Ruang Sujud
Makna Rahmatan Lil Alamin: Islam Sebagai Rahmat bagi Seluruh Alam

Published
2 days agoon
By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Islam dikenal sebagai agama yang membawa pesan damai, kasih sayang, dan kebaikan untuk semua makhluk di bumi. Salah satu konsep penting yang menggambarkan hal ini adalah rahmatan lil alamin, sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berarti “rahmat bagi seluruh alam.” Konsep ini bukan hanya sebuah slogan, melainkan prinsip dasar dalam ajaran Islam yang mendasari misi Nabi Muhammad SAW dan pandangan Islam terhadap dunia.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).
Ayat ini menegaskan bahwa keberadaan Rasulullah SAW di dunia bukan untuk satu kelompok tertentu saja, tetapi untuk seluruh alam semesta, meliputi manusia, hewan, tumbuhan, bahkan seluruh makhluk hidup dan ciptaan lainnya.
Memahami Makna Rahmat
Dalam bahasa Arab, rahmat bermakna kasih sayang, kelembutan, dan kebaikan yang mendalam. Rahmat yang dibawa oleh Islam tidak hanya berbentuk nasihat atau pengajaran, tetapi tercermin dalam praktik nyata: sikap empati, keadilan sosial, kepedulian terhadap lingkungan, serta penghormatan terhadap sesama makhluk.
Islam mengajarkan umatnya untuk berbuat baik kepada siapa saja, tanpa memandang agama, ras, atau latar belakang. Nabi Muhammad SAW menunjukkan ini dalam berbagai aspek kehidupannya, baik saat berinteraksi dengan kaum Muslim maupun non-Muslim, bahkan dengan hewan dan alam.
Islam Sebagai Agama Kedamaian
Dalam sejarah, Islam hadir di tengah-tengah masyarakat Arab yang penuh konflik, pertikaian suku, dan ketidakadilan sosial. Misi Rasulullah SAW membawa transformasi besar dengan menanamkan nilai persaudaraan, keadilan, dan perdamaian. Melalui konsep rahmatan lil alamin, Islam mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang harmonis, beradab, dan saling menghormati.
Sikap saling tolong-menolong, menjaga hak orang lain, memperjuangkan keadilan, serta melindungi yang lemah adalah bagian dari manifestasi rahmat ini. Dengan prinsip ini, Islam menolak kekerasan dan kezaliman atas nama apapun, termasuk atas nama agama itu sendiri.
Ajaran Universal untuk Seluruh Alam
Uniknya, rahmatan lil alamin tidak hanya mencakup hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan alam sekitar. Dalam Islam, merusak lingkungan, menyakiti hewan, dan mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip rahmat.
Nabi Muhammad SAW sendiri memberi teladan dalam memperlakukan hewan dengan kasih sayang, menyuruh umatnya untuk hemat dalam penggunaan air, bahkan saat berwudu di sungai yang mengalir deras. Ini menunjukkan bahwa rahmat Islam meliputi semua aspek kehidupan, tidak terbatas pada hubungan sosial, tetapi juga ekologis.
Implementasi Rahmatan Lil Alamin di Zaman Modern
Di era modern, tantangan untuk mewujudkan nilai rahmatan lil alamin semakin besar. Dunia menghadapi berbagai persoalan seperti konflik antarbangsa, ketidakadilan ekonomi, krisis lingkungan, serta intoleransi antar umat beragama. Konsep rahmatan lil alamin menjadi sangat relevan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini.
Sebagai umat Islam, kita dituntut untuk menjadi agen perdamaian, pelindung lingkungan, serta pembela keadilan sosial di mana pun kita berada. Sikap ini harus dimulai dari hal-hal kecil: menghormati perbedaan, bersikap adil dalam berbagai situasi, menjaga kelestarian alam, hingga aktif berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan penuh kasih.
Rahmatan Lil Alamin dalam Kehidupan Sehari-hari
Mengamalkan rahmatan lil alamin tidak selalu memerlukan aksi besar. Ia bisa diwujudkan dalam tindakan sederhana seperti:
Bersikap ramah dan santun kepada tetangga, apapun latar belakangnya.
Menjaga kebersihan lingkungan dan menghemat sumber daya alam.
Menghormati keberagaman budaya dan agama dengan sikap toleran.
Membantu mereka yang membutuhkan tanpa memandang suku atau agama.
Menghargai hak-hak hewan dan makhluk hidup lainnya.
Dengan cara-cara sederhana ini, setiap individu Muslim berkontribusi dalam mewujudkan dunia yang lebih damai dan berkeadilan sesuai dengan misi Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Penutup
Rahmatan lil alamin adalah fondasi utama yang menggambarkan ajaran Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Konsep ini menuntut setiap Muslim untuk hidup dengan membawa kebaikan, kasih sayang, dan kedamaian kepada semua makhluk. Dalam dunia yang penuh dengan perbedaan dan tantangan, nilai ini menjadi pegangan penting untuk membangun peradaban yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan. Dengan memahami dan mengamalkan nilai rahmatan lil alamin, kita tidak hanya menghidupkan semangat ajaran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga berkontribusi nyata untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua.

Mungkin Kamu Suka
Ruang Sujud
Menerapkan Nilai Rahmatan Lil Alamin dalam Kehidupan Sehari-hari

Published
2 days agoon
19/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama, alam, dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Salah satu konsep penting dalam Islam adalah rahmatan lil alamin, yang berarti rahmat bagi seluruh alam. Konsep ini tidak hanya indah untuk diucapkan, tetapi juga menuntut realisasi nyata dalam kehidupan sehari-hari setiap Muslim.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Ayat ini menegaskan bahwa misi kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah membawa kasih sayang dan kebaikan yang menyentuh seluruh makhluk, tanpa terkecuali.
Memahami Hakikat Rahmatan Lil Alamin
Rahmatan lil alamin tidak hanya sebatas kebaikan kepada manusia, tetapi mencakup hewan, tumbuhan, lingkungan, bahkan keseimbangan alam semesta. Ini adalah prinsip yang mengajarkan kasih sayang tanpa batas, menolak kekerasan, penindasan, dan perusakan.
Menerapkan nilai ini dalam kehidupan sehari-hari berarti menjadikan rahmat sebagai dasar berpikir, bersikap, dan bertindak. Seorang Muslim tidak hanya memperhatikan ibadah ritualnya, tetapi juga memastikan bahwa kehadirannya di dunia ini membawa manfaat, bukan kerusakan.
Rahmatan Lil Alamin dalam Interaksi Sosial
Dalam interaksi sosial, rahmatan lil alamin tercermin dari sikap saling menghormati, toleransi, dan menebar kebaikan kepada semua orang, tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau status sosial. Nabi Muhammad SAW menjadi teladan utama dalam hal ini. Beliau selalu menunjukkan sikap santun, sabar, dan penuh kasih sayang, bahkan kepada mereka yang menentangnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, menerapkan nilai ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti:
Menyapa orang lain dengan ramah, meskipun berbeda keyakinan atau budaya.
Mendengarkan pendapat orang lain dengan hormat tanpa harus menghakimi.
Menolong sesama tanpa pamrih, baik dalam bentuk tenaga, pikiran, maupun harta.
Memaafkan kesalahan orang lain dan tidak membalas keburukan dengan keburukan.
Sikap ini menjadi benih terciptanya masyarakat yang damai, harmonis, dan saling mendukung.
Rahmatan Lil Alamin terhadap Alam dan Lingkungan
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga lingkungan. Merusak bumi berarti mengkhianati amanah Allah dan menyalahi prinsip rahmatan lil alamin. Rasulullah SAW dalam banyak hadis mengajarkan agar umat Islam memperlakukan alam dengan kasih sayang, hemat dalam menggunakan air, tidak menebang pohon sembarangan, dan menjaga kebersihan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menerapkannya dengan:
Mengurangi sampah plastik dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Menghemat air dan energi listrik dalam aktivitas sehari-hari.
Menanam pohon dan ikut serta dalam program penghijauan.
Tidak menyakiti hewan atau memburu binatang liar sembarangan.
Dengan langkah-langkah kecil ini, kita berpartisipasi dalam mewujudkan bumi yang sehat dan lestari, sesuai dengan prinsip rahmatan lil alamin.
Rahmatan Lil Alamin dalam Dunia Pendidikan dan Pekerjaan
Di dunia pendidikan, rahmatan lil alamin dapat diwujudkan dengan membangun suasana belajar yang penuh empati dan menghargai setiap peserta didik. Guru yang mengamalkan prinsip ini akan mengajar dengan penuh kasih sayang, sabar menghadapi berbagai karakter murid, dan memberikan kesempatan yang adil kepada semua siswa untuk berkembang.
Di dunia kerja, rahmatan lil alamin dapat diwujudkan dengan:
Bersikap jujur dan profesional dalam pekerjaan.
Menghargai hak-hak karyawan dan rekan kerja.
Memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan atau klien tanpa diskriminasi.
Berbagi rezeki kepada mereka yang membutuhkan, seperti melalui program CSR atau kegiatan sosial.
Lingkungan kerja yang dibangun di atas nilai kasih sayang dan keadilan akan menghasilkan etos kerja yang positif dan hubungan antarmanusia yang lebih sehat.
Menghadapi Perbedaan dengan Semangat Rahmatan Lil Alamin
Dunia modern yang penuh keberagaman menuntut umat Islam untuk mampu menghadapi perbedaan dengan bijaksana. Rahmatan lil alamin mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan anugerah yang harus dihargai.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa:
Menerima perbedaan agama, budaya, dan pemikiran sebagai bagian dari kekayaan manusia.
Menghindari sikap fanatik buta dan membangun dialog yang sehat.
Mendorong kerja sama lintas agama dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan.
Dengan cara ini, Islam benar-benar tampil sebagai agama yang membawa rahmat dan menjadi solusi atas berbagai konflik sosial.
Penutup
Menerapkan nilai rahmatan lil alamin dalam kehidupan sehari-hari adalah tugas mulia yang harus diemban oleh setiap Muslim. Tidak cukup hanya mengucapkannya, tetapi harus diimplementasikan dalam perilaku, tindakan, dan sikap terhadap sesama manusia, alam, dan seluruh makhluk hidup.
Dalam interaksi sosial, dunia pendidikan, lingkungan kerja, hingga dalam menjaga alam, kita bisa mempraktikkan nilai ini dengan langkah-langkah sederhana namun bermakna. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi juga berkontribusi nyata dalam mewujudkan dunia yang damai, adil, dan penuh kasih sayang, sebagaimana visi agung yang dibawa oleh Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Ruang Sujud
Rahmatan Lil Alamin: Konsep Universal Islam untuk Perdamaian Dunia

