapan bagi orang yang tersesat, dan tipu daya bisa menjadi ujian bagi yang lalai. Oleh karena itu, umat Islam perlu belajar membedakan keduanya, agar tidak tertipu oleh keajaiban palsu yang justru menjauhkan dari Allah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kisah-Kisah Karomah Wali Allah yang Menginspirasi

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Sepanjang sejarah Islam, banyak kisah menakjubkan tentang para wali Allah yang menunjukkan tanda-tanda karomah—peristiwa luar biasa yang terjadi di luar nalar manusia biasa. Karomah bukan sekadar cerita mistis, tapi pelajaran spiritual yang menguatkan iman, serta memperlihatkan betapa dekatnya hubungan para kekasih Allah dengan Sang Pencipta.

Salah satu kisah yang paling terkenal adalah karomah dari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Dalam banyak riwayat, beliau disebut bisa mengetahui isi hati seseorang bahkan sebelum orang itu berbicara. Pernah suatu ketika, seseorang datang dengan niat mengujinya dengan pertanyaan jebakan, namun sebelum sempat bertanya, Syaikh Abdul Qadir sudah menjawab pertanyaan tersebut, lengkap dengan niat tersembunyi si penanya. Kejadian ini menyadarkan banyak orang akan kedalaman spiritual beliau.

Kisah lain datang dari Imam Abu Yazid al-Busthami, seorang sufi agung dari Persia. Ia dikenal memiliki karomah bisa berjalan di atas air. Namun menariknya, dalam banyak pernyataannya, Abu Yazid selalu menekankan bahwa semua karomah yang terjadi bukan karena dirinya hebat, melainkan karena izin dan kehendak Allah semata.

Di Nusantara, nama Sunan Kalijaga tak asing lagi. Salah satu karomah yang masyhur adalah kemampuannya berdakwah dengan pendekatan budaya Jawa, yang mampu menyentuh hati rakyat tanpa harus memaksakan doktrin. Meskipun karomahnya tidak selalu dalam bentuk supranatural, namun keberhasilannya dalam mengislamkan banyak orang dianggap sebagai bentuk karomah sosial dan spiritual.

Tak hanya laki-laki, ada pula kisah karomah dari wanita salehah. Seperti Rabi’ah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan yang kehidupannya penuh dengan kecintaan total kepada Allah. Meski tak banyak tercatat karomah fisik, namun doanya yang makbul, kata-katanya yang menyentuh kalbu, serta hidup zuhudnya dianggap sebagai bentuk karomah yang menggetarkan jiwa.

Dari semua kisah ini, satu hal yang perlu digarisbawahi: karomah bukanlah hal yang dicari, apalagi dipamerkan. Para wali Allah justru sangat menjaga agar karomah tidak menjadi sebab kesombongan atau pujian dari manusia. Mereka menjadikan setiap peristiwa karomah sebagai bentuk syukur dan sarana untuk mendekat lebih dalam kepada Allah.

Kisah-kisah karomah ini sepatutnya tidak dijadikan hiburan atau ajang pembuktian spiritual semata, melainkan sebagai motivasi untuk lebih bertakwa dan memperbaiki diri. Jika para wali bisa mencapai derajat tinggi karena ikhlas, istiqamah, dan cinta kepada Allah, maka umat Islam zaman kini pun bisa meneladani jalan itu, walau tanpa karomah sekalipun.

Karomah sejati adalah ketika hati semakin tunduk kepada Allah, meski tidak ada kejadian luar biasa yang menyertai. Dan dari kisah-kisah para wali, kita belajar bahwa kekuatan terbesar terletak pada ketundukan dan cinta sejati kepada-Nya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Karomah dalam Islam: Bukti Karamah Bukan Mitos

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam tradisi Islam, karomah merupakan kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh. Karomah bukan sihir, bukan pula khayalan, melainkan realitas yang tercatat dalam sejarah dan diakui oleh banyak ulama. Keberadaan karomah membuktikan bahwa keimanan yang tulus dan kedekatan dengan Allah bisa melampaui batas logika manusia biasa.

Secara terminologis, karomah berasal dari kata karamah yang berarti kemuliaan atau kehormatan. Dalam konteks keislaman, ia mengacu pada peristiwa luar biasa yang terjadi atas izin Allah kepada wali-wali-Nya, bukan sebagai mukjizat seperti yang dimiliki para nabi, melainkan sebagai bentuk penghormatan dan pertolongan dari Allah kepada orang-orang beriman yang saleh.

