Ruang Sujud
Ijtihad sebagai Pilar Dinamis dalam Hukum Islam

Published
1 day agoon
By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Islam adalah agama yang membawa ajaran yang lengkap dan menyeluruh, namun juga adaptif terhadap zaman. Hal ini tampak jelas dalam cara Islam mengatur kehidupan manusia melalui hukum-hukum syariat. Meski banyak hukum Islam sudah diatur dalam Al-Qur’an dan hadis, tidak semua persoalan memiliki dalil eksplisit. Oleh karena itu, muncullah konsep ijtihad sebagai pilar dinamis dalam hukum Islam. Ijtihad memungkinkan ajaran Islam untuk terus hidup, berkembang, dan menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan esensinya.
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti bersungguh-sungguh. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti mencurahkan seluruh kemampuan oleh seorang mujtahid untuk menemukan hukum syariat atas suatu permasalahan yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam nash (Al-Qur’an dan hadis). Ijtihad bukan berarti membuat hukum baru yang bertentangan dengan wahyu, melainkan menggali hukum yang tersirat dari prinsip-prinsip ajaran Islam.
Dalam sejarahnya, ijtihad memiliki posisi yang sangat sentral dalam perkembangan hukum Islam. Sejak masa sahabat Nabi Muhammad saw., ijtihad sudah menjadi praktik yang umum dilakukan. Para sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud sering menggunakan ijtihad dalam mengeluarkan keputusan hukum saat tidak ada ayat atau hadis yang secara langsung membahas persoalan yang dihadapi.
Contoh terkenal dari praktik ijtihad adalah ketika Khalifah Umar menangguhkan hukuman potong tangan bagi pencuri pada masa paceklik. Meskipun hukuman itu ditetapkan dalam Al-Qur’an, Umar menggunakan ijtihadnya untuk menilai bahwa situasi darurat seperti kelaparan dapat menjadi alasan untuk tidak menerapkan hukuman tersebut, karena tujuan utama syariat adalah menjaga kemaslahatan dan mencegah kerugian.
Dari contoh tersebut, terlihat bahwa ijtihad tidak sekadar soal teks, tetapi juga melibatkan pemahaman terhadap konteks sosial dan kondisi masyarakat. Ini menunjukkan betapa fleksibelnya hukum Islam ketika ditopang oleh semangat ijtihad yang dinamis. Ijtihad menjadi kunci untuk menjaga relevansi syariat sepanjang zaman.
Ijtihad juga menjadi fondasi dalam pembentukan mazhab-mazhab fikih seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Para imam mazhab melakukan ijtihad dengan metode yang berbeda-beda, namun semuanya bertujuan untuk menjawab persoalan hukum berdasarkan sumber-sumber utama Islam. Perbedaan hasil ijtihad ini bukan pertentangan, melainkan kekayaan intelektual dalam khazanah Islam yang patut dihargai.
Seiring berjalannya waktu, terjadi stagnasi dalam perkembangan ijtihad. Sekitar abad ke-10 M, sebagian ulama menyatakan bahwa bab al-ijtihad telah ditutup. Mereka beranggapan bahwa seluruh hukum sudah dijelaskan oleh para imam mazhab, sehingga tidak ada lagi kebutuhan untuk ijtihad. Hal ini menyebabkan praktik taqlid (mengikuti pendapat ulama tanpa analisis kritis) menjadi dominan. Akibatnya, hukum Islam kehilangan dinamikanya dan seakan-akan tidak bisa menjawab perubahan zaman.
Pandangan ini kemudian dikritik oleh banyak pembaharu Islam di era modern. Tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha menyerukan pentingnya membuka kembali pintu ijtihad. Mereka menekankan bahwa Islam adalah agama yang relevan sepanjang masa, dan ijtihad adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan relevansi itu. Menutup pintu ijtihad sama saja dengan membatasi ajaran Islam hanya pada masa lalu.
Di zaman kontemporer ini, peran ijtihad semakin dibutuhkan. Dunia modern menghadirkan banyak persoalan baru seperti teknologi informasi, rekayasa genetika, transaksi keuangan digital, hingga masalah ekologi dan perubahan iklim. Banyak dari persoalan ini tidak dijumpai pada masa klasik, sehingga tidak mungkin hanya diselesaikan dengan taqlid semata. Para ulama dan cendekiawan muslim dituntut untuk melakukan ijtihad agar hukum Islam bisa menjawab tantangan tersebut secara adil dan kontekstual.
Namun demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Seorang mujtahid harus memenuhi sejumlah syarat seperti menguasai ilmu bahasa Arab, tafsir, hadis, ushul fikih, dan memahami tujuan-tujuan syariat (maqashid syariah). Selain itu, ijtihad harus dilakukan dengan sikap amanah, bertanggung jawab, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.
Saat ini, ijtihad tidak hanya dilakukan secara individual, tetapi juga secara kolektif melalui lembaga fatwa dan majelis ulama. Praktik ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) ini lebih mampu menjawab persoalan kompleks dengan berbagai perspektif keilmuan. Misalnya, dalam menentukan hukum vaksinasi, investasi digital, dan pengelolaan lingkungan, ijtihad kolektif melibatkan pakar-pakar dari berbagai bidang agar hasilnya lebih komprehensif.
Dalam kerangka maqashid syariah, ijtihad harus menjamin lima prinsip utama: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ini berarti bahwa hasil ijtihad harus mampu melindungi hak-hak dasar manusia dan mendorong terciptanya keadilan sosial. Maka dari itu, ijtihad menjadi lebih dari sekadar penafsiran hukum—ia adalah upaya untuk merealisasikan nilai-nilai luhur Islam dalam kehidupan nyata.
Kesimpulannya, ijtihad adalah pilar dinamis dalam hukum Islam yang menjaga ajaran Islam tetap hidup, relevan, dan kontekstual. Tanpa ijtihad, hukum Islam bisa menjadi kaku dan terasing dari realitas sosial. Namun dengan ijtihad, Islam menunjukkan wajahnya yang progresif, solutif, dan responsif terhadap perubahan zaman. Oleh karena itu, umat Islam perlu terus mendorong semangat ijtihad sebagai bagian dari upaya membangun peradaban Islam yang maju dan inklusif.

Mungkin Kamu Suka
Ruang Sujud
Istihza’ dalam Perspektif Islam: Antara Dosa Besar dan Ancaman Aqidah