Published
2 days agoon
19/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Islam adalah agama yang hadir membawa misi besar: menebarkan kasih sayang, keadilan, dan kedamaian bagi seluruh makhluk. Konsep ini dikenal dengan istilah rahmatan lil alamin, yang berarti rahmat bagi seluruh alam. Bukan hanya manusia, tetapi seluruh ciptaan Tuhan, termasuk hewan, tumbuhan, dan lingkungan, mendapatkan limpahan rahmat ini. Pemahaman mendalam terhadap konsep rahmatan lil alamin sangat penting, terutama di tengah dunia yang penuh konflik, perpecahan, dan ketidakadilan.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Ayat ini menjadi dasar kuat bahwa ajaran Islam sejatinya bertujuan membangun dunia yang penuh kedamaian dan harmoni.
Makna Hakiki Rahmatan Lil Alamin
Rahmatan lil alamin bukan sekadar slogan keagamaan. Ia adalah visi besar yang mengajak umat Islam untuk menjadi agen perdamaian dan kebaikan di manapun mereka berada. Rahmat dalam konteks ini berarti segala bentuk kebaikan: keadilan, kesejahteraan, pengampunan, kasih sayang, hingga perlindungan terhadap hak-hak makhluk hidup.
Konsep ini bersifat universal. Artinya, rahmat Islam tidak terbatas pada komunitas Muslim saja, melainkan juga menyentuh orang-orang non-Muslim, bahkan makhluk non-manusia. Rasulullah SAW sendiri sepanjang hidupnya menunjukkan teladan bagaimana ajaran Islam membawa kemaslahatan bagi semua, tanpa diskriminasi.
Rasulullah SAW: Teladan Rahmatan Lil Alamin
Nabi Muhammad SAW adalah cerminan hidup dari konsep rahmatan lil alamin. Ketika beliau dihina, disakiti, bahkan diperangi, beliau membalasnya dengan kasih sayang dan pengampunan. Salah satu kisah yang terkenal adalah ketika Nabi berhasil menaklukkan Kota Makkah. Saat itu beliau berada dalam posisi sangat kuat untuk membalas semua kejahatan yang pernah dilakukan oleh penduduk Makkah terhadapnya. Namun, beliau justru berkata,
“Pergilah, kalian semua bebas.”
Tindakan ini menggambarkan bahwa Islam bukan agama balas dendam, melainkan agama yang mengutamakan maaf dan rekonsiliasi. Prinsip ini menjadi sangat relevan untuk diterapkan dalam dunia modern yang sering kali terjebak dalam siklus kekerasan dan permusuhan.
Rahmatan Lil Alamin dalam Konteks Global
Dalam skala global, rahmatan lil alamin menawarkan solusi terhadap banyak masalah dunia, seperti konflik antaragama, perang, kemiskinan, dan krisis lingkungan. Ajaran Islam tentang keadilan sosial menuntut umatnya untuk memperjuangkan hak-hak orang tertindas dan menolak segala bentuk kezaliman.
Prinsip ini mengajarkan umat Islam untuk:
Menghormati hak asasi manusia tanpa memandang latar belakang agama atau ras.
Mendorong perdamaian dan penyelesaian konflik melalui dialog, bukan kekerasan.
Berperan aktif dalam gerakan kemanusiaan dan solidaritas global.
Menjaga bumi sebagai bentuk tanggung jawab terhadap ciptaan Allah.
Jika nilai-nilai ini diterapkan secara konsisten, dunia akan lebih damai dan penuh keadilan, persis seperti visi besar yang dibawa oleh Islam.
Tantangan dalam Mewujudkan Rahmatan Lil Alamin
Meskipun Islam mengajarkan rahmatan lil alamin, tantangan dalam mewujudkannya tidak sedikit. Stigma negatif terhadap Islam sering kali muncul akibat tindakan segelintir kelompok yang mengatasnamakan agama untuk melakukan kekerasan. Ini menciptakan kesalahpahaman besar tentang wajah sejati Islam di mata dunia.
Untuk mengatasi tantangan ini, umat Islam perlu:
Menjadi duta-duta Islam yang memperlihatkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.
Menguatkan pendidikan tentang Islam yang moderat dan damai.
Berperan aktif dalam dialog lintas agama dan budaya.
Mengutuk dan menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama.
Dengan langkah ini, citra Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam bisa ditegakkan dan disebarluaskan secara lebih luas.
Pendidikan dan Rahmatan Lil Alamin
Pendidikan memiliki peran vital dalam menanamkan nilai rahmatan lil alamin. Mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga universitas, pendidikan harus mengajarkan bahwa kekuatan seorang Muslim tidak diukur dari seberapa keras ia bersikap, tetapi seberapa besar ia bisa menjadi sumber kebaikan bagi sekelilingnya.
Membiasakan anak-anak untuk:
Berbuat baik kepada sesama makhluk hidup.
Menghormati perbedaan dan merayakan keberagaman.
Menyelesaikan masalah dengan cara damai.
Adalah langkah awal untuk membangun generasi yang siap mengemban misi Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Penutup
Konsep rahmatan lil alamin adalah jantung ajaran Islam yang harus terus dihidupkan dalam setiap aspek kehidupan. Islam hadir bukan untuk memaksakan, menguasai, apalagi menghancurkan, tetapi untuk membawa cahaya kasih sayang, keadilan, dan kedamaian kepada seluruh makhluk.
Dalam dunia yang penuh luka ini, umat Islam memiliki tugas mulia untuk menjadi penyejuk, bukan penyulut; menjadi pemersatu, bukan pemecah. Dengan menjadikan rahmatan lil alamin sebagai pedoman hidup, kita bisa mewujudkan dunia yang lebih baik, damai, dan penuh cinta kasih, sebagaimana yang diinginkan Allah dan dicontohkan Rasul-Nya.
Ruang Sujud
Menghidupkan Nilai Rahmatan Lil Alamin dalam Kehidupan Sehari-hari