Dalam sejarah Islam, banyak tokoh sufi dan ulama besar yang dikisahkan memiliki karomah. Misalnya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang dikenal dengan kedekatannya pada Allah dan banyak mencatat kejadian luar biasa dalam hidupnya. Namun penting untuk dicatat, karomah bukan tujuan, melainkan hasil dari ketakwaan dan penghambaan yang murni.

Para ulama menjelaskan bahwa karomah hanya bisa terjadi jika seseorang menjaga keikhlasan, ketaatan, dan menjauhi maksiat. Karomah tidak akan terjadi pada orang yang hatinya penuh riya atau berharap pujian. Justru orang-orang yang diberi karomah sejati sering kali menyembunyikannya, karena takut hal itu menjadi sumber ujub dalam diri mereka.

Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa karomah adalah perkara yang benar dan diakui dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ia menjadi bukti bahwa kekuasaan Allah melampaui segala batas, dan bahwa Dia dapat memberikan pertolongan luar biasa kepada siapa pun yang Dia kehendaki.

Meski demikian, umat Islam dianjurkan untuk tidak terlalu berfokus pada karomah. Lebih penting adalah meneladani akhlak dan amal para wali Allah, bukan mengejar kejadian luar biasa yang bisa menyesatkan jika tidak dipahami secara benar. Sebab karomah bukan ukuran keimanan, tetapi hasil sampingan dari iman dan amal saleh yang istiqamah.

Dengan memahami karomah secara proporsional, kita akan terhindar dari sikap berlebihan dan tetap menjaga akidah yang lurus. Karomah adalah anugerah, bukan prestasi pribadi. Ia menjadi bukti keajaiban iman dan ketundukan total kepada Allah SWT.

Continue Reading

Ruang Sujud

Hubbu Dunya: Akar Segala Kesalahan dalam Pandangan Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam Islam, cinta dunia atau hubbu dunya sering kali disebut sebagai sumber dari berbagai penyakit hati yang berujung pada kerusakan moral dan spiritual. Rasulullah SAW bersabda, “Hubbu dunya ra’su kulli khati’ah”—”Cinta dunia adalah pangkal dari segala kesalahan.” Hadis ini menjadi peringatan bahwa ketika manusia terlalu mencintai dunia, ia akan terdorong untuk melupakan tujuan akhir kehidupannya: akhirat.

Cinta dunia yang dimaksud bukanlah sekadar menyukai hal-hal duniawi seperti harta, jabatan, atau popularitas, melainkan keterikatan hati yang berlebihan hingga mengorbankan nilai-nilai agama. Ketika hati sudah terpaut kuat pada dunia, seseorang bisa dengan mudah menjustifikasi keburukan demi meraih kepuasan duniawi. Inilah yang menjadikan hubbu dunya sebagai sumber dari berbagai maksiat.

Islam tidak melarang umatnya untuk menikmati kehidupan dunia, selama hal itu dilakukan dalam batas yang wajar dan tidak melupakan kewajiban terhadap Allah. Justru, dunia bisa menjadi ladang pahala bila dijalani dengan niat yang benar dan cara yang halal. Namun, jika dunia menjadi tujuan utama hidup, maka kekacauan akan terjadi: ketamakan, iri hati, kezaliman, bahkan kekufuran bisa menjadi konsekuensinya.

Oleh karena itu, para ulama menekankan pentingnya membersihkan hati dari kecintaan berlebihan terhadap dunia. Ini bisa dimulai dengan memperkuat iman, memperbanyak zikir, bersedekah, dan merenungkan kefanaan dunia. Ketika seseorang menyadari bahwa dunia hanyalah tempat singgah sementara, maka ia akan lebih fokus mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal.

Melepaskan hubbu dunya bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan mengendalikannya agar tidak menguasai hati. Dunia ada di tangan, bukan di hati. Dengan begitu, seseorang bisa hidup tenang, bersih dari keserakahan, dan selalu terhubung dengan tujuan hidup yang sejati: mencari ridha Allah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Melepas Cinta Dunia: Jalan Menuju Hati yang Tenang

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Banyak orang mencari ketenangan hati melalui harta, jabatan, atau pengakuan sosial, tapi justru semakin dikejar, dunia makin menjauhkan mereka dari kedamaian yang sesungguhnya. Dalam Islam, ketenangan hati justru lahir saat seseorang mampu melepas keterikatan terhadap dunia—itulah esensi dari melepaskan hubbu dunya.