Published
3 hours agoon
15/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam kehidupan sosial yang kompleks dan penuh perbedaan, sikap saling menghormati menjadi kunci harmoni. Namun tak jarang, kita menjumpai perilaku yang justru bertentangan dengan nilai tersebut—seperti istihza’, yaitu mengejek atau memperolok hal-hal yang dianggap suci dalam Islam. Dalam pandangan syariat, istihza’ bukan hanya bentuk keburukan akhlak, tapi bisa menjadi ancaman serius terhadap keimanan seorang muslim.
Apa Itu Istihza’?
Secara bahasa, istihza’ berasal dari kata hazaa-a yang berarti mengejek, memperolok, atau merendahkan sesuatu dengan maksud menghina. Dalam konteks Islam, istihza’ merujuk pada tindakan meremehkan atau mempermainkan ajaran agama, baik itu Al-Qur’an, hadis, Allah, Rasul-Nya, syariat, maupun simbol-simbol keagamaan lainnya.
Istihza’ bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti ucapan yang mengejek ajaran agama, mimik wajah yang menghina praktik keislaman, bahkan konten humor atau meme yang menyindir simbol-simbol Islam secara tidak pantas. Meskipun kadang dikemas dalam bentuk candaan, tindakan ini tetap dianggap serius dalam Islam.
Dalil dan Penegasan dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an secara tegas mencela perilaku istihza’. Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan adalah firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 65-66:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka katakan), niscaya mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”
Ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok munafik yang mengejek Rasulullah dan para sahabat. Mereka beralasan bahwa apa yang mereka katakan hanyalah candaan, namun Allah menegaskan bahwa ejekan terhadap agama tidak bisa dianggap sepele. Bahkan, Allah menyatakan bahwa tindakan tersebut bisa menggugurkan keimanan seseorang.
Hukum Istihza’ dalam Islam
Mayoritas ulama sepakat bahwa istihza’ terhadap Allah, Rasul, Al-Qur’an, ataupun syariat Islam termasuk kufur akbar, yakni kekafiran besar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Ini menunjukkan betapa beratnya konsekuensi dari tindakan istihza’, meskipun pelakunya tidak berniat untuk keluar dari Islam.
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa memperolok agama, baik dengan sungguh-sungguh maupun dalam bentuk candaan, tetap masuk dalam kategori kekufuran. Karena dalam hal ini, niat tidak menjadi pertimbangan utama—yang dilihat adalah objek dan substansi olok-oloknya.
Bentuk-Bentuk Istihza’ di Era Modern
Di zaman media sosial, istihza’ bisa menyebar dalam bentuk konten viral yang tampak lucu namun sebenarnya merendahkan agama. Contohnya adalah meme yang memperolok bacaan shalat, video yang menertawakan adzan, atau candaan tentang hukum-hukum fikih. Ironisnya, hal ini sering kali dikonsumsi oleh umat Islam sendiri tanpa kesadaran akan bahayanya.
Tak hanya itu, sebagian orang yang merasa ‘bebas berekspresi’ juga berani menyampaikan kritik terhadap agama dengan nada ejekan, seperti mempertanyakan ajaran poligami, jihad, atau jilbab dengan nada sinis dan menyudutkan. Kritik semacam ini bisa berubah menjadi istihza’ jika dilakukan dengan niat merendahkan dan memperolok.
Mengapa Istihza’ Berbahaya?
Istihza’ merusak dua hal penting dalam Islam: adab dan akidah. Dari sisi adab, mengejek hal-hal suci menunjukkan hilangnya rasa hormat terhadap sesuatu yang seharusnya diagungkan. Dari sisi akidah, istihza’ dapat menjadi tanda lemahnya iman, bahkan indikasi kemunafikan.
Lebih dari itu, istihza’ memiliki efek sosial yang destruktif. Ia bisa memicu kebencian antarumat beragama, memunculkan ketegangan sosial, dan membentuk opini negatif terhadap Islam. Maka, menjaga lisan dan etika komunikasi adalah bagian dari menjaga stabilitas sosial dan harmoni antarumat manusia.
Solusi dan Sikap Seorang Muslim
Seorang muslim hendaknya memiliki ghirah (kecemburuan) terhadap agamanya. Ketika mendengar ada yang mengejek ajaran Islam, ia tidak boleh diam atau ikut-ikutan. Sikap yang tepat adalah menegur dengan bijak, menjelaskan dengan hikmah, dan jika tidak mampu, maka menjauh dari majelis tersebut sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:
“Dan sungguh, Dia telah menurunkan kepada kamu di dalam Kitab (Al-Qur’an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” (QS. An-Nisa: 140)
Selain itu, penting bagi para dai, guru, dan pembina umat untuk menyampaikan pendidikan akidah dan adab kepada generasi muda. Media sosial harus dijadikan ruang edukasi, bukan ruang olok-olokan terhadap ajaran agama.
Penutup
Istihza’ bukanlah sekadar candaan atau ekspresi bebas. Dalam Islam, istihza’ adalah tindakan yang sangat serius karena menyangkut kehormatan agama, kebenaran wahyu, dan akidah seorang muslim. Setiap individu dituntut untuk menjaga lisannya, menghormati hal-hal yang suci, dan tidak menjadikan ajaran agama sebagai bahan olok-olokan. Sebab dalam pandangan Islam, iman dan ejekan terhadap agama tidak akan pernah bisa berdampingan.
Ruang Sujud
Mengapa Istihza’ Terhadap Ajaran Islam Bisa Menggugurkan Iman?

Published
6 hours agoon
15/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai candaan, sindiran, bahkan hinaan yang ditujukan pada ajaran agama. Tak jarang, hal itu dianggap biasa atau bahkan lucu oleh sebagian orang. Namun dalam Islam, tindakan seperti ini dikenal sebagai istihza’, yaitu mengejek hal-hal suci dalam agama. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perbuatan ini bukan sekadar dosa besar, melainkan dapat menggugurkan iman seseorang.
Definisi Istihza’ dalam Islam
Istihza’ secara bahasa berarti ejekan, olok-olok, atau mempermainkan. Dalam konteks syariat Islam, istihza’ adalah sikap memperolok ajaran agama, seperti menghina Allah, Rasulullah, Al-Qur’an, hadis, hukum Islam, atau syiar-syiar lainnya. Perilaku ini bisa dilakukan lewat ucapan, tindakan, tulisan, gambar, atau bahkan hanya dengan ekspresi wajah.
Yang menjadikan istihza’ sangat berbahaya adalah karena ia bukan hanya merusak adab, tapi juga merusak akidah. Orang yang melakukan istihza’ bisa tergelincir dalam kekafiran meski sebelumnya telah beriman.
Dalil Al-Qur’an: Ancaman Tegas bagi Pelaku Istihza’
Al-Qur’an mengabadikan kejadian yang menjadi peringatan keras bagi umat Islam agar tidak meremehkan ajaran agama. Dalam Surah At-Taubah ayat 65-66, Allah berfirman:
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”
Ayat ini turun ketika sekelompok munafik memperolok Nabi Muhammad dan para sahabatnya, lalu mereka berdalih bahwa ucapan mereka hanyalah gurauan. Namun Allah menolak alasan tersebut dan langsung menyatakan bahwa tindakan mereka adalah bentuk kekafiran yang menggugurkan keimanan mereka.
Ayat ini menjadi dalil utama bahwa istihza’ terhadap ajaran Islam adalah perbuatan kufur meskipun pelakunya menganggap itu hanya candaan.
Mengapa Bisa Membatalkan Iman?
Iman tidak hanya sekadar percaya dalam hati, tetapi juga menghormati dan membela ajaran agama. Ketika seseorang memperolok sesuatu yang suci, berarti ia telah merendahkan dan tidak mengagungkan agama sebagaimana mestinya. Ini bertentangan dengan esensi keimanan.
Ulama menegaskan bahwa menghina Allah, Rasul, atau Al-Qur’an secara sadar dan sengaja adalah bentuk keluar dari Islam, walaupun tidak diiringi dengan niat murtad. Karena dalam perkara ini, niat tidak lagi menjadi ukuran utama, melainkan objek dan substansi dari ejekan itu sendiri.
Imam Ibn Hazm berkata, “Setiap orang yang mengejek Allah, atau satu ayat dari Kitab-Nya, atau satu hukum dari hukum-Nya, maka dia telah kafir dengan sebenar-benarnya kufur, dan keluar dari agama.”
Contoh-Contoh Istihza’ yang Sering Diabaikan
Ada banyak contoh istihza’ yang muncul dalam kehidupan modern, dan sering kali dianggap sepele:
Membuat lelucon tentang surga dan neraka.
Menyindir ajaran Islam seperti hijab, zakat, atau jihad dengan nada merendahkan.
Mengolok-ngolok suara imam saat shalat.
Membuat meme yang mempermainkan ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi.
Berkata sinis, “Kalau Islam mengatur segalanya, kenapa umat Islam tertinggal?”
Contoh-contoh ini mungkin dikemas dengan niat bercanda, tetapi dalam pandangan syariat, itu tetap bisa termasuk istihza’ yang membatalkan keimanan, apalagi jika dilakukan secara terang-terangan dan berulang.
Sikap Islam terhadap Candaan
Islam bukan agama yang kaku dan anti-humor. Rasulullah sendiri dikenal suka bercanda, namun tidak pernah berdusta dan tidak pernah menjadikan agama sebagai bahan lelucon. Candaan beliau selalu dalam batas kebenaran dan tidak merendahkan siapa pun, apalagi agama.
Dalam hadis, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya aku bercanda, tapi aku tidak mengatakan kecuali yang benar.” (HR. Tirmidzi)
Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, humor diperbolehkan selama tidak mengandung kebohongan, penghinaan, atau pelecehan terhadap ajaran agama.
Bagaimana Jika Sudah Terlanjur Melakukan Istihza’?
Jika seseorang pernah melakukan istihza’, baik secara sadar maupun karena ketidaktahuan, maka yang harus dilakukan adalah:
1. Segera bertaubat dengan taubat nasuha.
2. Mengucapkan kembali dua kalimat syahadat, karena ia telah tergelincir dalam kekafiran.
3. Menyesali perbuatan tersebut dan bertekad tidak mengulanginya lagi.
4. Menjaga lisan dan sikap agar tidak terjerumus dalam perbuatan serupa.
Jangan meremehkan ucapan yang tampaknya kecil. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya ada seseorang yang mengucapkan suatu perkataan yang ia anggap remeh, namun perkataan itu menyebabkan ia tergelincir ke dalam neraka selama tujuh puluh tahun.”
Menjaga Iman di Era Media Sosial
Di era digital ini, batas antara hiburan dan penghinaan sering kali kabur. Banyak konten viral yang mengandung unsur istihza’, dan umat Islam dituntut lebih bijak dalam memilah dan menyikapi. Jangan hanya karena ingin lucu atau mengikuti tren, lalu tanpa sadar ikut menyebarkan konten yang merendahkan agama sendiri.
Maka dari itu, menjaga iman bukan hanya soal ibadah pribadi, tapi juga soal menjaga lisan, tulisan, dan postingan dari hal-hal yang merendahkan Islam. Ingatlah bahwa iman bisa runtuh hanya dengan satu ejekan yang dianggap sepele.
Penutup
Istihza’ terhadap ajaran Islam adalah perbuatan sangat berbahaya yang bisa menggugurkan iman. Dalam Islam, iman bukan hanya diyakini dalam hati, tetapi harus diwujudkan dalam sikap penghormatan terhadap agama. Siapa pun yang mempermainkan ajaran Islam, baik lewat ucapan, tindakan, maupun candaan, berarti telah merusak fondasi keimanan itu sendiri.
Karenanya, seorang muslim harus berhati-hati, menjaga lisan dan perilaku, serta menjauhkan diri dari konten atau pergaulan yang menjadikan agama sebagai bahan ejekan. Iman itu mahal, dan tidak layak ditukar dengan candaan sesaat.
Ruang Sujud
Bahaya Istihza’: Ketika Candaan Menjadi Kufur

