Monitorday.com – Pada bulan Dzulhijjah ini Allah SWT kembali menawarkan beragam amalan yang memiliki nilai yang sangat tinggi.
Salah satunya adalah berqurban, menyembelih sapi, kambing, atau unta pada tanggal 10, 11, 12, dan 13 dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
Seperti halnya ibadah yang lain, selalu ada syarat dalam pelaksanaannya. Penetapan syarat hakikatnya adalah isyarat bahwa ibadah tidak bisa dikerjakan asal-asalan.
Setiap ibadah membutuhkan keseriusan, kesungguhan, bahkan pengorbanan.
Dari al-Barra’ bin Azib RA, Rasulullah SAW berdiri dan bersabda, “Ada empat cacat yang tidak boleh dalam hewan qurban: buta sebelah matanya dan jelas butanya, sakit dan jelas sakitnya, pincang dan jelas pincangnya, dan sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.”
Al-Barra’ mengatakan, “Apapun ciri binatang yang tidak kamu sukai, maka tinggalkanlah dan jangan haramkan untuk orang lain.”
Pada Hadits di atas, Rasulullah SAW menjelaskan kriteria minimal hewan ternak yang bisa diqurbankan.
Pertama, selamat dari cacat berupa buta sebelah yang nampak.
Dikataeorikan buta yang nampak jika orang yang melihatnya mengetahui bahwa hewan tersebut benar-benar buta sebelah matanya.
Ada dua ciri mata hewan yang buta, yaitu matanya menonjol keluar, atau sebaliknya tenggelam sehingga matanya tidak terlihat.
Jika ciri kebutaan jelas seperti itu, maka tak memenuhi syarat.
Adapun jika sebatas tidak melihat tapi tidak kentara kebutaannya, maka dibolehkan. Kedua, tidak sakit dan nampak sakitnya.
Katagori sakit yang nampak adalah sakit yang membuat hewan itu tidak semangat dalam mencari makanan sehingga tubuhnya menjadi kurus.
Ketiga, tidak pincang dan nampak pincangnya.
Katagori pincang dan nampak pincangnya adalah yang mempengaruhinya dalam mencari makanan.
Imam Syafi’i berkata, “Jika ia telat berjalan karena pincangnya, maka itu adalah pincang yang nampak.”
Keempat, bukan hewan yang sangat kurus sehingga tidak lagi tersisa sumsum pada tulangnya. Masuk pula pada ciri yang keempat adalah hewan yang sangat tua sehingga tidak memiliki sumsum.
Jika cacat yang tersebutkan dalam Hadits itu tidak nampak, maka sah dijadikan sebagai hewan qurban.
Menurut Ibnu Rusyd, para ulama telah sepakat jika aib yang empat dalam katagori ringan, maka tidak mempengaruhi keabsahan hewan qurban.
Adapun jika cacatnya lebih parah dari yang empat itu, maka jumhur ulama memasukkannya dalam penghalang keabsahan.
Sedangkan cacat yang selevel dengan itu dalam hal berkurangnya harga hewan qurban, maka dari kalangan Mazhab Maliki juga tidak mensahkannya.
Sedangkan yang lebih ringan dari cacat di atas maka boleh diqurbankan meskipun dimakruhkan. Seperti terpotong sebagian telinganya atau patah tanduknya.
Cacat seperti ini tidak sampai menghalangi sahnya hewan qurban. Dari penjelasan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa hewan qurban hendaknya hewan yang terbaik.