Published
3 days agoon
19/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Pesan ini terangkum dalam konsep rahmatan lil alamin, yang artinya bahwa kehadiran Islam seharusnya membawa kedamaian, kebaikan, dan kesejahteraan, tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi seluruh makhluk di bumi. Namun, bagaimana cara kita menghidupkan nilai-nilai besar ini dalam kehidupan sehari-hari?
Menghidupkan rahmatan lil alamin berarti mengimplementasikan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, penghormatan terhadap kehidupan, dan kepedulian sosial dalam setiap aspek aktivitas kita, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Memulai dari Diri Sendiri
Semua perubahan besar bermula dari langkah-langkah kecil. Untuk menerapkan rahmatan lil alamin, seseorang harus mulai dari dirinya sendiri. Rasulullah SAW adalah teladan dalam hal ini. Beliau mengajarkan bahwa senyuman kepada saudara adalah bentuk sedekah, menjaga lisan dari kata-kata kasar adalah bentuk ibadah, dan memperlakukan sesama dengan hormat adalah bagian dari akhlak mulia.
Dalam praktik sehari-hari, kita bisa:
Menyapa dan tersenyum kepada sesama sebagai bentuk penyebaran energi positif.
Menghindari ujaran kebencian baik di dunia nyata maupun media sosial.
Menunjukkan rasa empati kepada mereka yang sedang dalam kesulitan, tanpa memandang suku, agama, atau latar belakang.
Kebaikan-kebaikan kecil ini, jika dilakukan konsisten, akan menjadi bagian dari budaya masyarakat yang penuh rahmat.
Menebar Kebaikan dalam Keluarga
Keluarga adalah madrasah pertama. Anak-anak belajar dari sikap dan perilaku orang tuanya. Oleh karena itu, nilai rahmatan lil alamin harus dipraktikkan dalam keluarga melalui:
Mengajarkan nilai kasih sayang antaranggota keluarga.
Membangun komunikasi yang jujur, terbuka, dan penuh rasa hormat.
Mendidik anak untuk peduli terhadap sesama dan lingkungan.
Dengan membentuk karakter yang berlandaskan kasih sayang sejak dini, generasi mendatang akan lebih siap mewujudkan dunia yang damai dan berkeadilan.
Berinteraksi Adil dengan Sesama
Dalam berinteraksi dengan orang lain, Islam menekankan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak sesama. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90).
Menerapkan rahmatan lil alamin dalam pergaulan sosial meliputi:
Tidak membeda-bedakan orang berdasarkan status sosial, suku, atau agama.
Menghargai pendapat orang lain meskipun berbeda.
Bersikap jujur dalam bisnis, pekerjaan, dan semua bentuk muamalah.
Keberpihakan terhadap keadilan adalah wujud rahmat yang nyata kepada manusia.
Peduli terhadap Lingkungan
Rahmatan lil alamin juga berarti menjaga dan memelihara lingkungan alam. Islam mengajarkan bahwa bumi adalah amanah yang harus dijaga. Rasulullah SAW bahkan melarang menebang pohon secara sembarangan dan menganjurkan umatnya untuk menanam walaupun hari kiamat akan segera terjadi.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa diwujudkan dengan:
Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Membuang sampah pada tempatnya.
Menghemat air dan energi.
Ikut serta dalam kegiatan penghijauan atau pelestarian lingkungan.
Kepedulian terhadap lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari misi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Menghormati Perbedaan dan Menjaga Perdamaian
Dunia saat ini penuh dengan perbedaan: budaya, agama, bahasa, dan pandangan hidup. Menghidupkan rahmatan lil alamin berarti mampu bersikap lapang dada terhadap perbedaan tersebut.
Rasulullah SAW di Madinah memberikan teladan dengan membangun Piagam Madinah, sebuah kesepakatan yang mengatur hidup berdampingan damai antara Muslim, Yahudi, dan suku-suku lain yang berbeda agama.
Dalam konteks sekarang, kita bisa:
Menghormati hak beragama orang lain.
Menjalin kerja sama lintas komunitas untuk tujuan kebaikan bersama.
Menghindari provokasi yang bisa menimbulkan konflik.
Menghargai perbedaan bukan berarti mengorbankan prinsip, tetapi mengakui bahwa keragaman adalah sunnatullah yang patut dirawat.
Aktif dalam Kegiatan Sosial
Salah satu implementasi nyata rahmatan lil alamin adalah aktif dalam kegiatan sosial, membantu sesama tanpa melihat latar belakang. Islam sangat menekankan pentingnya tolong-menolong dalam kebaikan.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa berbentuk:
Menyumbangkan sebagian rezeki untuk membantu korban bencana.
Menjadi relawan dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan.
Mendirikan atau mendukung program-program pemberdayaan masyarakat.
Semangat solidaritas ini menunjukkan bahwa Islam bukan hanya mementingkan diri sendiri, melainkan peduli terhadap kesejahteraan semua pihak.
Menjaga Etika dalam Dunia Digital
Di era modern, kehidupan sehari-hari tidak lepas dari dunia digital. Menghidupkan rahmatan lil alamin berarti juga membawa nilai kasih sayang, keadilan, dan etika ke dalam aktivitas online.
Beberapa langkah sederhana adalah:
Menyebarkan informasi yang benar dan bermanfaat.
Menghindari penyebaran hoaks atau ujaran kebencian.
Menggunakan media sosial untuk membangun optimisme dan solidaritas.
Dengan menjaga etika digital, kita ikut menciptakan ruang online yang sehat dan membawa keberkahan.
Penutup
Menghidupkan nilai rahmatan lil alamin dalam kehidupan sehari-hari bukan tugas yang ringan, tetapi juga bukan sesuatu yang mustahil. Dimulai dari hal-hal kecil seperti berbuat baik kepada sesama, menjaga lingkungan, menghormati perbedaan, hingga aktif dalam kegiatan sosial, kita bisa menjadi bagian dari misi besar Islam untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam.
Setiap langkah kebaikan, sekecil apapun, adalah kontribusi penting untuk mewujudkan dunia yang lebih damai, adil, dan penuh kasih sayang, sesuai dengan visi luhur yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena pada akhirnya, Islam yang hidup di dalam diri kita adalah Islam yang mampu membawa manfaat nyata bagi semua makhluk.
Ruang Sujud
Cara Menghindari Sikap Takabbur dalam Kehidupan Sehari-hari