Published
10 hours agoon
15/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam kehidupan sehari-hari, bercanda adalah hal yang lumrah. Humor bisa mencairkan suasana, menghibur hati yang gundah, dan mempererat hubungan. Namun dalam Islam, tidak semua candaan dibenarkan, terutama jika menyangkut hal-hal suci. Ada satu jenis candaan yang sangat berbahaya, yaitu istihza’, atau memperolok agama. Bahayanya tidak main-main: bisa membuat seseorang jatuh dalam kekufuran meskipun awalnya ia adalah seorang muslim.
Apa Itu Istihza’?
Istihza’ adalah tindakan mengejek, merendahkan, atau mempermainkan hal-hal yang berhubungan dengan agama. Ini bisa berupa ejekan terhadap Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, hadis, hukum-hukum syariat, atau segala sesuatu yang menjadi bagian dari simbol dan ajaran Islam.
Yang membuat istihza’ sangat serius adalah karena ia bukan sekadar dosa besar—ia bisa membatalkan iman seseorang secara langsung, apalagi jika dilakukan dengan sadar dan sengaja.
Ketika Candaan Menjadi Kekufuran
Banyak orang yang terjebak dalam istihza’ karena niat awalnya hanya bercanda. Mereka mengatakan, “Cuma bercanda kok,” atau, “Itu hanya untuk lucu-lucuan.” Padahal, Allah telah memberikan peringatan keras tentang hal ini dalam Al-Qur’an:
> “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), pasti mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65–66)
Ayat ini turun ketika sekelompok orang mengolok-olok Nabi dan para sahabat. Ketika ditegur, mereka mengaku hanya bercanda. Namun Allah tidak menerima alasan itu. Ini menjadi dalil utama bahwa candaan yang merendahkan agama tetap dihitung sebagai kekufuran, tidak peduli seberapa “ringan” niat di baliknya.
Contoh Istihza’ dalam Kehidupan Modern
Di era media sosial saat ini, bentuk-bentuk istihza’ makin marak dan sering dibungkus dengan gaya lucu. Berikut beberapa contohnya:
Meme atau video yang memperolok ibadah seperti salat, puasa, haji, atau azan.
Lelucon tentang surga dan neraka yang dibuat seenaknya.
Sindiran terhadap ajaran poligami, hukum waris, atau syariat Islam dengan nada menghina.
Olok-olok terhadap ulama, sunnah Nabi, atau istilah-istilah Islam (seperti “jilbab itu gaya Arab”).
Ucapan yang meremehkan ajaran: “Zaman sekarang masih percaya kiamat?”, atau “Islam kok atur-atur hidup sih?”
Meskipun tampaknya hanya sekadar ekspresi, istihza’ bisa muncul dari lisan, tulisan, ekspresi wajah, bahkan emoji, dan semua itu dihitung jika mengandung makna merendahkan agama.
Pandangan Ulama Mengenai Istihza’
Para ulama sepakat bahwa istihza’ terhadap agama adalah kekufuran. Imam an-Nawawi berkata, “Barang siapa yang memperolok Al-Qur’an atau sebagian darinya, atau memperolok hukum Allah, maka ia telah kafir dengan kesepakatan para ulama.”
Imam Ibn Taimiyah juga menegaskan, “Orang yang memperolok Allah, Rasul-Nya, atau agama-Nya, maka ia kafir, baik ia melakukannya karena serius atau bercanda.”
Ini menunjukkan betapa bahayanya mempermainkan agama, meskipun dengan niat yang dianggap ringan oleh pelakunya.
Hukum Taubat bagi Pelaku Istihza’
Jika seseorang pernah melakukan istihza’ secara sadar, maka jalan satu-satunya adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuha). Taubatnya mencakup:
1. Menyesali perbuatannya dengan sepenuh hati.
2. Segera berhenti dari ejekan tersebut dan menjauhi segala yang sejenis.
3. Berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
4. Mengucapkan kembali dua kalimat syahadat, karena ia telah keluar dari Islam.
Jika perbuatannya dilakukan di depan umum, maka ia juga harus mengklarifikasi dan meminta maaf secara terbuka, agar tidak menjadi contoh buruk bagi orang lain.
Kenapa Kita Harus Hati-Hati?
Iman itu hal yang mahal. Rasulullah SAW bersabda:
> “Sesungguhnya ada seseorang yang mengucapkan satu kalimat yang ia anggap biasa, namun karena kalimat itu ia tergelincir ke neraka sejauh 70 tahun.” (HR. Tirmidzi)
Ucapan ringan bisa punya konsekuensi besar dalam Islam. Maka penting bagi kita untuk menjaga lisan dan jari-jari kita saat menulis atau membagikan sesuatu, terutama di dunia maya. Jangan sampai kita menjadi penyebab hilangnya iman sendiri atau bahkan orang lain.
Islam Bukan Anti-Humor, Tapi Ada Batasannya
Islam tidak melarang umatnya untuk bercanda. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah bercanda dengan para sahabat dan keluarganya. Namun, beliau tidak pernah berdusta dalam candaannya, apalagi memperolok agama.
Contoh candaan Rasulullah adalah ketika seorang sahabat meminta agar beliau membawanya naik unta. Rasul menjawab, “Akan kuberikan kepadamu anak unta.” Si sahabat bingung dan berkata, “Apa gunanya anak unta?” Rasul pun menjelaskan, “Bukankah setiap unta itu juga anak dari unta?”
Candaan beliau ringan, cerdas, dan tidak merendahkan siapa pun. Ini menjadi teladan bagi kita bahwa humor dalam Islam boleh, selama tidak melanggar adab, apalagi akidah.
Penutup
Istihza’ adalah penyakit yang diam-diam bisa merusak iman. Ia bisa muncul dalam bentuk guyonan, sindiran, atau komentar ringan, namun dampaknya bisa fatal. Islam mengajarkan untuk menjaga kesucian agama dengan penuh hormat dan kehati-hatian, baik dalam perkataan maupun tindakan.
Di tengah budaya hiburan dan konten viral yang semakin bebas, seorang muslim dituntut untuk lebih selektif dan bertanggung jawab terhadap setiap hal yang ia katakan atau bagikan. Jangan sampai demi lucu-lucuan, kita menggadaikan iman yang nilainya tak tergantikan.
Ruang Sujud
Menjaga Lisan dari Istihza’: Refleksi untuk Muslim Milenial