Cinta dunia yang berlebihan adalah penyebab utama kegelisahan. Semakin kuat seseorang melekat pada kenikmatan duniawi, semakin takut pula ia kehilangannya. Rasa cemas, iri, dan gelisah akan terus menghantui hati yang terikat pada sesuatu yang fana dan tak pasti. Sebaliknya, hati yang berserah kepada Allah dan tidak bergantung pada dunia akan lebih tenang dan stabil.

Melepas cinta dunia bukan berarti menjadi pasif atau meninggalkan kehidupan. Justru, Islam mengajarkan agar umatnya aktif berkarya dan berkontribusi, namun tanpa menjadikan dunia sebagai pusat hidup. Dunia adalah sarana, bukan tujuan. Ketika niat diluruskan untuk mencari ridha Allah, bahkan bekerja dan membangun kehidupan dunia bisa bernilai ibadah.

Langkah pertama untuk melepaskan cinta dunia adalah menyadari hakikat dunia itu sendiri: sementara, terbatas, dan penuh ujian. Al-Qur’an berulang kali menggambarkan dunia sebagai permainan dan senda gurau, dibandingkan dengan akhirat yang kekal. Menyadari hal ini akan membuat kita lebih bijak dalam menempatkan prioritas hidup.

Hati yang tenang lahir dari ketawakkalan—yaitu percaya penuh pada kehendak Allah, setelah berusaha maksimal. Ia tidak panik kehilangan harta, tidak iri terhadap orang lain, dan tidak gila pujian. Ia cukup, karena tahu bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan saat hati dekat dengan Allah, bukan ketika dompet tebal atau jabatan tinggi.

Dengan melepas hubbu dunya, kita membuka ruang bagi ketenangan, syukur, dan cinta yang lebih tinggi: cinta kepada Allah. Dan hanya dengan cinta itu, hati manusia bisa benar-benar damai.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ketika Dunia Mengikat: Bahaya Hubbu Dunya di Era Modern

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Di era modern yang serba cepat dan penuh distraksi, kecintaan terhadap dunia (hubbu dunya) semakin kuat mencengkeram hati manusia. Media sosial, budaya konsumtif, dan standar kesuksesan materialistik membuat banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa akhir: siapa paling kaya, paling terkenal, paling sukses.

Bahaya hubbu dunya kini tidak hanya menyentuh para penguasa atau hartawan, tapi juga masyarakat umum, bahkan anak muda. Dunia modern menyajikan dunia dalam genggaman tangan, tapi sekaligus mengikat hati dengan tali yang tak terlihat. Seseorang bisa merasa gagal hanya karena tidak sepopuler orang lain di media sosial, atau merasa tak berharga karena belum memiliki rumah, mobil, atau gaya hidup yang dipamerkan banyak orang.

Islam memandang dunia sebagai ladang amal, bukan tujuan utama. Ketika dunia menjadi pusat hidup, seseorang bisa kehilangan arah. Ia akan rela melakukan apa saja demi status sosial: berbohong, menipu, bahkan mengorbankan nilai agama. Inilah yang dikhawatirkan Nabi Muhammad SAW—bahwa umatnya akan hancur bukan karena musuh dari luar, tapi karena cinta dunia dan takut mati.

Dalam realitas hari ini, hubbu dunya bisa menjelma dalam bentuk ketergantungan pada validasi eksternal, kerja berlebihan demi ambisi pribadi, atau bahkan kecanduan belanja dan gaya hidup mewah. Semua ini terlihat modern, tapi secara batin membuat manusia lelah dan kosong.

Solusinya adalah kesadaran spiritual. Kembali menata niat hidup, memperbanyak dzikir, mendalami Al-Qur’an, dan mempraktikkan gaya hidup sederhana bisa menjadi tameng terhadap godaan dunia. Bergaul dengan orang-orang saleh dan membatasi konsumsi media sosial juga penting untuk menjaga hati dari racun duniawi.