Published
3 days agoon
18/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Takabbur, atau kesombongan, adalah salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dalam kehidupan manusia. Ia membuat seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain, bahkan terkadang merasa lebih dari Allah dengan menolak kebenaran. Dalam Islam, takabbur adalah sifat tercela yang dapat menghalangi seseorang masuk surga. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memahami bagaimana cara menghindari sikap takabbur dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah anugerah dari Allah. Kekayaan, kecerdasan, kecantikan, jabatan, bahkan kemampuan beribadah, semuanya adalah karunia, bukan semata-mata hasil usaha pribadi. Kesadaran ini akan menumbuhkan rasa syukur dalam hati, bukan rasa bangga yang berlebihan. Orang yang bersyukur menyadari bahwa tanpa pertolongan Allah, ia bukanlah siapa-siapa.
Kedua, perbanyaklah mengingat asal usul kita. Allah menciptakan manusia dari tanah yang hina, lalu meniupkan ruh ke dalamnya. Dari proses penciptaan ini saja, kita sudah diingatkan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk menyombongkan diri. Kita semua berasal dari sumber yang sama, dan akan kembali ke tanah. Kesadaran ini akan membuat hati lebih tunduk dan rendah hati.
Ketiga, belajarlah untuk menghargai kelebihan orang lain. Sering kali takabbur muncul karena kita hanya fokus pada kelebihan diri sendiri dan buta terhadap keistimewaan orang lain. Padahal setiap manusia diciptakan dengan keunikan dan kelebihan masing-masing. Mengakui kehebatan orang lain bukan berarti kita menjadi rendah, melainkan menunjukkan kebesaran hati dan kedewasaan.
Keempat, biasakan diri untuk selalu introspeksi. Setiap malam sebelum tidur, luangkan waktu sejenak untuk bertanya pada diri sendiri: adakah hari ini aku merasa lebih baik dari orang lain? Adakah aku meremehkan orang lain, walaupun dalam hati? Introspeksi ini penting untuk mendeteksi benih-benih takabbur sebelum ia tumbuh besar dan sulit dikendalikan.
Kelima, latihlah diri untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan. Seseorang yang sombong akan sulit mengakui kesalahan karena merasa dirinya selalu benar. Dengan membiasakan diri minta maaf, kita melatih hati untuk lebih rendah dan tidak kaku terhadap koreksi. Ini adalah salah satu bentuk kerendahan hati yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Keenam, jangan pernah membandingkan diri dengan orang lain dalam hal duniawi. Membandingkan kekayaan, jabatan, atau prestasi seringkali menjadi pintu masuk kesombongan. Fokuslah pada perbaikan diri sendiri, bukan pada mengungguli orang lain. Rasulullah SAW mengajarkan agar kita melihat ke atas dalam hal agama, tetapi melihat ke bawah dalam hal dunia agar kita tetap bersyukur.
Ketujuh, bergaullah dengan orang-orang yang rendah hati. Lingkungan pertemanan sangat berpengaruh terhadap karakter seseorang. Bergaul dengan orang-orang yang suka merendah, yang tidak suka pamer, dan yang selalu mengingatkan kepada Allah, akan menulari kita dengan sifat-sifat yang mulia tersebut. Sebaliknya, bergaul dengan orang yang sombong hanya akan menumbuhkan sifat takabbur dalam diri kita.
Kedelapan, perbanyaklah membaca kisah-kisah para nabi, sahabat, dan ulama salaf. Mereka adalah teladan terbaik dalam hal kerendahan hati. Nabi Muhammad SAW, manusia termulia, tetap hidup sederhana, makan bersama budak, dan tidak pernah memandang rendah orang miskin. Kisah-kisah ini akan menjadi motivasi kuat untuk meneladani akhlak mereka.
Kesembilan, pelajari hakikat dunia yang fana. Dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara. Kekayaan, popularitas, dan jabatan yang sering menjadi sumber kesombongan, semuanya akan hilang saat kita mati. Menyadari kefanaan dunia akan membantu kita untuk tidak melekatkan hati pada hal-hal duniawi yang sering menjadi sumber kesombongan.
Kesepuluh, banyaklah berdoa kepada Allah agar dilindungi dari sifat takabbur. Kita lemah, dan sering kali tidak sadar saat sifat sombong mulai masuk ke dalam hati. Maka, mintalah kepada Allah dengan doa seperti yang diajarkan Rasulullah: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat ujub, takabbur, dan riya’.” Dengan memohon perlindungan, kita menunjukkan sikap butuh kepada Allah dan menjaga hati agar tetap bersih.
Takabbur memang berbahaya, tapi bukan berarti tidak bisa dihindari. Dengan kesadaran, usaha terus-menerus, dan pertolongan Allah, kita bisa menjaga hati dari penyakit ini. Sikap rendah hati bukan hanya membuat kita lebih dicintai manusia, tetapi lebih penting lagi, membuat kita lebih dekat kepada Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, kerendahan hati adalah kunci ketenangan jiwa. Orang yang rendah hati tidak mudah stres karena tidak sibuk mempertahankan gengsi. Ia lebih mudah bersyukur, lebih lapang menerima kekurangan diri, dan lebih ikhlas dalam menjalani kehidupan. Maka, mari kita sama-sama berjuang untuk membersihkan hati dari takabbur dan menumbuhkan sifat tawadhu’ dalam diri kita.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang rendah hati dan jauh dari sifat takabbur.
Aamiin.
Ruang Sujud
Takabbur: Penyakit Hati yang Menggerogoti Jiwa Manusia

Published
3 days agoon
18/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Takabbur adalah penyakit hati yang pelan-pelan menggerogoti jiwa manusia tanpa terasa. Ia mengendap diam-diam, namun dampaknya begitu merusak, baik terhadap hubungan manusia dengan sesamanya maupun hubungannya dengan Allah. Dalam Islam, takabbur dipandang sebagai sifat tercela yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kehancuran dunia dan akhirat.
Secara bahasa, takabbur berarti merasa besar atau menganggap diri lebih unggul dari yang lain. Dalam praktiknya, orang yang takabbur sering kali meremehkan orang lain, sulit menerima kritik, dan merasa dirinya paling benar. Penyakit ini bukan hanya tentang ucapan, tapi lebih dalam lagi: tentang keyakinan batin yang salah dalam memandang diri sendiri dan orang lain.
Bahaya takabbur sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang merasa lebih pintar, lebih kaya, lebih tampan, atau lebih baik dalam ibadah, lalu mulai memandang rendah orang lain, saat itulah benih takabbur tumbuh. Dalam dunia sosial, orang yang takabbur seringkali dijauhi karena sikapnya yang arogan dan tidak bersahabat. Dalam dunia spiritual, takabbur menjadi hijab antara manusia dan hidayah Allah.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi.” (HR. Muslim). Ini adalah peringatan keras tentang betapa bahayanya kesombongan. Sekecil apa pun takabbur itu, tetap bisa menjadi penghalang besar untuk mendapatkan kenikmatan abadi di surga.
Dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana takabbur menghancurkan banyak tokoh besar. Fir’aun yang merasa dirinya sebagai tuhan berakhir tenggelam di Laut Merah. Iblis, makhluk yang dulu mulia, dikutuk karena kesombongannya menolak bersujud kepada Adam. Qarun yang sombong dengan hartanya ditelan bumi bersama seluruh kekayaannya. Semua ini adalah pelajaran nyata tentang betapa takabbur bisa menghancurkan bahkan makhluk yang awalnya tinggi derajatnya.
Takabbur juga menggerogoti jiwa karena ia membutakan mata hati. Seseorang yang terkena takabbur sulit mengakui kesalahan, sulit belajar dari orang lain, dan mudah tersinggung ketika diingatkan. Hatinya tertutup untuk menerima kebenaran, dan pikirannya dipenuhi oleh rasa superioritas palsu. Tanpa disadari, takabbur membuat seseorang terasing dari lingkungan, keluarga, bahkan dari pertolongan Allah.
Lebih jauh lagi, takabbur membuat manusia lupa hakikat penciptaannya. Allah menciptakan manusia dari tanah, sesuatu yang rendah, namun diberikan kehormatan dengan akal dan petunjuk. Namun ketika manusia sombong, ia seolah-olah melupakan asal-usulnya. Ia merasa seolah-olah segalanya adalah hasil jerih payahnya sendiri, padahal semua nikmat adalah karunia dari Allah.
Dalam kehidupan modern, bentuk takabbur juga banyak terlihat. Ada yang sombong dengan gelar akademik, ada yang sombong dengan popularitas, ada pula yang sombong dengan kekayaan atau jabatan. Media sosial sering menjadi ladang subur bagi takabbur berkembang, ketika seseorang sibuk memamerkan pencapaiannya tanpa niat berbagi inspirasi, melainkan untuk mendapatkan pengakuan semu.
Lantas, bagaimana cara menyembuhkan penyakit hati ini?
Pertama, perbanyak mengingat asal-usul manusia. Kita berasal dari tanah, tidak ada alasan untuk menyombongkan diri. Membaca Al-Qur’an dan hadits tentang rendahnya kedudukan manusia tanpa pertolongan Allah akan menumbuhkan kesadaran tentang kelemahan diri.
Kedua, latihlah hati untuk selalu bersyukur. Bersyukur bukan hanya atas nikmat yang besar, tapi juga atas hal-hal kecil. Dengan rasa syukur, kita menyadari bahwa semua yang kita miliki adalah pemberian, bukan semata hasil usaha pribadi. Ini akan meruntuhkan rasa ingin membanggakan diri.
Ketiga, cari lingkungan yang mengingatkan kita akan pentingnya tawadhu’ (rendah hati). Bergaul dengan orang-orang yang rendah hati akan menginspirasi kita untuk memperbaiki diri. Sebaliknya, lingkungan yang penuh dengan pamer dan gengsi hanya akan memupuk penyakit takabbur.
Keempat, biasakan diri untuk mengakui kesalahan. Tidak perlu malu untuk berkata, “Saya salah” atau “Saya belum tahu.” Ini adalah latihan kecil yang sangat efektif untuk menghancurkan ego dalam diri.
Kelima, memperbanyak doa. Salah satu doa yang indah adalah doa Rasulullah SAW: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat sombong dan ujub.” Dengan doa yang tulus, kita memohon pertolongan Allah agar hati kita dibersihkan dari sifat tercela ini.
Takabbur memang penyakit yang berbahaya, tapi bukan berarti tidak bisa diobati. Dengan usaha sadar, latihan hati, dan pertolongan Allah, seseorang bisa membersihkan dirinya dari sifat ini. Hati yang bersih dari takabbur akan menjadi hati yang ringan, damai, dan penuh cinta kepada sesama.
Akhirnya, marilah kita selalu mengingat pesan Rasulullah SAW bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa, bukan yang paling kaya, paling pintar, atau paling terkenal. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang hatinya bersih dari takabbur, penuh dengan kerendahan hati, dan senantiasa dekat dengan rahmat-Nya.
Aamiin.
Ruang Sujud
Bahaya Takabbur dalam Kehidupan Sehari-hari dan Cara Menghindarinya

