Monitorday.com – Muhammad SAW dikenal sebagai manusia pilihan Allah, utusan yang membawa risalah kebenaran untuk seluruh umat manusia. Meskipun begitu, beliau tetaplah manusia yang memiliki sifat-sifat manusiawi, meski tentu tak sama dengan manusia pada umumnya (basyarun laysa kal basyari). Di antara sifat kemanusiaannya yang mulia adalah sikap ramah, penuh kasih sayang, dan sesekali diselingi dengan canda yang mengandung hikmah.
Kisah ini diceritakan oleh Kiai Ahmad Muwaffiq, seorang pendakwah NU yang tinggal di Jombor, Sleman, Yogyakarta. Pada peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang berlangsung di Masjid Al-Fathonah, Kesatrian, Purworejo, Jumat (31/3/2017), Kiai Muwaffiq mengisahkan salah satu canda Nabi Muhammad SAW bersama Sayyidina Ali.
Dalam ceritanya, Kiai Muwaffiq mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Hadis tersebut menggambarkan sisi kemanusiaan Nabi yang penuh kelembutan dan kebijaksanaan. Kisah ini terjadi pada suatu waktu ketika Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya berbuka puasa bersama. Salah satu hidangan yang disajikan saat itu adalah kurma, makanan khas yang kerap hadir di tengah kaum Muslimin.
Masing-masing sahabat menikmati kurma dengan lahap. Setelah memakan daging buahnya, biji-biji kurma pun diletakkan di depan mereka. Tidak lama kemudian, Sayyidina Ali, yang dikenal cerdas dan kadang penuh humor, melihat tumpukan biji kurma di hadapan Nabi. Keisengan khas Sayyidina Ali pun muncul, membawa suasana menjadi lebih cair.
Dengan tersenyum, Sayyidina Ali memindahkan biji-biji kurmanya sendiri ke depan Nabi Muhammad SAW. Ia menyusun tumpukan tersebut sehingga terlihat lebih banyak daripada tumpukan di depannya. Lalu, dengan nada bercanda, Sayyidina Ali berseloroh kepada Nabi, “Apa engkau begitu lapar, wahai Nabi, sehingga begitu banyak kurma yang engkau habiskan?”
Ucapan Sayyidina Ali ini mengundang tawa kecil dari para sahabat yang melihat keisengannya. Namun, yang luar biasa dari kisah ini adalah bagaimana Nabi Muhammad SAW merespons candaan tersebut. Alih-alih merasa tersinggung atau marah, Nabi dengan bijaksana membalas canda itu dengan kecerdasan dan kehangatan.
Beliau tersenyum, lalu menjawab, “Bukannya kau yang justru terlalu lapar, wahai Ali. Lihat di depanmu, tak hanya kurmanya yang engkau makan, tetapi juga sekaligus biji-bijinya.”
Jawaban ini sontak membuat semua yang hadir terpingkal-pingkal. Canda Nabi ini tidak hanya memperlihatkan kelucuan, tetapi juga menunjukkan akhlak mulia beliau. Nabi tidak pernah menjadikan canda sebagai alasan untuk merendahkan orang lain, melainkan sebagai cara mempererat hubungan dan menciptakan suasana yang menyenangkan.
Dalam penuturan Kiai Muwaffiq, kisah ini menjadi contoh betapa indahnya akhlak Nabi Muhammad SAW. Beliau selalu menjaga hubungan baik dengan para sahabatnya, bahkan dalam hal-hal kecil seperti bercanda. Humor yang beliau tunjukkan tidak pernah keluar dari batas-batas kesopanan atau melukai perasaan orang lain. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam untuk meneladani sikap Nabi dalam menjaga keharmonisan dan persaudaraan.
Kisah canda Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Ali ini, meski sederhana, mengandung banyak hikmah. Ia mengajarkan kepada kita pentingnya menghadirkan keceriaan dalam kehidupan, tetapi tetap dengan sikap yang bijaksana dan penuh kasih sayang.