Monitorday.com – Malam itu, langit Los Angeles merah menyala. Api melahap gedung-gedung tinggi, membara tanpa ampun. Seorang pria tua di pinggir jalan menggeleng pelan sambil berbisik, “Ini balasan.”
Tentu ini balasan bagi Amerika Serikat dan Israel yang sering digadang sebagai pelopor demokrasi, tapi rekam jejak mereka menunjukkan ironi. Dari retorika manis tentang kebebasan hingga kebijakan luar negeri yang penuh manipulasi, dua negara ini lebih sering menjadi aktor utama dalam drama penghancuran keadilan global.
Di Palestina, kehidupan terus digerogoti oleh penjajahan modern. Rakyat di sana bertahan dengan keberanian luar biasa, meski menghadapi blokade ekonomi, serangan militer, dan penghancuran rumah-rumah mereka. Dunia menyaksikan, namun sebagian besar diam, dibungkam oleh narasi “keamanan nasional” yang dipelintir oleh Israel dengan dukungan penuh dari AS.
Ketidakadilan ini bukan sekadar isu lokal. Kebijakan luar negeri AS dan Israel telah menciptakan luka mendalam yang dirasakan hingga ke pelosok dunia. Di balik layar, mereka mendikte politik negara-negara lain dengan dalih demokrasi, meski sering kali justru menghancurkan stabilitas wilayah.
Namun, alam semesta tampaknya memiliki cara sendiri untuk menyeimbangkan segalanya. Kebakaran besar yang melanda Los Angeles baru-baru ini dianggap oleh sebagian orang sebagai simbol balasan atas kebijakan arogan dua negara ini. Meski secara logis tidak ada hubungan langsung antara kebakaran tersebut dan tragedi di Palestina, banyak yang melihatnya sebagai metafora sempurna dari apa yang terjadi ketika keadilan diabaikan.
Los Angeles, kota penuh gemerlap dan simbol kekuatan Amerika, kini menjadi pengingat pahit bahwa kekuasaan tanpa moralitas hanya akan membawa kehancuran. Api yang membakar kota itu seolah mencerminkan api ketidakadilan yang selama ini dibiarkan menyala di Palestina.
Bagi banyak orang, hubungan antara kebijakan luar negeri AS-Israel dan berbagai tragedi dunia bukanlah kebetulan. Dari konflik di Timur Tengah hingga ketegangan geopolitik di Asia, jejak tangan mereka selalu ada. Narasi yang mereka bangun tentang “perdamaian” sering kali hanyalah kedok untuk kepentingan politik dan ekonomi semata.
Di tengah semua ini, pertanyaan besar muncul: apakah dunia akan terus membiarkan dua negara ini mendikte arah peradaban? Atau, apakah ada harapan bagi masyarakat global untuk bersatu melawan ketidakadilan yang mereka ciptakan?
Malam itu di Los Angeles, seorang anak kecil bertanya pada ibunya, “Kenapa kota ini terbakar?” Sang ibu hanya bisa memeluk anaknya, tak mampu menjelaskan bahwa kadang, api yang terlihat hanyalah cerminan dari api yang lebih besar—api ketidakadilan yang menyala di tempat lain.