Published
3 days agoon
18/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Takabbur, atau kesombongan, adalah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya dalam kehidupan manusia. Meski sering dianggap sepele, takabbur perlahan bisa merusak jiwa, hubungan sosial, hingga menghancurkan masa depan seseorang. Bahkan, dalam ajaran Islam, takabbur termasuk dosa besar yang dapat menghalangi seseorang dari surga.
Takabbur berarti merasa diri lebih baik, lebih tinggi, atau lebih mulia dibandingkan orang lain. Penyakit ini bisa timbul dari berbagai hal: harta, keturunan, jabatan, kecerdasan, hingga amal ibadah. Siapa pun bisa terjangkit, tanpa melihat usia, status, atau latar belakang.
Bahaya utama dari takabbur adalah membuat seseorang sulit menerima kebenaran. Ketika hati sudah dipenuhi kesombongan, nasihat tidak lagi masuk, kritik dianggap serangan, dan perbaikan diri menjadi sesuatu yang mustahil. Seseorang yang takabbur cenderung merasa dirinya selalu benar, sementara orang lain salah. Ini adalah jalan tercepat menuju kehancuran batin dan keterasingan sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, takabbur bisa muncul dalam banyak bentuk. Seorang pelajar yang meremehkan teman-temannya karena merasa lebih pintar, seorang atasan yang memperlakukan bawahannya dengan merendahkan, atau bahkan seorang relijius yang merasa dirinya lebih suci dibandingkan orang lain. Semua ini adalah bentuk-bentuk nyata dari takabbur yang merusak hubungan antarmanusia.
Tak hanya itu, takabbur juga membuat seseorang jauh dari pertolongan Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji zarrah.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan betapa seriusnya dampak dari sifat ini, bahkan sekecil apa pun kadar kesombongan dalam hati tetap bisa menghalangi jalan menuju rahmat Allah.
Di balik itu semua, takabbur juga membuat manusia lupa bahwa semua kelebihan yang dimiliki sejatinya adalah karunia Allah, bukan murni hasil usahanya sendiri. Harta, ilmu, kekuatan, kecantikan, semuanya adalah amanah yang harus disyukuri dan digunakan untuk kebaikan, bukan untuk membanggakan diri dan merendahkan orang lain.
Salah satu contoh nyata dari akibat takabbur adalah kisah Qarun dalam Al-Qur’an. Qarun adalah orang yang diberikan kekayaan melimpah, namun ia menjadi sombong dan berkata bahwa semua kekayaannya adalah hasil dari ilmunya sendiri. Akhirnya, Allah menenggelamkan dia bersama hartanya ke dalam bumi sebagai hukuman atas kesombongannya.
Lalu, bagaimana cara kita menghindari sifat takabbur ini dalam kehidupan sehari-hari?
Pertama, selalu ingat bahwa semua kelebihan adalah titipan dari Allah. Dengan menyadari bahwa kita hanyalah makhluk yang lemah tanpa bantuan-Nya, hati kita akan lebih mudah tunduk dan tidak merasa lebih baik dari orang lain. Kesadaran ini akan membuat kita lebih rendah hati dan lebih menghargai orang lain.
Kedua, membiasakan diri untuk selalu mengevaluasi diri. Setiap malam sebelum tidur, kita bisa bertanya pada diri sendiri: apakah hari ini ada sikap atau ucapan kita yang menunjukkan kesombongan? Apakah ada orang yang mungkin merasa direndahkan karena perilaku kita? Dengan evaluasi rutin, kita bisa memperbaiki diri sebelum penyakit takabbur mengakar kuat dalam hati.
Ketiga, belajar dari kisah-kisah tentang kehancuran akibat kesombongan. Baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun sejarah umum, banyak pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Kisah Fir’aun, misalnya, menjadi pengingat bahwa sehebat apa pun kekuasaan seseorang, jika disertai dengan kesombongan, akan berakhir dengan kehinaan.
Keempat, membangun sikap tawadhu’ (rendah hati) dalam setiap aspek kehidupan. Tawadhu’ bukan berarti merendahkan diri secara berlebihan, tetapi lebih kepada menyadari bahwa semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan tawadhu’, kita bisa menghormati orang lain tanpa merasa lebih rendah atau lebih tinggi.
Kelima, memperbanyak doa agar Allah menjaga hati kita. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah SAW adalah: “Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak-akhlak yang buruk, dan dekatkanlah aku kepada akhlak-akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi). Dengan memohon perlindungan kepada Allah, kita berharap diberikan hati yang bersih dari rasa sombong.
Keenam, membiasakan diri untuk memuji orang lain dan mengakui kelebihan mereka. Ini adalah latihan sederhana untuk menghancurkan ego dalam diri kita. Ketika kita terbiasa melihat kebaikan dalam diri orang lain, kita akan lebih mudah bersikap rendah hati.
Terakhir, sadarilah bahwa kesombongan hanya membuat hidup kita sempit dan penuh beban. Orang yang sombong selalu merasa harus mempertahankan citranya, selalu khawatir tentang pendapat orang lain, dan sulit merasakan ketenangan sejati. Sebaliknya, orang yang rendah hati akan lebih mudah bahagia, lebih banyak teman, dan lebih dekat kepada rahmat Allah.
Takabbur memang sering kali hadir secara halus, tanpa kita sadari. Oleh karena itu, penting untuk selalu menjaga hati dan memperbarui niat dalam setiap langkah hidup. Dengan kesadaran, latihan, dan pertolongan Allah, kita bisa membangun jiwa yang bersih, penuh kerendahan hati, dan selalu dekat dengan kebenaran.
Semoga Allah melindungi kita dari penyakit takabbur, membimbing hati kita untuk selalu rendah hati, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang dicintai-Nya. Aamiin.
Ruang Sujud
Takabbur: Penyakit Hati yang Membutakan Kebenaran