Published
14 hours agoon
15/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Di era digital saat ini, kita hidup dalam dunia yang serba cepat, dinamis, dan penuh kebebasan berekspresi. Setiap orang bebas membuat status, membagikan meme, menulis komentar, dan membuat konten. Namun di tengah semangat ekspresi ini, ada satu bahaya besar yang sering luput dari perhatian: istihza’, atau memperolok agama. Sebuah lisan atau tulisan yang tampak ringan, ternyata bisa menjadi penyebab seseorang tergelincir dari keislamannya.
Apa Itu Istihza’?
Istihza’ secara sederhana berarti mengejek, mempermainkan, atau merendahkan sesuatu yang suci. Dalam konteks Islam, istihza’ berarti memperolok hal-hal yang berkaitan dengan agama, seperti Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, syariat, ibadah, dan simbol-simbol Islam lainnya.
Istihza’ bukan sekadar maksiat ringan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebut bahwa orang-orang yang memperolok agama telah kafir setelah beriman, meskipun mereka berdalih hanya sedang bergurau.
> “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), pasti mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”
(QS. At-Taubah: 65–66)
Ayat ini menunjukkan bahwa niat bercanda tidak menjadi alasan yang dapat membenarkan perbuatan istihza’. Bahkan gurauan yang melecehkan agama tetap dihitung sebagai tindakan kekufuran.
Fenomena Istihza’ di Kalangan Muslim Milenial
Di era media sosial, kita dengan mudah menemukan candaan yang menyerempet hal-hal sensitif dalam agama. Beberapa contohnya:
Meme tentang malaikat pencatat amal yang digambarkan seperti satpam atau CCTV.
Lelucon tentang surga dan neraka yang disampaikan dalam konteks komedi.
Sindiran terhadap ajaran poligami atau hukum waris yang diungkapkan dengan nada meremehkan.
Komentar sinis terhadap ibadah, seperti menyebut salat sebagai “ritual kuno.”
Video parodi azan atau orang berdakwah yang dijadikan bahan tertawaan.
Seringkali semua itu dibungkus dengan kalimat, “Ini cuma lucu-lucuan kok.” Padahal, apa pun yang merendahkan nilai-nilai Islam tetap termasuk dalam kategori istihza’, bahkan jika tidak dimaksudkan untuk menghina secara serius.
Menjaga Lisan dan Jari di Era Digital
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lisan. Rasulullah SAW bersabda:
> “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, dalam konteks hari ini, menjaga lisan saja tidak cukup. Kita juga perlu menjaga jari dan layar—yakni apa yang kita ketik, kita posting, kita bagikan. Sebab dalam pandangan syariat, apa yang ditulis sama beratnya dengan apa yang diucapkan.
Bayangkan jika seseorang membuat atau menyebarkan konten yang memperolok agama. Lalu konten itu dilihat ribuan orang dan ditiru. Maka bukan hanya dia yang berdosa, tapi juga menanggung dosa dari setiap orang yang terpengaruh olehnya.
Mengapa Kita Sering Lengah?
Banyak dari kita, terutama generasi muda, tidak menyadari seriusnya bahaya istihza’. Ada beberapa faktor yang membuat kita lengah:
1. Budaya Komedi yang Bebas: Banyak komedian atau kreator konten menggunakan agama sebagai bahan tertawaan demi viralitas.
2. Kurangnya Pemahaman Agama: Sebagian orang tidak tahu bahwa bercanda soal agama bisa membatalkan keimanan.
3. Normalisasi di Media Sosial: Karena sudah sering melihat, kita jadi menganggap biasa hal-hal yang sebenarnya sangat serius dalam pandangan Islam.
4. Keinginan Terlihat Kritis atau “Berani”: Kadang orang merasa keren jika bisa menyindir agama dengan gaya intelektual, padahal yang dilakukan justru memperolok syariat.
Solusi: Literasi Iman dan Etika Digital
Untuk menghindari jebakan istihza’, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan:
Perbanyak ilmu tentang akidah, agar kita tahu mana batas bercanda dan mana yang sudah masuk wilayah kekufuran.
Berlatih berpikir sebelum bicara dan mengetik. Jika kita ragu apakah sesuatu pantas untuk diucapkan, maka diam adalah pilihan paling aman.
Bersihkan timeline dan pergaulan digital dari akun-akun atau konten yang sering memperolok agama.
Tegur dengan bijak jika ada teman atau kerabat yang mulai masuk ke wilayah istihza’.
Isi media sosial dengan konten positif yang menguatkan iman dan mencerdaskan umat, bukan sekadar lucu-lucuan.
Penutup: Menjaga Iman Adalah Prioritas Utama
Bagi seorang muslim, iman adalah aset paling berharga. Ia tidak boleh ditukar dengan apa pun, apalagi dengan tawa singkat yang menjerumuskan. Rasulullah SAW bersabda:
> “Seseorang mengucapkan suatu perkataan yang ia anggap ringan, namun karena itu ia tergelincir ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Istihza’ bukan hanya dosa, tapi bisa menjadi jalan kekufuran jika tidak segera disadari dan ditaubati. Maka, wahai saudara Muslim, jagalah lisan, jagalah jari, jagalah iman. Karena tidak ada yang tahu ucapan mana yang akan menjadi penentu keselamatan kita di akhirat nanti.
Ruang Sujud
Ijtihad dalam Islam: Kunci Dinamisasi Hukum di Era Modern

Published
1 day agoon
14/04/2025By
Yusuf Hasyim
Mokitorday.com – Dalam sejarah Islam, ijtihad selalu menjadi instrumen penting dalam merespons berbagai persoalan baru yang tidak ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis. Istilah ijtihad berasal dari akar kata Arab jahada, yang berarti bersungguh-sungguh. Dalam konteks hukum Islam, ijtihad merujuk pada upaya sungguh-sungguh seorang mujtahid untuk menggali hukum dari sumber-sumber syariat melalui pendekatan rasional dan metodologis.
Sejak masa para sahabat hingga era klasik Islam, ijtihad menjadi pilar utama dalam perkembangan hukum Islam (fiqh). Para sahabat Rasulullah seperti Umar bin Khattab dikenal sebagai tokoh ijtihad yang menghasilkan banyak kebijakan kontekstual. Misalnya, ketika Umar menangguhkan hukuman potong tangan bagi pencuri saat masa kelaparan, hal itu bukanlah bentuk pembangkangan terhadap syariat, tetapi contoh konkret penerapan ijtihad demi keadilan.
Ijtihad sangat penting karena Islam tidak turun hanya untuk satu masa atau satu tempat. Ajarannya bersifat universal dan elastis. Namun, elastisitas itu membutuhkan alat agar tetap relevan: di sinilah ijtihad berperan. Tanpa ijtihad, Islam berisiko terlihat kaku dan tak mampu menjawab kompleksitas kehidupan modern, mulai dari teknologi, bioetika, hingga sistem keuangan global.
Dalam sejarah, ijtihad tidak selalu berjalan mulus. Sekitar abad ke-10 M, sebagian ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup (insidad bab al-ijtihad). Alasannya, menurut mereka, semua permasalahan sudah memiliki jawaban dari para ulama terdahulu. Pandangan ini kemudian dikritik oleh banyak cendekiawan Muslim modern karena dianggap membatasi dinamika hukum Islam dan menghambat pembaruan pemikiran.
Di era modern, kebutuhan akan ijtihad semakin mendesak. Munculnya fenomena-fenomena baru seperti teknologi rekayasa genetika, kecerdasan buatan, dan fintech memunculkan pertanyaan etis dan hukum yang belum pernah ada sebelumnya. Ulama dan cendekiawan Muslim tidak bisa hanya mengandalkan pendapat masa lampau, tetapi harus melakukan ijtihad dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat.
Contoh paling nyata adalah dalam bidang keuangan. Sistem perbankan syariah merupakan hasil dari ijtihad kontemporer yang mencoba menghindari riba, spekulasi, dan ketidakpastian, sembari tetap menghadirkan instrumen keuangan modern yang relevan. Ini menunjukkan bahwa ijtihad bukan hanya alat teoretis, tapi juga solusi praktis dalam merumuskan sistem yang Islami dan sekaligus kontekstual.
Namun demikian, ijtihad bukan berarti sembarang orang bisa menafsirkan hukum sesuai kehendaknya. Ada syarat dan metodologi yang ketat. Seorang mujtahid harus menguasai ilmu-ilmu keislaman secara mendalam, seperti tafsir, hadis, usul fikih, bahasa Arab, serta memahami maqashid syariah — tujuan umum dari hukum Islam seperti keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan terhadap jiwa, akal, dan harta.
Ijtihad yang sembarangan dan tanpa dasar ilmu hanya akan melahirkan kekacauan. Oleh sebab itu, dalam Islam dikenal juga konsep taqlid yaitu mengikuti pendapat ulama yang terpercaya. Namun, taqlid yang membabi buta juga tidak sehat. Dalam konteks modern, umat Islam dituntut untuk kritis, menghargai otoritas ilmiah, namun tetap terbuka pada pembaruan.
Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan Fazlur Rahman adalah contoh cendekiawan yang menghidupkan kembali semangat ijtihad. Mereka menyadari bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur ibadah, tapi juga memberi arah bagi peradaban. Melalui ijtihad, hukum Islam tidak statis, melainkan dinamis mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai utamanya.
Hari ini, tantangan terbesar ijtihad bukan hanya pada soal teknis keilmuan, tetapi juga soal keberanian dan kebijaksanaan. Ijtihad harus bisa menyeimbangkan antara teks dan konteks, antara tradisi dan inovasi, antara idealisme syariat dan realitas kehidupan. Sebab, hukum Islam sejatinya hadir bukan untuk membebani, melainkan untuk membawa kemaslahatan dan keadilan bagi umat manusia.
Dalam dunia yang serba berubah dengan cepat ini, umat Islam membutuhkan mujtahid-mujtahid baru yang tidak hanya paham ilmu agama, tapi juga melek terhadap isu-isu kontemporer. Tantangan global seperti krisis iklim, kecanggihan teknologi, hingga isu-isu gender dan keadilan sosial menuntut adanya jawaban-jawaban Islami yang segar, mendalam, dan kontekstual. Jawaban-jawaban itu hanya bisa lahir lewat ijtihad yang cerdas dan bertanggung jawab.
Penutupnya, ijtihad adalah bukti bahwa Islam tidak berhenti pada masa lalu. Ia adalah agama yang terus hidup, tumbuh, dan menjawab zaman. Ijtihad menjadi jembatan antara wahyu dan realitas, antara nilai dan praktik, antara teks dan konteks. Dengan ijtihad, hukum Islam tetap relevan dan aplikatif, tak hanya sebagai warisan, tapi sebagai panduan hidup di abad ke-21 dan seterusnya.
—
Kalau kamu butuh versi artikel ini untuk blog dengan SEO, atau versi singkatnya, tinggal bilang aja ya!
Ruang Sujud
Peran Ijtihad dalam Menjawab Tantangan Zaman Modern