Mengikat dunia di tangan, bukan di hati—itulah kunci hidup sehat di era modern. Dunia memang tak bisa dihindari, tapi jangan biarkan ia menjadi penjara bagi jiwa. Sebab, hanya dengan hati yang bebas dari cinta dunia, manusia bisa berjalan ringan menuju akhirat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Antara Dunia dan Akhirat: Menakar Kecintaan yang Seimbang

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Islam tidak pernah melarang umatnya untuk mencintai dunia, selama cinta itu tidak berlebihan dan tetap menempatkan akhirat sebagai tujuan utama. Justru, dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah memuji hamba-Nya yang mampu menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat. Kuncinya adalah menakar kecintaan, agar dunia tidak menjadi penghalang menuju surga.

Dalam QS. Al-Qashash ayat 77, Allah berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.” Ayat ini adalah pedoman sempurna: kita diajak untuk berorientasi akhirat, namun tidak melupakan peran dan tanggung jawab di dunia.

Keseimbangan ini sangat penting, karena cinta dunia bisa jadi motivasi positif jika diarahkan dengan benar. Misalnya, bekerja keras untuk memberi nafkah keluarga, membangun usaha untuk menciptakan lapangan kerja, atau menuntut ilmu demi membawa manfaat bagi umat. Semua aktivitas duniawi bisa menjadi jalan menuju pahala, asal diniatkan karena Allah.

Namun, jika cinta dunia sudah menggeser nilai akhirat, maka ia menjadi jebakan. Orang bisa menunda salat karena urusan bisnis, enggan bersedekah karena takut miskin, atau lebih memikirkan investasi dunia ketimbang investasi amal. Di sinilah letak bahayanya: dunia yang tadinya alat, berubah menjadi tujuan hidup.

Menakar kecintaan artinya menjaga agar hati tetap ingat bahwa dunia ini sementara. Harta bisa hilang, jabatan bisa tergeser, dan hidup bisa berakhir kapan saja. Sementara akhirat adalah tempat kembali yang pasti. Maka, bijaklah menempatkan cinta: berikan dunia secukupnya, dan berikan akhirat sepenuhnya.

Dengan kecintaan yang seimbang, seseorang bisa hidup dengan tenang. Ia tidak akan terlalu kecewa saat kehilangan dunia, dan tidak akan terlalu tergila-gila saat mendapatkannya. Ia sadar bahwa yang abadi bukanlah apa yang terlihat oleh mata, tapi apa yang ditanamkan di dalam hati.

Continue Reading

Ruang Sujud

Memahami Empat Mazhab: Sejarah, Tokoh, dan Perbedaan Pendekatan Fikih

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam dunia Islam, kita sering dengar istilah “mazhab”, apalagi kalau lagi bahas soal fikih—hukum-hukum dalam Islam yang ngatur urusan ibadah sampai kehidupan sehari-hari. Tapi sebenernya, mazhab itu apa sih?

Mazhab itu kayak sekolah pemikiran.
Setiap mazhab punya cara sendiri dalam memahami Al-Qur’an dan hadis. Bukan berarti saling bertentangan, tapi lebih ke perbedaan sudut pandang. Nah, dalam Islam Sunni sendiri, ada empat mazhab utama yang dikenal luas: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

1. Mazhab Hanafi – Fleksibel dan Logis
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah (wafat 767 M), ini mazhab yang paling luas penyebarannya, khususnya di Asia Tengah, India, Turki, dan sebagian Indonesia. Imam Hanafi dikenal pakai logika dan rasio dalam menetapkan hukum, jadi nggak kaku. Kalau nggak nemu dalil langsung di Qur’an atau hadis, beliau pake qiyas (analogi) atau istihsan (pilihan terbaik dalam konteks tertentu).

2. Mazhab Maliki – Pegang Kuat Tradisi Madinah
Ini mazhabnya Imam Malik bin Anas (wafat 795 M). Fokus beliau adalah pada praktik penduduk Madinah, karena menurut beliau, orang-orang di sana paling dekat sama zaman Nabi. Jadi, kalau ada hadis dan praktik penduduk Madinah berbeda, mazhab Maliki cenderung milih praktik penduduk Madinah.

3. Mazhab Syafi’i – Dalilnya Sistematis
Dikenal banget di Indonesia, ini mazhab yang dirintis Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (wafat 820 M). Beliau yang pertama kali nyusun metode ushul fikih secara sistematis. Dalam menentukan hukum, urutannya jelas: Al-Qur’an, hadis, ijma’, lalu qiyas. Makanya, mazhab ini dianggap ilmiah dan tertata rapi.