Published
3 days agoon
18/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam perjalanan hidup, manusia sering diuji bukan hanya dengan kesusahan, tetapi juga dengan kenikmatan. Salah satu ujian paling berat justru tersembunyi di dalam nikmat, yaitu saat hati mulai merasa lebih unggul dari orang lain. Di sinilah penyakit takabbur tumbuh — sebuah sifat sombong yang bisa membutakan mata hati dari kebenaran.
Takabbur berasal dari bahasa Arab yang berarti membesarkan diri atau merasa lebih hebat. Dalam Islam, takabbur termasuk penyakit hati yang sangat dibenci Allah. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau sebesar biji zarrah.” (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan betapa beratnya akibat dari sifat takabbur.
Sifat ini biasanya muncul ketika seseorang merasa memiliki kelebihan — entah itu harta, ilmu, jabatan, keturunan, atau kekuatan. Padahal, semua kelebihan itu sejatinya adalah titipan dari Allah, bukan semata hasil usaha pribadi. Sayangnya, ketika takabbur sudah menguasai hati, seseorang bisa kehilangan kemampuan untuk melihat kebenaran dan menilai diri sendiri dengan jujur.
Sejarah manusia menyimpan banyak kisah tentang orang-orang yang terjerumus dalam takabbur. Iblis adalah contoh utama. Ia membangkang perintah Allah untuk bersujud kepada Adam karena merasa dirinya lebih mulia, terbuat dari api sementara Adam dari tanah. Kesombongan ini akhirnya menjatuhkannya dari kemuliaan menjadi makhluk terlaknat.
Dalam kehidupan sehari-hari, takabbur bisa muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang merasa lebih baik karena status sosial, lebih pintar karena pendidikan, atau lebih suci karena ibadah. Yang lebih berbahaya, orang yang takabbur seringkali sulit dinasihati. Ia menganggap dirinya selalu benar dan merendahkan orang lain, tanpa sadar menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah.
Takabbur bukan hanya merusak hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan dengan sesama. Sifat ini bisa membuat seseorang dijauhi orang lain, kehilangan teman sejati, bahkan menyebabkan konflik. Bagaimana bisa tercipta keharmonisan jika seseorang merasa lebih tinggi daripada yang lain?
Allah SWT memperingatkan dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa: 36). Ini adalah pengingat bahwa sifat ini tidak hanya tercela, tetapi juga menjadi penyebab turunnya murka Allah.
Lawan dari takabbur adalah tawadhu’ — rendah hati. Orang yang tawadhu’ menyadari bahwa semua kelebihan yang ia miliki hanyalah amanah yang sewaktu-waktu bisa dicabut. Ia tidak melihat dirinya lebih baik dari orang lain, bahkan tetap menghormati yang tampaknya lebih rendah darinya. Rasulullah SAW, manusia paling mulia, justru dikenal karena kerendahan hatinya.
Untuk menghindari takabbur, langkah pertama adalah menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Tidak ada yang pantas kita banggakan secara berlebihan. Kemampuan, rezeki, bahkan kesempatan berbuat baik adalah anugerah, bukan hakikat dari diri kita sendiri.
Kedua, penting untuk terus mengevaluasi diri. Jangan hanya melihat kelebihan, tapi juga sadar akan kekurangan. Melatih diri untuk selalu bersyukur dan melihat kehebatan orang lain juga bisa membantu meruntuhkan kesombongan dalam hati.
Ketiga, memperbanyak membaca kisah-kisah tentang kehancuran akibat kesombongan bisa menjadi pelajaran berharga. Misalnya, kisah Fir’aun yang mengaku sebagai tuhan dan akhirnya tenggelam di Laut Merah. Atau Qarun yang membanggakan hartanya hingga ditelan bumi. Semua itu menjadi bukti nyata bahwa takabbur hanya akan membawa kepada kehancuran.
Terakhir, jangan lupa berdoa agar Allah menjaga hati kita dari penyakit ini. Rasulullah SAW sendiri berdoa, “Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak-akhlak yang buruk.” (HR. Tirmidzi). Berdoa dengan tulus dan terus-menerus menunjukkan kesadaran kita bahwa kita butuh pertolongan Allah untuk menjaga kebersihan hati.
Di zaman sekarang, di mana pencapaian dan popularitas sering dijadikan ukuran keberhasilan, tantangan untuk menghindari takabbur menjadi semakin berat. Media sosial, misalnya, bisa menjadi ladang subur untuk memupuk kesombongan jika tidak diiringi dengan kesadaran diri. Memamerkan keberhasilan, menonjolkan kelebihan, tanpa sadar bisa mengundang rasa takabbur dalam hati.
Namun, orang yang menyadari bahwa kemuliaan sejati adalah di sisi Allah, bukan di mata manusia, akan lebih mudah menjaga dirinya. Ia tidak akan tergoda untuk mencari pengakuan dunia, karena yang ia cari adalah ridha Allah. Seperti yang Allah firmankan, “Sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Takabbur memang penyakit hati yang tersembunyi, tapi dampaknya nyata dan berat. Membiarkannya tumbuh berarti membiarkan diri buta terhadap kebenaran. Oleh karena itu, penting bagi setiap kita untuk terus membersihkan hati, merendahkan diri, dan menyadari betapa kecilnya kita di hadapan Allah Yang Maha Besar.
Semoga Allah melindungi kita semua dari sifat takabbur dan menghiasi hati kita dengan kerendahan hati yang mulia. Aamiin.
Ruang Sujud
Iffah: Pilar Kekuatan Spiritual dalam Islam

Published
4 days agoon
17/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, kekuatan sejati tidak selalu diukur dari kekuasaan, harta, atau pengaruh sosial. Ada kekuatan yang lebih halus namun jauh lebih berpengaruh: kekuatan spiritual. Salah satu pilar utama kekuatan ini adalah iffah — sikap menjaga kehormatan diri dengan penuh kesadaran dan ketulusan.
Iffah berasal dari kata kerja ‘afafa, yang berarti menjaga diri, menahan nafsu, dan menghindari hal-hal yang dapat mengurangi kemuliaan pribadi. Dalam Al-Qur’an, Allah memuji orang-orang yang memiliki iffah, bahkan menganjurkan untuk membantu mereka, seperti dalam Surah An-Nur ayat 33: “Dan orang-orang yang menjaga kehormatan dirinya yang tidak mampu menikah, hendaklah mereka menjaga kehormatannya sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dari karunia-Nya.”
Dalam kehidupan sehari-hari, iffah menjadi fondasi bagi kekuatan batin yang kokoh. Orang yang memiliki iffah akan lebih mampu mengendalikan dirinya dalam situasi apa pun, tidak mudah tergoda oleh dunia, dan tetap teguh pada prinsip meski menghadapi godaan besar. Ini adalah kekuatan yang tidak terlihat secara kasat mata, tetapi terpancar dalam sikap, pilihan, dan kepribadian seseorang.
Dalam sejarah Islam, banyak tokoh besar yang membuktikan bahwa iffah adalah sumber kekuatan luar biasa. Salah satunya adalah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, yang menjadi simbol kesucian diri dalam menghadapi godaan berat. Saat berhadapan dengan rayuan istri pembesar Mesir, Yusuf memilih mempertahankan kehormatannya meski risikonya adalah dipenjara. Kisah ini bukan sekadar cerita moral, tapi bukti nyata bahwa menjaga iffah adalah kemenangan besar dalam jihad melawan hawa nafsu.
Kekuatan iffah juga terlihat dalam keseharian Rasulullah ﷺ. Beliau adalah sosok yang selalu menjaga adab dalam interaksi, penuh kasih, tetapi tetap tegas dalam menjaga prinsip. Rasulullah mengajarkan bahwa harga diri manusia lebih berharga daripada dunia dan seisinya, dan iffah adalah salah satu cara menjaga harga diri itu tetap utuh.
Saat ini, di tengah zaman yang serba bebas, menjaga iffah bisa terasa sangat menantang. Kita hidup di era di mana batasan-batasan moral sering dipertanyakan, bahkan dihapus. Media sosial, hiburan, dan budaya populer seringkali mengaburkan mana yang pantas dan mana yang tidak. Dalam situasi seperti ini, memiliki iffah bukan hanya soal menjaga citra, tapi tentang mempertahankan identitas diri yang autentik sebagai seorang Muslim.
Menjaga iffah juga membawa banyak dampak positif dalam aspek kehidupan lainnya. Dalam hubungan sosial, seseorang yang ber-iffah akan lebih dihormati, dipercaya, dan diandalkan. Dalam hubungan keluarga, iffah memperkuat nilai kesetiaan, rasa hormat, dan kasih sayang yang tulus. Dalam dunia kerja, iffah menjauhkan seseorang dari praktik curang, korupsi, atau perilaku tidak etis lainnya.
Sikap iffah mengajarkan kita untuk menahan diri bukan karena takut dilihat orang, tapi karena sadar bahwa Allah selalu mengawasi. Ini menumbuhkan keikhlasan dalam hati, membangun hubungan yang lebih dalam dengan Allah, dan menguatkan keteguhan iman. Seorang ulama besar, Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menulis bahwa iffah adalah bagian penting dari akhlak mulia yang menjadi jalan menuju kebahagiaan hakiki.
Lebih dari sekadar menjaga diri dari dosa, iffah mengajarkan kita untuk menjaga pikiran, niat, dan sikap dari segala sesuatu yang bisa mengotori hati. Ini termasuk menjaga pandangan, menjaga ucapan, mengontrol emosi, dan menghindari niat buruk terhadap sesama. Semua ini, jika dijalani dengan konsisten, akan membentuk karakter pribadi yang luhur dan kuat.
Untuk menumbuhkan iffah, dibutuhkan kesadaran diri dan latihan yang terus menerus. Tidak cukup hanya mengandalkan keinginan sesaat. Seperti atlet yang berlatih setiap hari untuk mencapai performa terbaik, menjaga iffah juga perlu komitmen harian: memperbaiki niat, mengevaluasi diri, dan terus belajar dari kesalahan.
Lingkungan juga memegang peran penting. Berada di lingkungan yang positif, bersama orang-orang yang saling mengingatkan dalam kebaikan, akan sangat membantu menjaga iffah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Maka hendaklah salah seorang di antara kalian memperhatikan dengan siapa ia berteman.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Pada akhirnya, iffah adalah karunia dan perjuangan. Ia adalah anugerah bagi siapa pun yang mau berusaha menjaganya dengan kesungguhan. Orang yang hidup dengan iffah tidak hanya menjaga dirinya dari kehinaan, tetapi juga mempersiapkan dirinya untuk meraih kemuliaan di dunia dan akhirat.
Di tengah dunia yang semakin riuh dan penuh godaan, iffah adalah cahaya yang membimbing kita tetap berada di jalan yang lurus. Ia adalah pilar kekuatan spiritual yang akan membuat kita tetap berdiri tegak, meski badai ujian datang bertubi-tubi.
Dan ingat, menjaga iffah bukan berarti membatasi kebebasan, tapi justru memerdekakan diri dari perbudakan nafsu. Dengan iffah, kita menemukan martabat, menemukan makna hidup, dan menemukan cinta sejati dari Sang Pencipta.
Ruang Sujud
Iffah dalam Kehidupan Sehari-hari: Menemukan Keindahan dalam Menjaga Diri