Published
2 days agoon
14/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Islam adalah agama yang sempurna, namun tidak kaku. Dalam ajarannya, Islam memberikan panduan yang lengkap untuk kehidupan manusia, tetapi juga memberi ruang untuk dinamika dan perubahan zaman. Salah satu instrumen utama dalam menjaga fleksibilitas ajaran Islam adalah ijtihad. Dalam konteks dunia modern yang serba cepat dan kompleks, ijtihad memegang peran penting untuk menjawab berbagai persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa Nabi Muhammad saw.
Secara etimologis, ijtihad berasal dari kata jahada, yang berarti mencurahkan tenaga atau bersungguh-sungguh. Dalam terminologi hukum Islam, ijtihad adalah proses intelektual seorang mujtahid untuk menggali dan menetapkan hukum syariat terhadap persoalan yang belum diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis. Ijtihad bukan bentuk penyimpangan dari nash, tetapi metode untuk menafsirkan ajaran Islam agar tetap relevan dalam segala kondisi.
Zaman modern menghadirkan tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding masa lalu. Kemajuan teknologi, globalisasi, perkembangan ekonomi digital, perubahan sosial, hingga isu lingkungan, semuanya menciptakan persoalan-persoalan baru yang belum ada presedennya dalam teks-teks klasik. Dalam menghadapi hal tersebut, umat Islam tidak bisa hanya berpaku pada penafsiran lama tanpa mempertimbangkan konteks kekinian.
Contoh nyata dari kebutuhan ijtihad dalam dunia modern adalah munculnya sistem keuangan berbasis digital, seperti mata uang kripto (cryptocurrency), e-wallet, dan layanan pinjaman online. Pada masa Nabi, tentu belum ada transaksi digital seperti ini. Maka, peran ijtihad menjadi penting untuk menilai apakah sistem tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti keadilan, transparansi, dan bebas dari riba.
Isu lain yang memerlukan ijtihad adalah bidang medis dan bioetika. Perkembangan teknologi kedokteran seperti transplantasi organ, fertilisasi in vitro (bayi tabung), hingga rekayasa genetika, menimbulkan pertanyaan hukum yang kompleks. Para ulama dan pakar syariah harus melakukan ijtihad dengan mempertimbangkan maqashid syariah, yaitu tujuan-tujuan syariat Islam, seperti menjaga jiwa, keturunan, dan akal.
Ijtihad juga penting dalam merespons tantangan sosial dan budaya. Misalnya, isu kesetaraan gender dalam dunia kerja, hak minoritas, atau sistem pendidikan modern. Semua itu memerlukan pendekatan ijtihadi agar hukum Islam tetap inklusif dan solutif, tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar ajaran Islam. Ijtihad tidak hanya bicara halal-haram, tetapi juga mempertimbangkan aspek maslahat, keadilan, dan kemanusiaan.
Dalam dunia yang serba terbuka dan cepat seperti sekarang, muncul juga tantangan baru dalam dakwah dan komunikasi Islam. Media sosial, film, dan platform digital membawa cara baru dalam menyampaikan nilai-nilai agama. Di sinilah ijtihad menjadi alat penting untuk menentukan batas-batas etika dakwah di dunia digital, sekaligus mencari pendekatan yang paling efektif bagi generasi muda tanpa kehilangan esensi dakwah itu sendiri.
Namun, ijtihad bukan sembarang berpikir bebas. Ia memiliki kaidah dan syarat ketat. Seorang mujtahid harus menguasai ilmu-ilmu dasar seperti bahasa Arab, tafsir, hadis, ushul fikih, serta memahami konteks sosial dan maqashid syariah. Dengan bekal itu, hasil ijtihad akan memiliki kredibilitas dan dapat dipercaya sebagai bagian dari pemikiran Islam yang sahih.
Di era sekarang, muncul konsep ijtihad kolektif (ijtihad jama’i), di mana para ulama, akademisi, dan praktisi dari berbagai bidang berkumpul untuk menyelesaikan persoalan kontemporer. Contohnya bisa kita lihat dalam keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Dewan Fiqih Islam Internasional yang melibatkan ahli hukum, ekonomi, kesehatan, hingga teknologi untuk merumuskan fatwa. Ini adalah bentuk adaptasi ijtihad yang sangat relevan dengan dunia modern yang multidisipliner.
Ijtihad juga menjadi jembatan antara tradisi dan pembaruan. Ia menjaga kesinambungan ajaran Islam dengan tetap membuka ruang untuk inovasi. Seperti yang dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat, syariat diturunkan untuk kemaslahatan manusia, dan kemaslahatan itu bisa berubah sesuai dengan waktu dan tempat. Maka, ijtihad adalah sarana untuk menyesuaikan hukum dengan realitas tanpa mengubah prinsip dasarnya.
Penting juga dipahami bahwa ijtihad tidak dimaksudkan untuk menggantikan wahyu, tetapi sebagai upaya memahami wahyu secara lebih kontekstual. Dengan ijtihad, hukum Islam menjadi hidup dan mampu menjawab tantangan zaman dengan tetap menjaga identitasnya. Tanpa ijtihad, hukum Islam akan tampak kaku dan sulit diterima dalam masyarakat modern yang dinamis dan plural.
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam, khususnya generasi muda, untuk mendukung pengembangan tradisi ijtihad. Ini bisa dimulai dari memperkuat literasi keislaman, mengkaji karya-karya ulama klasik dan kontemporer, serta membuka ruang diskusi dan dialog yang sehat dalam memahami agama. Pendidikan Islam juga perlu menanamkan semangat berpikir kritis, kreatif, dan kontekstual—bukan sekadar hafalan atau pengulangan pendapat lama.
Kesimpulannya, ijtihad adalah ruh dari dinamika hukum Islam. Di tengah perubahan zaman yang cepat, ijtihad menjadi alat utama untuk menjaga relevansi, kemaslahatan, dan keadilan dalam pelaksanaan syariat. Islam bukan agama yang terpenjara masa lalu, tetapi agama yang hadir untuk setiap zaman. Dan ijtihad adalah jembatan menuju masa depan Islam yang lebih inklusif, solutif, dan manusiawi.
Ruang Sujud
Ketika Hati Diketuk: Kisah-Kisah Menyentuh Tentang Hidayah