4. Mazhab Hanbali – Paling Ketat Pegang Hadis
Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 855 M), mazhab ini sangat mengedepankan hadis. Kalau ada hadis, meski derajatnya lemah sekalipun, lebih dipilih ketimbang logika atau pendapat pribadi. Makanya, Hanbali dikenal konservatif, dan sekarang banyak dianut di wilayah Arab Saudi.

Beda Tapi Nggak Bikin Pecah
Yang penting dicatat, perbedaan ini bukan buat dibentur-benturin, bro. Semua mazhab itu berasal dari semangat yang sama: pengen deket sama ajaran Nabi. Perbedaan pendekatan itu wajar, karena zaman, tempat, dan konteks sosial tiap ulama juga beda.

Kesimpulannya?
Mau ikut mazhab mana, semua sah-sah aja. Yang penting kita belajar, paham, dan nggak gampang nge-judge orang lain. Islam itu luas, dan para ulama udah kasih jalan untuk kita memahami agama ini dengan beragam cara, tapi tetap dalam satu tujuan: mencari ridha Allah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mengapa Umat Islam Berbeda Mazhab? Menelusuri Akar Perbedaan dalam Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Pernah nggak sih lu bingung, kenapa temen lu yang sama-sama Muslim bisa beda cara sholatnya? Ada yang kalau ruku’ tangannya ke samping, ada juga yang di paha. Ada yang bilang qunut subuh itu wajib, ada juga yang nggak pernah pake. Nah, itu semua gara-gara beda mazhab, bro.

Perbedaan Itu Warisan Ilmu, Bukan Sumber Pecah Belah
Yang perlu kita sadari dari awal: perbedaan mazhab itu bukan karena para ulama pengen bikin Islam jadi ribet. Justru karena mereka serius banget dalam memahami Qur’an dan hadis. Tapi karena sumber-sumber itu kadang bisa ditafsirkan beda, jadilah muncul perbedaan pendapat.

Satu Dalil, Banyak Makna
Contoh simpel gini deh: Nabi pernah sholat sambil ngangkat tangan, tapi kadang juga nggak. Nah, ulama yang lihat hadis itu bisa beda-beda kesimpulannya. Ada yang bilang “berarti angkat tangan itu sunnah”, ada juga yang bilang “itu hanya di waktu tertentu”. Akhirnya, jadilah beda praktik, padahal sama-sama berdasarkan hadis.

Faktor Bahasa, Budaya, dan Logika
Ulama-ulama besar zaman dulu hidup di tempat yang beda-beda. Imam Malik hidup di Madinah, Imam Abu Hanifah di Kufah, Imam Syafi’i sempat belajar ke banyak tempat, dan Imam Ahmad di Baghdad. Kondisi sosial, budaya, bahkan dialek bahasa Arab di masing-masing tempat itu berpengaruh juga ke cara mereka memahami dalil.

Ilmu Itu Berkembang, Bro
Islam bukan agama kaku yang cuma hitam-putih. Justru dengan perbedaan mazhab, kita bisa lihat bahwa Islam memberi ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan mencari solusi. Dan hebatnya lagi, para ulama dulu meskipun berbeda, tetap saling menghargai. Nggak ada tuh yang bilang “Mazhab gue paling benar, yang lain sesat.”

Jadi, Gimana Sikap Kita?
Lu mau ikut mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, atau Hanbali—semua itu sah. Tapi jangan sampai kita malah jadi ngejek atau nyalahin orang lain yang beda. Karena hakikatnya, perbedaan itu bagian dari rahmat. Kata ulama, “perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat”.

Akhir Kata
Jangan terlalu fokus sama beda mazhab sampai lupa inti ajaran Islam: sholat yang khusyuk, hati yang bersih, dan hidup yang lurus. Kalau paham ini, lu nggak akan heran lagi kenapa umat Islam bisa beda mazhab. Yang penting, tetap satu iman, satu tujuan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mazhab dalam Islam: Antara Keragaman Pemahaman dan Persatuan Umat

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Kalau kita ngelihat dunia Islam secara global, kita bakal nemuin beragam cara beribadah dan beragama. Tapi jangan buru-buru bilang, “Wah, Islam nggak kompak nih.” Justru, keragaman itu adalah bukti luas dan dalamnya pemahaman Islam, bro.

Mazhab Itu Bukan Sekte, Tapi Jalur Ilmu
Banyak orang salah sangka, ngira mazhab itu kayak kelompok-kelompok yang saling bersaing. Padahal enggak begitu. Mazhab itu jalur pemikiran ilmiah yang dibangun berdasarkan Qur’an, hadis, dan metode ijtihad. Semacam “mazhab pemahaman”, bukan “mazhab perpecahan”.

