Monitorday.com – Mabit di Muzdalifah dan Mina bukan sekadar aktivitas fisik bermalam di tempat tertentu, tetapi merupakan ibadah yang sarat makna dan penuh keutamaan. Ibadah ini menjadi bagian dari rangkaian haji yang langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW, menjadikannya sunnah yang sangat dianjurkan untuk diikuti oleh seluruh umat Islam yang menunaikan haji.
Mabit di Muzdalifah dilakukan setelah wukuf di Arafah, pada malam 10 Dzulhijjah. Di tempat ini, para jamaah berkumpul dan bermalam dalam kesederhanaan, sebagai bentuk kesatuan dan kerendahan hati di hadapan Allah. Rasulullah SAW sendiri bermalam di Muzdalifah hingga menjelang subuh, lalu melanjutkan perjalanan ke Mina. Dalam hadits riwayat Muslim, Nabi bersabda bahwa siapa yang mengikuti langkahnya, maka ia telah beribadah dengan benar.
Salah satu keutamaan mabit di Muzdalifah adalah sebagai bentuk penyempurnaan wukuf di Arafah. Jika Arafah menjadi puncak haji, maka Muzdalifah adalah tahap kontemplasi yang memperkuat spiritualitas jamaah. Di sinilah jamaah dianjurkan untuk memperbanyak doa dan zikir di bawah langit malam, tanpa tenda, dalam kondisi seadanya.
Di Muzdalifah pula jamaah mengumpulkan batu kerikil untuk digunakan dalam ritual lempar jumrah di Mina. Aktivitas ini melambangkan kesiapan fisik dan mental untuk melawan bisikan setan dan hawa nafsu, sebagai bentuk jihad pribadi yang simbolik.
Sementara itu, mabit di Mina dilakukan pada malam hari setelah lempar jumrah, yaitu malam tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Rasulullah SAW sendiri bermalam di Mina selama tiga malam dan melakukan lempar jumrah setiap harinya. Keutamaan bermalam di Mina adalah mengikuti jejak Nabi dalam menghadapi ujian kesabaran dan keteguhan iman.
Mina merupakan tempat yang penuh sejarah. Di sinilah Nabi Ibrahim AS pernah diuji saat hendak menyembelih putranya, Ismail AS. Lempar jumrah menjadi simbol pengusiran setan yang menggoda Nabi Ibrahim, dan mabit menjadi bagian dari perenungan atas perjuangan beliau. Dengan demikian, mabit di Mina mengajarkan tentang keteguhan, keberanian, dan ketaatan.
Dalam kondisi darurat, syariat Islam memberikan keringanan (rukhshah) untuk mabit, seperti bagi petugas pelayanan haji atau orang sakit. Namun, bagi yang mampu, menjalankan mabit dengan sempurna akan mendatangkan keutamaan besar dan pahala mengikuti sunnah Rasulullah SAW secara utuh.
Keutamaan mabit tidak hanya bersifat ibadah ritual, tetapi juga ibadah sosial. Jamaah dari berbagai bangsa dan latar belakang hidup bersama dalam suasana kebersamaan, saling membantu, dan menghilangkan sekat-sekat duniawi. Ini menjadi latihan hidup dalam ukhuwah Islamiyah yang sesungguhnya.
Lebih dari itu, mabit mengajarkan kesabaran, karena dilaksanakan dalam kondisi terbatas, sederhana, dan kadang tidak nyaman. Justru dari ketidaknyamanan itulah muncul rasa syukur dan kerendahan hati yang sejati, menghapus kesombongan dan melatih keikhlasan.
Dengan meneladani sunnah Rasulullah SAW dalam mabit di Muzdalifah dan Mina, jamaah tidak hanya melaksanakan rukun haji secara teknis, tetapi juga menyerap ruh spiritual yang terkandung di dalamnya. Setiap malam yang dilalui di sana adalah malam penyucian hati dan jiwa.
Maka, siapa pun yang menunaikan haji, hendaknya tidak meremehkan mabit. Sebab, dalam keheningan malam itulah tersembunyi keutamaan besar, keteladanan Nabi, dan kesempatan untuk benar-benar dekat dengan Allah.