Published
4 days agoon
17/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, banyak nilai yang perlahan-lahan mulai terlupakan. Salah satunya adalah iffah, sikap menjaga kehormatan diri. Meski sering dipandang kuno, sebenarnya iffah justru menawarkan sebuah keindahan yang langka: ketenangan, martabat, dan rasa percaya diri yang sejati.
Iffah berasal dari kata ‘afafa yang berarti menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas. Dalam Islam, iffah mencakup menjaga pandangan, menjaga ucapan, menjaga perilaku, hingga menjaga kehormatan dalam relasi sosial. Ini adalah bentuk pengendalian diri yang menuntut kesadaran tinggi, bukan sekadar mengikuti arus.
Bayangkan, di dunia yang serba bebas ini, seseorang yang mampu menjaga dirinya dari godaan, dari perilaku yang merendahkan harga diri, adalah sosok yang sangat berharga. Mereka seperti bunga yang tetap mekar indah di tengah gurun, tetap wangi meski lingkungan sekitarnya penuh debu.
Dalam kehidupan sehari-hari, iffah bisa tampak dalam banyak bentuk sederhana. Seorang mahasiswa yang memilih untuk tidak menyontek meski semua temannya melakukannya. Seorang karyawan yang menolak suap walau ada kesempatan besar. Seorang pemuda yang menahan pandangan saat melewati sesuatu yang menggoda di jalan. Hal-hal kecil ini, saat dikumpulkan, membentuk karakter besar: pribadi ber-iffah.
Menjaga iffah bukan berarti mengasingkan diri dari dunia, tapi justru bersikap cerdas dalam berinteraksi. Ketika seseorang menjaga lisan dari gibah dan fitnah, ia sedang membangun reputasi baik tanpa perlu memaksakan diri. Ketika ia memilih pakaian yang sopan, ia sedang menunjukkan rasa hormat pada dirinya sendiri dan pada orang lain.
Kehidupan sosial kita hari ini seringkali menormalisasi perilaku yang dulu dianggap tercela. Dari konten media sosial yang vulgar, budaya flexing harta secara berlebihan, sampai pergaulan bebas yang dianggap lumrah. Dalam situasi seperti ini, iffah menjadi semacam “perlawanan sunyi” — tidak dengan marah-marah, tapi dengan konsistensi menjaga nilai.
Tentu menjaga iffah itu berat, apalagi saat lingkungan sekitar seperti membiarkan semua batasan runtuh. Tapi justru di situlah keindahannya. Seperti berlian yang terbentuk dari tekanan luar biasa, seseorang yang tetap menjaga dirinya di tengah ujian akan bersinar dengan keindahan yang tidak mudah dipalsukan.
Kita bisa belajar banyak dari teladan para tokoh Islam yang luar biasa dalam menjaga iffah. Misalnya, Mariam binti Imran, ibu Nabi Isa ‘alaihissalam, yang terkenal akan kesucian dan keteguhannya. Dalam Al-Qur’an, ia disebut sebagai wanita pilihan yang menjaga dirinya dengan penuh kehormatan, hingga namanya diabadikan sebagai salah satu surah.
Bagi kita yang hidup di zaman ini, menjaga iffah bisa dimulai dari langkah kecil. Misalnya, memilih tontonan yang bersih, memperhatikan apa yang kita bagikan di media sosial, atau menghindari candaan-candaan yang menjurus pada hal negatif. Kadang kita merasa itu hal sepele, tapi semua kebiasaan kecil itu, lama-lama membentuk siapa diri kita sebenarnya.
Salah satu keindahan dari iffah adalah munculnya rasa damai dalam hati. Ketika kita tidak merasa harus berpura-pura, tidak harus mengikuti standar dunia yang terus berubah, kita jadi lebih bisa menikmati hidup apa adanya. Kita tidak sibuk membandingkan diri, tidak terjebak dalam kebutuhan untuk selalu terlihat sempurna di mata orang lain.
Selain itu, orang yang menjaga iffah seringkali justru lebih dihormati, meskipun awalnya mungkin mereka dianggap “berbeda” atau “ketinggalan zaman”. Kehormatan yang dibangun atas dasar prinsip jauh lebih kokoh daripada popularitas sesaat. Orang lain bisa saja lupa dengan postingan viral atau tren singkat, tapi mereka akan selalu mengingat integritas seseorang.
Menariknya, menjaga iffah juga membuat hubungan antar manusia lebih sehat. Hubungan pertemanan, hubungan bisnis, bahkan hubungan percintaan menjadi lebih tulus karena dibangun atas dasar saling menghormati, bukan saling mengeksploitasi. Dengan iffah, kita tidak hanya menjaga diri sendiri, tapi juga menjaga orang lain dari perbuatan yang bisa menodai martabat mereka.
Dalam skala yang lebih luas, masyarakat yang menjunjung tinggi iffah akan lebih damai. Ketika semua orang saling menjaga adab dan batasan, kepercayaan sosial meningkat, dan kekerasan atau pelecehan bisa ditekan. Dunia yang lebih beradab berawal dari individu-individu yang mau menjaga dirinya.
Pada akhirnya, iffah bukanlah tentang membatasi kebahagiaan, tapi tentang menemukan kebahagiaan yang sejati — kebahagiaan yang tidak bergantung pada validasi orang lain, tapi bersumber dari rasa hormat terhadap diri sendiri. Itulah keindahan sejati yang banyak orang cari, tapi sering salah arah dalam mencapainya.
Jadi, jangan pernah merasa kecil karena memilih menjaga iffah. Justru di dunia yang sering melupakan kehormatan, orang-orang seperti kita lah yang memegang kunci masa depan yang lebih indah. Pelan-pelan, dengan langkah kecil setiap hari, kita bisa tetap menjaga diri, menjaga hati, dan menemukan keindahan yang sebenarnya dalam perjalanan hidup ini.
Ruang Sujud
Kekuatan Iffah: Mengapa Menjaga Diri Adalah Cermin Kemuliaan