Published
3 days agoon
12/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana dan kapan hidayah akan datang. Ia datang tiba-tiba, sering kali di saat seseorang berada dalam titik terendah hidupnya. Hidayah adalah anugerah Allah yang tidak bisa dipaksakan, tapi bisa dijemput dengan usaha dan doa. Artikel ini akan mengajak kita menyelami beberapa kisah inspiratif tentang mereka yang telah merasakan indahnya hidayah—sebuah perubahan hati yang membuka jalan menuju kebaikan.
1. Hidayah di Tengah Dunia Malam
Dewi (nama samaran) adalah seorang perempuan yang dulu bekerja di dunia hiburan malam. Bagi sebagian orang, kehidupan yang ia jalani dianggap glamour: lampu gemerlap, musik keras, dan pergaulan bebas. Tapi di balik semua itu, ia menyimpan kehampaan yang tidak bisa ia jelaskan.
Satu malam, saat ia merasa benar-benar lelah dengan hidupnya, Dewi duduk di pojok kamar dan menangis tanpa tahu sebabnya. Ia membuka ponselnya dan secara acak memutar sebuah video ceramah. Video itu membahas tentang kasih sayang Allah yang tak terbatas, bahkan untuk mereka yang merasa paling berdosa.
Sejak malam itu, ia mulai rutin mendengar kajian. Sedikit demi sedikit, ia meninggalkan dunia malam, mulai belajar shalat, dan memperbaiki pergaulannya. “Saya tidak tahu kenapa bisa sampai di titik ini. Tapi malam itu, saya merasa Allah mengetuk hati saya,” ujarnya.
2. Seorang Ateis yang Menemukan Keyakinan
Budi adalah seorang mantan ateis yang tumbuh di lingkungan akademis. Sejak remaja, ia merasa agama hanyalah produk budaya. Namun, pertanyaan eksistensial terus menghantuinya: siapa yang menciptakan kehidupan, dan mengapa ia ada di dunia ini?
Dalam perjalanan ke luar negeri untuk studi, ia bertemu dengan teman sekamar asal Timur Tengah yang seorang Muslim taat. Budi awalnya merasa risih, tapi lambat laun ia tertarik dengan cara hidup temannya yang penuh ketenangan dan disiplin.
Budi mulai membaca Al-Qur’an terjemahan sebagai bentuk rasa ingin tahu. Ia tidak langsung percaya, tapi ia mulai menemukan jawaban yang logis dan menyentuh hati. Setelah bertahun-tahun bergelut dengan pencarian, ia mengucap syahadat. “Hidayah itu bukan sekadar emosi, tapi juga dialog panjang antara hati dan akal,” katanya.
3. Hidayah yang Datang dari Musibah
Kadang, hidayah datang lewat jalan yang menyakitkan. Seperti yang dialami oleh Wawan, seorang pengusaha sukses yang tiba-tiba bangkrut karena terkena penipuan.
Dulu, ia merasa tak butuh siapa pun. Ibadah hanya sekadar formalitas. Tapi saat jatuh dan ditinggalkan banyak teman, ia merasa benar-benar sendiri. Dalam keputusasaan itu, ia datang ke masjid terdekat hanya untuk mencari ketenangan.
Di situlah ia mulai kembali shalat, membaca Al-Qur’an, dan mendekat kepada Allah. Ia menemukan makna hidup yang sebelumnya tak pernah ia sadari. Kini, meski kondisi keuangannya belum kembali seperti dulu, ia merasa lebih kaya secara batin.
“Hidayah itu ternyata kadang dibungkus dalam musibah,” kata Wawan. “Tapi ketika kita bisa membukanya, isinya adalah kedamaian yang tak ternilai.”
4. Anak Punk yang Berubah Karena Al-Qur’an
Suatu hari, seorang relawan dakwah jalanan menceritakan pengalamannya bertemu dengan sekelompok anak punk. Ia awalnya hanya ingin berbagi makanan, tapi salah satu dari mereka, sebut saja Rian, bertanya tentang arti hidup.
Obrolan mereka berkembang. Rian yang awalnya hanya penasaran, mulai tertarik. Ia diberi mushaf kecil oleh sang relawan. Meski awalnya tidak paham, Rian terus membacanya setiap malam.
Hari demi hari, hatinya mulai terasa berbeda. Ia memutuskan untuk keluar dari komunitas punk dan memulai hidup baru. Ia kini menjadi seorang relawan juga, membantu anak-anak jalanan menemukan arah hidup.
“Saya nggak tahu kenapa bisa berubah. Tapi saat saya baca Al-Qur’an, saya merasa ada yang bicara langsung ke hati saya,” tutur Rian dengan mata berkaca-kaca.
Hidayah: Hadiah dari Allah, Bukan Hak Kita
Kisah-kisah di atas hanyalah sebagian kecil dari ribuan, bahkan jutaan kisah serupa di seluruh dunia. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, usia berbeda, dan kondisi hidup yang sangat beragam. Tapi satu hal yang sama: hati mereka diketuk oleh hidayah.
Hidayah tidak bisa dibeli, tapi bisa dijemput. Caranya? Dengan membuka hati, membersihkan niat, dan terus mencari kebenaran. Karena sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Barang siapa yang Allah kehendaki akan diberi petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk menerima Islam.”
(QS. Al-An’am: 125)
Kita tidak tahu kapan hidayah itu akan datang. Tapi kita bisa mempersiapkan hati kita agar pantas menerimanya. Dan jika sudah mendapatkannya, jangan sia-siakan. Karena hidayah adalah karunia yang lebih berharga dari dunia dan seisinya.
Ruang Sujud
Hidayah Tak Pernah Salah Alamat: Menjemput Cahaya di Tengah Gelap

Published
3 days agoon
12/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Setiap manusia memiliki fase gelap dalam hidupnya. Ada yang terjebak dalam dosa, ada yang merasa kehilangan arah, dan ada juga yang seolah tenggelam dalam rutinitas tanpa makna. Tapi satu hal yang perlu diyakini: hidayah tak pernah salah alamat. Ia akan datang pada siapa pun yang Allah kehendaki, pada waktu yang paling tepat, dan dengan cara yang sering kali tak terduga.
Hidayah dan Takdir: Bukan Milik Orang Suci Saja
Banyak orang merasa dirinya terlalu kotor untuk kembali kepada Allah. Padahal, justru perasaan itulah yang sering kali menjadi awal dari hidayah. Dalam Islam, tidak ada istilah “terlambat” atau “tidak pantas” untuk bertaubat. Allah Maha Pengampun, dan hidayah-Nya tidak memilih hanya orang-orang suci.
Kisah-kisah orang yang mendapatkan hidayah membuktikan bahwa Allah tak pernah menutup pintu ampunan. Ada yang dulunya pelaku maksiat, pemabuk, bahkan kriminal, namun kemudian berubah total dan menjadi pribadi yang saleh, lembut, dan penuh cinta kepada agama.
Hidayah tidak mengenal status sosial, pendidikan, apalagi masa lalu. Ia bisa menyapa siapa saja: dari jalanan yang panas hingga ruang kuliah yang sunyi, dari tahanan yang gelap hingga kamar yang mewah.
Ketika Gelap Justru Menjadi Awal Cahaya
Seorang teman pernah bercerita tentang masa tergelapnya. Ia kehilangan pekerjaan, rumah tangganya hancur, dan ia mulai menyalahkan hidup. Dalam keputusasaan itu, ia duduk sendiri di malam hari dan hanya bisa menangis. Tanpa disadari, tangis itu berubah jadi doa.
Beberapa hari kemudian, tanpa rencana, ia mendatangi masjid saat adzan Subuh berkumandang. Ia ikut shalat berjamaah, dan merasakan ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sejak saat itu, hidupnya perlahan berubah. Ia kembali beribadah, memperbaiki diri, dan memulai bisnis kecil yang jujur.
Ia mengatakan, “Kalau bukan karena gelapnya masa lalu, mungkin saya tidak akan pernah menghargai indahnya cahaya.” Di sinilah kita melihat bahwa dalam kesulitan dan kejatuhan, Allah sering menyelipkan jalan pulang.
Menjemput Hidayah: Usaha yang Harus Dilakukan
Meskipun hidayah adalah murni pemberian Allah, bukan berarti kita hanya menunggu tanpa usaha. Seperti halnya rezeki, hidayah juga harus dijemput. Caranya? Dengan mendekat kepada Allah.
Mulailah dari yang sederhana: perbanyak dzikir, baca Al-Qur’an meskipun hanya satu ayat per hari, hadiri kajian walau hanya seminggu sekali, atau cukup duduk sendiri di malam hari dan berdialog dengan Allah. Tidak ada cara yang sia-sia selama kita benar-benar ikhlas mencarinya.
Jangan pernah remehkan kebaikan kecil. Mungkin satu ucapan istighfar, satu sedekah, atau satu air mata tobat bisa menjadi titik awal datangnya cahaya yang akan membimbing kita selamanya.
Hidayah yang Konsisten Butuh Perjuangan
Setelah mendapatkan hidayah, perjuangan belum selesai. Justru di situlah ujian dimulai. Godaan lama akan datang kembali, lingkungan bisa jadi tidak mendukung, bahkan keluarga sendiri bisa menjadi penghalang.
Namun, Allah tidak akan meninggalkan orang yang telah Ia beri petunjuk. Selama kita terus berjuang, Allah akan terus menguatkan hati kita. Seperti firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka…”
(QS. Fussilat: 30)
Istiqamah adalah kunci. Walaupun jatuh, bangkitlah kembali. Meskipun goyah, tetaplah bertahan. Karena setiap langkah kecil menuju Allah akan dibalas dengan keberkahan yang besar.
Hidayah di Zaman Digital
Hari ini, hidayah bisa datang lewat berbagai cara yang tidak pernah dibayangkan. Media sosial, YouTube, podcast, bahkan meme islami bisa menjadi pintu masuk seseorang untuk mengenal Islam lebih dalam.
Sudah banyak kisah viral tentang anak muda yang awalnya hanya scroll TikTok, lalu terhenti pada video pengingat kematian, dan akhirnya terdorong untuk berubah. Atau seorang gamer yang tanpa sengaja mendengar ceramah saat live stream, lalu mulai tertarik belajar agama.
Zaman sekarang memberi kita dua sisi: bisa menyesatkan, tapi juga bisa menyelamatkan. Pilihan ada di tangan kita. Isi timeline dengan hal baik, ikuti akun-akun dakwah, dan jadikan media sebagai jembatan menjemput hidayah, bukan jebakan yang menyesatkan.
Hidayah Itu Nyata, Asal Kita Mau Mencari
Tak ada yang lebih indah dari hidup yang dipenuhi makna. Dan makna itu hanya bisa ditemukan jika hati kita terhubung dengan Pencipta. Hidayah bukan milik orang tertentu. Ia adalah undangan cinta dari Allah kepada siapa pun yang membuka hatinya.
Jadi jika kamu merasa sedang berada di titik gelap, jangan menyerah. Bisa jadi, itu adalah cara Allah mengetuk pintumu. Jangan abaikan suara hati yang rindu pulang. Karena saat kamu melangkah satu langkah kepada-Nya, Allah akan melangkah seribu langkah mendekatimu.
Ruang Sujud
Dari Dosa Menuju Cahaya: Perjalanan Spiritual Menemukan Hidayah