Satu Ajaran, Banyak Pendekatan
Kita ibaratin gini: misalnya semua Muslim sepakat sholat itu wajib. Tapi ketika masuk ke detailnya—cara wudhu, posisi tangan, bacaan qunut—di situ muncul variasi. Dan itu wajar. Sama kayak orang naik gunung lewat jalur yang beda, tapi tujuannya tetap ke puncak yang sama.

Keragaman Itu Bukan Masalah, Kalau Paham Akar Ilmunya
Masalah baru muncul ketika orang cuma ikut-ikutan tanpa paham dasar mazhabnya. Jadinya gampang nge-judge orang lain, padahal belum tentu dia ngerti kenapa dia ibadahnya begitu. Padahal, kalau kita pelajari, semua mazhab itu punya dasar yang kuat dan saling menghormati.

Dulu Ulama Beda Pendapat Tapi Tetap Dekat
Imam Syafi’i itu muridnya Imam Malik, tapi juga punya pendapat berbeda dari gurunya. Imam Abu Hanifah bersahabat dengan banyak ulama, walaupun beda pandangan fikih. Mereka diskusi, debat, tapi tetap saling respek. Gaya debatnya ilmiah, bukan saling ejek di media sosial kayak zaman sekarang.

Mau Berbeda Tapi Tetap Bersatu? Bisa Banget
Kuncinya ada di adab dan ilmu. Kalau kita punya ilmu, kita tahu mana yang pokok dan mana yang cabang. Kalau punya adab, kita nggak gampang ngecap orang lain salah. Dari situ lahir persatuan yang sehat, bukan persatuan yang maksa semua orang harus seragam.

Kesimpulannya?
Islam itu kaya dan fleksibel. Mazhab-mazhab dalam Islam adalah bukti bahwa agama ini menghargai konteks, akal sehat, dan keragaman. Yang penting kita tetap bersatu dalam akidah, dan saling menghargai dalam perbedaan.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



Ruang Sujud3 hours ago

Perbedaan Karomah, Sihir, dan Tipu Daya: Perspektif Ulama

News5 hours ago

Wamendikdasmen Fajar Bicara Dampak Gawai pada Kesehatan Mental Anak

Sportechment5 hours ago

Trump Bebaskan ‘James Bond’ dari Tarif Film Asing, Lha Kok Bisa?

News6 hours ago

Pengusaha Surabaya Diana Penahan Ijazah Jadi Tersangka atas Kasus Ini

News6 hours ago

Ekspor UMKM Tembus Rp851,5 Miliar hingga April 2025

News6 hours ago

3 Bandara Kembali Berstatus Internasional, Ini Pertimbangan Menhub

Ruang Sujud7 hours ago

Kisah-Kisah Karomah Wali Allah yang Menginspirasi

News7 hours ago

Mendikdasmen Mu’ti Soroti Soal Generasi Stroberi, Apa Itu?

Migas11 hours ago

Awasi Distribusi LPG 3 Kg, ESDM dan Pertamina Siapkan Aplikasi untuk Subpangkalan

Ruang Sujud11 hours ago

Karomah dalam Islam: Bukti Karamah Bukan Mitos

Sportechment11 hours ago

Komentar Ruben Amorim Usai Man United Gulung Athletic Bilbao

News12 hours ago

Robert Francis Prevost Terpilih Jadi Paus Leo XIV, Paus Pertama dari Amerika Serikat

News14 hours ago

Digitalisasi BIN Hadapi Ancaman Masa Depan

Migas14 hours ago

Prabowo Tegaskan Target Swasembada BBM Lima Tahun

News15 hours ago

Peluang Emas Beasiswa Hungaria untuk RI

News16 hours ago

Humas Polri Gaspol Dukung Indonesia Emas

Sportechment21 hours ago

Konvoi Juara Persib Digelar 25 Mei, Finis di Gedung Sate

News21 hours ago

Perbandingan Biaya Haji Indonesia dengan Malaysia, Lebih Mahal Mana?

News23 hours ago

Pakistan Minta Indonesia Jadi Penengah Konflik Memanas dengan India

News23 hours ago

Fadli Zon: Soeharto Layak Menjadi Pahlawan Nasional