Published
4 days agoon
17/04/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Di dunia yang semakin cepat berubah ini, banyak orang berpikir bahwa ukuran kesuksesan adalah seberapa populer, kaya, atau berpengaruh seseorang. Tapi seringkali kita lupa, ada satu kekuatan yang jauh lebih mulia dan langka: iffah, kemampuan untuk menjaga kehormatan diri. Ia adalah cermin kemuliaan sejati, yang tidak bisa dibeli dengan uang atau ketenaran.
Iffah berasal dari bahasa Arab yang berarti menahan diri, menjaga martabat, dan menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Dalam Islam, iffah dianggap sebagai salah satu akhlak terpuji yang menjadi tanda kematangan iman seseorang. Rasulullah ﷺ sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat menjaga kehormatan dirinya, bahkan jauh sebelum diangkat menjadi Nabi.
Apa yang membuat iffah begitu istimewa? Karena menjaga diri bukan perkara mudah. Menahan lisan dari ucapan buruk, menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan, mengontrol hawa nafsu ketika peluang maksiat terbuka lebar — semua itu butuh kekuatan jiwa yang luar biasa. Dan di situlah letak kemuliaannya: orang yang mampu mengendalikan dirinya menunjukkan bahwa ia telah memenangkan salah satu perang terbesar dalam hidup, yaitu perang melawan hawa nafsu.
Dalam kehidupan modern, iffah menjadi semacam perisai yang melindungi seseorang dari kehancuran moral. Ketika segala sesuatu ditawarkan dengan bebas — mulai dari konten vulgar, hubungan tanpa batas, sampai gaya hidup konsumtif tanpa kendali — orang yang memiliki iffah tetap bisa berdiri tegak. Ia tahu batasannya, dan tidak tergoda oleh tren sesaat yang justru bisa merusak dirinya dalam jangka panjang.
Menariknya, iffah bukan hanya soal hubungan laki-laki dan perempuan, walaupun itu bagian penting. Iffah juga menyentuh soal integritas saat bekerja, kejujuran dalam berdagang, kesopanan dalam berbicara, dan bahkan sikap hemat dalam mengelola harta. Singkatnya, iffah adalah gaya hidup yang penuh kesadaran dan kehormatan di setiap aspek kehidupan.
Banyak orang mengira bahwa menjaga diri berarti hidup dalam keterbatasan dan kekakuan. Padahal, iffah justru membuat seseorang menjadi pribadi yang bebas — bebas dari perbudakan nafsu, bebas dari tekanan sosial, dan bebas dari rasa malu di hadapan Allah dan sesama manusia. Orang yang ber-iffah berjalan dengan kepala tegak, karena ia tahu bahwa ia hidup dengan prinsip yang mulia.
Sejarah Islam dipenuhi dengan kisah-kisah inspiratif tentang kekuatan iffah. Salah satunya adalah kisah Yusuf ‘alaihissalam, yang menolak ajakan Zulaikha meskipun secara manusiawi godaan itu sangat berat. Dengan penuh keteguhan, Yusuf memilih dipenjara daripada harus mengkhianati prinsip kehormatan dirinya. Allah pun memuliakannya, menjadikannya salah satu sosok yang dihormati di dunia dan akhirat.
Dalam konteks sehari-hari, iffah bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, menjaga lisan dari bergosip, menahan tangan dari mengetik komentar jahat di media sosial, memilih tontonan yang bersih, atau menjaga diri dari gaya hidup pamer kekayaan. Setiap tindakan kecil itu membangun kekuatan besar dalam diri: kekuatan untuk tetap menjadi manusia terhormat di tengah dunia yang sering mengajak kita untuk melupakan nilai-nilai luhur.
Tentu saja, membangun iffah tidak bisa instan. Ia perlu dilatih, diuji, dan dipelihara setiap hari. Ada kalanya kita tergoda, jatuh, atau lengah. Tapi bukan berarti kita gagal. Setiap upaya untuk bangkit lagi, setiap niat untuk kembali menjaga kehormatan diri, adalah bagian dari proses menjadi pribadi yang mulia.
Salah satu cara terbaik untuk menjaga iffah adalah dengan memperkuat hubungan dengan Allah SWT. Ketika kita sadar bahwa Allah selalu melihat kita, bahkan saat tak ada manusia lain yang melihat, kita akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Shalat, membaca Al-Qur’an, memperbanyak doa, dan mengingat kematian — semua itu membantu kita menjaga kesadaran bahwa hidup ini bukan hanya soal dunia, tapi juga soal mempertanggungjawabkan setiap pilihan kita di hadapan Sang Pencipta.
Lingkungan juga sangat berpengaruh. Berada di tengah orang-orang yang menghargai nilai iffah akan membuat kita lebih kuat dalam menjaganya. Sebaliknya, bergaul dengan lingkungan yang permisif terhadap perilaku buruk bisa perlahan-lahan merusak benteng kehormatan kita tanpa kita sadari.
Pada akhirnya, iffah adalah tentang membangun harga diri sejati. Bukan harga diri yang dibangun dari pencitraan atau pencapaian kosong, tapi harga diri yang lahir dari kejujuran, kesucian niat, dan keteguhan hati. Dan menariknya, orang-orang yang menjaga iffah sering kali lebih dihormati, lebih tenang, dan lebih bahagia dalam hidupnya, karena mereka hidup sesuai dengan prinsip yang mulia.
Menjaga diri adalah pilihan berat di dunia yang penuh godaan, tapi justru itulah yang membuatnya menjadi bentuk kemuliaan yang tinggi. Bukan semua orang bisa, tapi siapa pun yang berusaha akan merasakan keindahan dan ketenangan yang tidak bisa diberikan oleh popularitas atau kekayaan.
Maka, mari kita jadikan iffah sebagai bagian dari perjalanan hidup kita. Bukan hanya sebagai slogan, tapi sebagai karakter sejati yang membentuk siapa diri kita, hari ini dan di masa depan.
Monitor Saham BUMN

Kunjungan Mendikdasmen ke Kebumen: Serukan Pejabat Hidup Sederhana

Nasib Negara Muslim yang Dulu Pernah Kalahkan Rusia

RI-AS Sepakat Tuntaskan Negosiasi Tarif dalam 60 Hari, Ini 10 Poin Pentingnya

Liverpool Bisa Kunci Gelar Juara Liga Inggris Tanpa Bermain, Ini Skenarionya

Sukses Antar Uzbekistan Juara Piala Asia U-17, Intip Profil Islombek Ismoilov

Dramatis! Uzbekistan Juara Piala Asia U-17 2025 dengan 9 Pemain

Kirgistan Bakal Miliki Lagu Kebangsaan Baru, Apa Alasannya?

Viral Ditegur Wapres Soal Mafia Pangan, Ini Klarifikasi Mentan

Real Madrid Siap Depak Ancelotti Usai El Clasico, Siapa Calon Penggantinya?

Pengamat Pendidikan Nilai Pembukaan Kembali Jurusan Jenjang SMA Sudah Tepat

Rektor ITS Sambut Positif Pembukaan Kembali Jurusan di Jenjang SMA

Indonesia Tuan Rumah Mandiri ASEAN U-23 Championship 2025

Berkat Homologasi, Rajawali Nusindo Pastikan Keberlanjutan operasional dan Pemulihan Kinerja Perusahaan

Digiland Run 2025 Raih Sertifikasi Dunia, Siap Gaet Ribuan Pelari Internasional

BSI Pastikan Seluruh Jemaah Haji 2025 Sudah Lunasi Biaya

Wuih! China Bakal Resmikan Jembatan Tertinggi Dunia, Kalahkan Menara Eiffel

AS Apresiasi Proposal Tarif Dagang Indonesia

Netanyahu Memilih Perang, Bukan Sandera

Esemka: Mobil Nasional yang Ghaib