Published
3 days agoon
12/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Ada yang terang-terangan, ada yang diam-diam. Tapi apa pun bentuknya, satu hal yang harus diingat: pintu taubat selalu terbuka. Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Dari dosa menuju cahaya bukanlah perjalanan instan, tetapi proses spiritual yang penuh makna—dan hidayah adalah kunci di dalamnya.
Dosa Adalah Bagian dari Perjalanan
Dalam kehidupan ini, tidak ada manusia yang luput dari dosa. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap anak Adam pasti pernah berbuat dosa, dan sebaik-baik pendosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Jadi, memiliki masa lalu yang kelam bukanlah akhir dari segalanya. Justru, bagi sebagian orang, itu menjadi titik balik yang mempertemukan mereka dengan cahaya. Banyak kisah inspiratif yang membuktikan bahwa orang-orang yang dulunya jauh dari Allah, akhirnya menjadi hamba-Nya yang paling dekat, setelah melewati fase-fase penuh luka dan kesalahan.
Yang membedakan bukan siapa yang paling sedikit dosanya, tapi siapa yang paling serius dalam memperbaiki diri.
Hidayah: Karunia Terindah
Hidayah adalah petunjuk yang Allah berikan kepada hamba-Nya agar kembali kepada jalan kebenaran. Ini bukan hal yang bisa dipaksakan atau dibeli. Banyak orang yang belajar agama bertahun-tahun, tapi tak kunjung berubah. Sebaliknya, ada yang hanya mendengar satu ayat, lalu hatinya langsung bergetar dan berubah seketika.
Hidayah bisa datang lewat kejadian kecil. Mungkin dari kehilangan orang tercinta, dari sakit yang menyadarkan, dari ucapan anak kecil, atau bahkan dari mimpi yang mengguncang hati. Saat itu datang, rasanya seperti diguyur air di tengah padang pasir—sejuk, jernih, dan menyegarkan jiwa yang haus akan makna.
Proses yang Tidak Instan
Menemukan hidayah bukan berarti langsung menjadi sempurna. Banyak orang mengira begitu dapat hidayah, hidup akan langsung lurus dan mudah. Nyatanya, tidak. Justru setelah hidayah, perjuangan sesungguhnya dimulai.
Dari meninggalkan kebiasaan buruk, mengubah lingkungan pertemanan, belajar ilmu agama, hingga menghadapi cibiran dan keraguan dari orang-orang terdekat—semuanya adalah bagian dari jalan panjang menuju cahaya.
Namun, perjuangan itu tidak akan sia-sia. Allah berjanji dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(QS. Al-Ankabut: 69)
Setiap langkah kecil menuju Allah akan dibalas dengan pertolongan-Nya. Setiap tetes air mata penyesalan akan menjadi saksi cinta seorang hamba kepada Tuhannya.
Ujian Setelah Hidayah
Banyak yang tidak siap menghadapi ujian pasca-hidayah. Mereka mengira setelah dekat dengan Allah, hidup akan langsung lancar. Padahal, para nabi dan orang saleh pun diuji berat setelah mendapatkan wahyu.
Hidayah bukan jaminan hidup bebas masalah, tapi jaminan bahwa kita akan menghadapi masalah dengan cara yang lebih bijak. Kita tidak lagi sendiri, karena kita punya Allah yang membimbing setiap langkah.
Saat tergoda kembali pada dosa, saat lingkungan menarik kita mundur, saat rasa malas kembali menyerang—di situlah ujian keistiqamahan terjadi. Dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan terus memohon kekuatan kepada Allah dan tetap berada di lingkaran kebaikan.
Lingkungan yang Mendukung Adalah Kunci
Banyak orang gagal menjaga hidayah karena kembali ke lingkungan yang dulu. Padahal, salah satu cara menjaga hati agar tetap berada dalam cahaya adalah dengan mengganti lingkungan.
Cari teman-teman yang mendukung hijrahmu. Ikuti komunitas dakwah, hadiri kajian, perbanyak interaksi dengan orang-orang yang memperjuangkan agama. Mereka tidak hanya menjadi pengingat, tapi juga menjadi support system yang akan menopangmu saat lemah.
Kamu adalah cerminan dari orang-orang yang paling sering kamu temui. Maka, pilihlah lingkungan yang akan membawamu lebih dekat kepada Allah.
Memaafkan Diri Sendiri, Menerima Masa Lalu
Salah satu hambatan terbesar dalam perjalanan spiritual adalah rasa bersalah yang terus menghantui. Sebagian orang merasa tak pantas mendapat ampunan, tak layak bicara tentang agama, bahkan malu untuk kembali ke masjid karena dosa-dosa masa lalu.
Padahal, Allah tidak menilai masa lalu kita. Dia melihat hati dan niat kita hari ini. Jangan biarkan dosa masa lalu menjadi rantai yang menahanmu, padahal Allah sudah membuka pintu kebebasan.
Ampuni dirimu sendiri, karena Allah sudah mengampunimu. Terimalah masa lalu sebagai pelajaran, bukan sebagai kutukan. Dari situlah kamu akan belajar menjadi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih berempati pada sesama.
Kesimpulan: Setiap Orang Punya Peluang Kedua
Perjalanan dari dosa menuju cahaya bukanlah cerita langka. Itu adalah kenyataan yang sudah dialami jutaan orang, dari zaman dahulu hingga sekarang. Dan kamu pun bisa menjadi salah satunya.
Selama masih ada waktu, masih ada kesempatan. Selama jantung masih berdetak, Allah masih membuka pintu-Nya. Jangan tunggu “siap”, karena hidayah tidak menunggu kesiapan—ia datang pada hati yang terbuka, walau hanya sedikit.
Jadi jika hari ini kamu sedang berjuang melawan dosa, sedang mencari makna, atau sedang merasa jauh dari Allah—ketahuilah, itu adalah tanda bahwa kamu sedang menuju cahaya. Dan siapa tahu, di balik gelapnya malam yang kamu lalui, fajar hidayah sudah sangat dekat.
Ruang Sujud
Ketika Dunia Menolak, Allah Memanggil: Refleksi Hidayah dalam Kesendirian

Published
4 days agoon
12/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Ada masa dalam hidup di mana semuanya terasa menjauh. Teman yang dulu dekat, perlahan menghilang. Keluarga tak memahami, cinta ditolak, pekerjaan gagal, dan dunia seakan berkata: “Kamu tidak layak.” Di titik itulah, banyak orang merasa sendirian. Tapi justru di titik itulah, banyak hati akhirnya mengenal sesuatu yang jauh lebih dalam—yaitu hidayah.
Kesendirian: Sebuah Ruang Dialog dengan Diri dan Tuhan
Kesendirian sering dianggap sebagai kondisi menyedihkan. Padahal, bagi jiwa yang sedang mencari, itu adalah ruang refleksi paling jujur. Ketika tak ada lagi yang bisa diajak bicara, seseorang akhirnya mulai bicara dengan dirinya sendiri, lalu menengadah dan bicara pada Tuhannya.
Tak jarang, justru saat hidup menolak kita dari segala arah, kita malah mulai menengok ke atas. Itulah kenapa banyak kisah hidayah dimulai dari rasa kehilangan, penolakan, bahkan kehancuran.
Kesendirian, meskipun pahit, adalah pintu rahasia menuju perjumpaan dengan cahaya ilahi.
Dunia Tak Selalu Mengerti, Tapi Allah Selalu Mendengar
Kadang, kita merasa tak dipahami oleh siapa pun. Cerita kita terlalu rumit, luka kita terlalu dalam. Dan saat kita ingin curhat, tak ada yang benar-benar peduli. Dunia terburu-buru, dan semua sibuk dengan luka masing-masing.
Namun di saat semua diam, Allah tetap mendengar. Bahkan sebelum kata-kata kita terucap, Dia sudah tahu isi hati kita. Inilah indahnya iman: ketika dunia menolak, kita tidak benar-benar sendiri.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat.”
(QS. Al-Baqarah: 186)
Allah tidak menjauh saat kita terpuruk. Justru Dia dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri. (QS. Qaf: 16)
Saat Dunia Jatuh, Hidayah Naik
Coba perhatikan: banyak orang menemukan hidayah justru setelah titik terendah dalam hidup mereka. Ada yang mendapat hidayah setelah dipenjara, ada yang setelah ditinggal orang tercinta, ada yang setelah dihina habis-habisan, dan ada pula yang setelah kehilangan segalanya.
Dunia yang runtuh seakan menjadi alarm untuk membangunkan jiwa yang tertidur. Ketika sudah tak punya sandaran manusia, seseorang akhirnya bersandar kepada Allah. Dan di situlah hidayah sering turun, diam-diam, lembut, tapi menghujam.
Hidayah tidak selalu datang dalam bentuk wahyu atau keajaiban besar. Kadang, ia datang berupa air mata malam hari, kesendirian yang menggigit, atau pertanyaan yang terus mengusik hati: “Untuk apa semua ini?”
Dan saat kita benar-benar menjawabnya dengan kejujuran, saat itu juga cahaya mulai masuk.
Menemukan Allah dalam Kesendirian
Banyak orang mengenal Tuhan hanya lewat teori—melalui pelajaran agama di sekolah, khutbah di masjid, atau sekadar nasihat orang tua. Tapi pengenalan paling dalam sering datang bukan dari buku, melainkan dari pengalaman personal.
Ketika seseorang benar-benar merasa kosong, lalu mengisi kekosongan itu dengan shalat, dzikir, doa, atau sekadar menangis dalam sujud—itulah titik baliknya. Tidak ada yang lebih menggetarkan daripada merasa disapa oleh Allah di tengah malam ketika semua tidur, dan kita satu-satunya yang terjaga, bicara dengan-Nya dalam bahasa paling jujur.
Kesendirian menjadi ladang ibadah yang dalam. Dan hidayah tumbuh subur di sana.
Tanda-Tanda Hidayah dalam Sunyi
Hidayah kadang tak terasa seperti hidayah. Ia bisa hadir dalam bentuk kegelisahan, keresahan, atau bahkan rasa sakit hati yang terus menghantui. Tapi saat kita mulai berpikir: “Apa maksud semua ini?”, itu adalah awal dari petunjuk.
Tanda-tanda hidayah bisa bermacam-macam:
- Hati mulai merasa tidak nyaman saat melakukan dosa.
- Tiba-tiba tertarik mendengarkan ceramah atau membaca ayat Al-Qur’an.
- Menangis saat mendengar lantunan adzan atau shalawat.
- Merasa malu pada diri sendiri dan ingin menjadi lebih baik.
- Ada dorongan untuk memulai hidup baru, meninggalkan yang lama.
Itu semua bukan kebetulan. Itu adalah panggilan. Allah sedang memanggilmu, pelan-pelan, lembut, tapi pasti.
Jangan Takut Berubah Sendirian
Banyak orang ragu menerima hidayah karena merasa akan berjalan sendiri. Takut dijauhi teman, takut dibilang sok alim, takut dianggap berubah terlalu cepat. Padahal, hidayah adalah urusan hati. Jika hatimu sudah terpanggil, jangan tunggu orang lain mengerti.
Ketahuilah, ketika kamu berjalan menuju Allah, Dia akan berlari menyambutmu. (HR. Bukhari & Muslim)
Perubahan memang berat di awal, apalagi saat dilakukan sendiri. Tapi percayalah, semakin kamu melangkah, Allah akan mempertemukanmu dengan orang-orang yang sama-sama sedang menuju-Nya. Teman baru, lingkungan baru, energi baru—semuanya akan hadir seiring perjalanan.
Kamu mungkin memulai sendiri, tapi kamu tidak akan selamanya sendiri.
Kesimpulan: Hidayah Bukan untuk yang Sempurna, Tapi untuk yang Mau Berubah
Refleksi hidayah dalam kesendirian adalah bukti bahwa cinta Allah tidak mengenal syarat. Ia tidak menunggu kamu menjadi sempurna. Justru dalam kekurangan, dalam keterpurukan, dan dalam kesunyian—Dia hadir lebih dekat dari sebelumnya.
Jangan takut jika saat ini dunia menolakmu. Mungkin itu cara Allah untuk mengundangmu kembali. Karena saat semua pintu tertutup, hanya satu yang selalu terbuka: pintu-Nya.
Dan siapa pun yang mengetuknya, akan disambut dengan cinta yang tak pernah habis.
Jadi, jika hari ini kamu sedang merasa sendiri, jangan sedih—barangkali itu pertanda bahwa Allah sedang memanggilmu pulang.
Monitor Saham BUMN

Buru Gelar Juara, Bomber Persib Siap Kerja Keras Raih Poin Penuh Lawan Bali United

Nvidia Kucurkan Rp8.000 Triliun Bangun Fasilitas AI, Imbas Tarif Trump

Ojol Bakal Diakui sebagai UMKM, Bisa Nikmati BBM Subsidi hingga KUR

BRI Boyong UMKM Binaan Ikuti Pameran Internasional di Singapura

Diduga Lecehkan Pasien, Kemenkes Tangguhkan Izin Praktek Dokter Kandungan di Garut

Momen Katy Perry Cium Tanah Usai Terbang ke Luar Angkasa

Negosiasi Tarif Trump, Menko Airlangga OTW AS Malam Ini

Istihza’ dalam Perspektif Islam: Antara Dosa Besar dan Ancaman Aqidah

Hasil Drawing Babak 64 Besar Putaran Nasional Liga 4 2024/2025

Mengapa Istihza’ Terhadap Ajaran Islam Bisa Menggugurkan Iman?

Bahaya Istihza’: Ketika Candaan Menjadi Kufur

Green Day Ubah Lirik di Coachella 2025, Serukan Dukungan untuk Palestina

Kemenekraf dan InJourney Beri Panggung untuk JUMBO, Film Animasi Lokal Tembus 3 Juta Penonton

Haneda Tokyo Kembali Puncaki Daftar 10 Bandara Terbersih di Dunia 2025

Menjaga Lisan dari Istihza’: Refleksi untuk Muslim Milenial

Mewah & Penuh Skandal: Deretan Mobil dan Motor Disita dari Tersangka Suap Kasus CPO

80 Ribu Kopdes Merah Putih Diluncurkan, Dananya dari Mana?

INATKF Siap All out di FORNAS VIII NTB

Bakal dihadiri 15.000 Peserta, FORNAS NTB Jadi Pesta Rakyat Penuh Energi
