Review
Menelisik Dinamika Isu Kritis Linguistik Terapan
Kuliah perdana Isu-Isu Kritis Penelitian Linguistik Terapan di UNJ membangkitkan nalar kritis mahasiswa dalam menjembatani teori linguistik, teknologi, dan perubahan sosial melalui pendidikan transformatif.

Published
2 months agoon
By
Natsir Amir
Monitorday.com – Ruang kelas itu terasa hidup ketika Prof. Dr. Ifan Iskandar membuka kuliah perdana mata kuliah Isu-Isu Kritis Penelitian Linguistik Terapan di Sekolah Pascasarjana UNJ, Kamis (6/3). Ia pun melontarkan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang menusuk nalar mahasiswa. Bukan sekadar memancing diskusi, melainkan membangkitkan hasrat berpikir kritis yang menjadi nafas utama pendidikan transformatif.
Prof. Ifan merajut benang pemikiran praksis pendidikan, bahwa ilmu bukan hanya sebatas teori yang menggantung di langit-langit akademik, melainkan api yang menyala di dalam tindakan reflektif.
Ia menekankan bahwa linguistik terapan bukan sekadar studi bahasa, tetapi sebuah lanskap pemikiran yang menjembatani pengetahuan dan perubahan sosial.
Pendidikan transformatif, katanya, adalah kekuatan yang menyalakan kesadaran untuk menelisik realitas sosial sekaligus menawarkan solusi.
Dalam pemaparannya, Wakil Rektor 1 UNJ itu mendobrak pemikiran bawah sadar mahasiswa akan kebermanfaatan gelar doktoral yang akan disandang.
” Buat apa dengan gelar doktor yang anda raih, jika tidak bisa berkontribusi untuk kepentingan umat yang lebih luas,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Ifan menuturkan bahwa mahasiswa perlu melakukan unboxing pemikiran, melihat lebih dalam isu-isu kritis penelitian linguistik terapan yang mutakhir. Unboxing pemikiran ini menuntut mahasiswa untuk tidak hanya memahami konsep, tetapi juga membongkar cara pandang konvensional, membuka kemungkinan baru, dan menyoroti sisi tersembunyi dari fenomena bahasa. Pendekatan ini mendorong mahasiswa untuk mengaitkan isu linguistik dengan kehidupan nyata, sehingga manfaat penelitiannya dapat dirasakan oleh masyarakat luas.
Sesi berlanjut dengan arahan Dr. Ratna Dewanti yang menekankan pentingnya metode SMART dalam perumusan indikator sub-CPMK. Mahasiswa ditantang untuk mengidentifikasi isu-isu lokal dan global terkait penggunaan bahasa, seperti keresahan Malaysia terhadap krisis bahasa Melayu dan kecenderungan generasi Z serta Alfa dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.
Tugas ini menempatkan mahasiswa sebagai aktor intelektual yang berkontribusi pada solusi linguistik dalam masyarakat modern.
Kuliah ini dirancang untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan kritis dalam menganalisis isu-isu linguistik yang kompleks. Penggunaan teknologi informasi menjadi elemen penting dalam memajukan penelitian linguistik terapan, sejalan dengan capaian pembelajaran lulusan (CPL) yang menitikberatkan pada penelitian transdisipliner, inovatif, dan berdampak sosial.
Mahasiswa diharapkan mampu menyusun kerangka teoretis, merancang metodologi penelitian, hingga mempublikasikan hasil riset di jurnal internasional bereputasi.
Dalam lingkup sub-CPMK, mahasiswa didorong untuk mengeksplorasi beragam topik, mulai dari analisis diskursus media sosial, pengembangan alat pembelajaran bahasa berbasis kecerdasan buatan, hingga deteksi ujaran kebencian dan berita bohong di dunia digital.
Pendekatan interdisipliner menjadi kunci, di mana linguistik, sosiologi, dan teknologi saling berkelindan untuk memahami dinamika bahasa dalam masyarakat modern.
Isu literasi digital pada generasi muda menjadi salah satu fokus penting. Mahasiswa diajak menganalisis dampak teknologi terhadap keterampilan komunikasi, sekaligus merancang strategi peningkatan literasi digital yang adaptif. Di sisi lain, variasi bahasa dalam komunitas digital juga menjadi bahan kajian, menyoroti bagaimana identitas sosial terbentuk dan terjalin dalam ruang-ruang virtual.
Untuk itu, mahasiswa didorong untuk menemukan teori baru yang mengintegrasikan teknologi terkini dalam studi linguistik. Mereka ditantang untuk menciptakan model prediktif keberhasilan pembelajaran bahasa kedua berbasis faktor individual dan sosial.
Apalagi ruang kelas itu bukan hanya arena diskusi, melainkan laboratorium pemikiran di mana kata-kata dijinakkan, dibedah, dan dihidupkan kembali dengan daya transformatif. Kuliah ini bukan sekadar pelajaran, tetapi perjalanan merajut nalar kritis—sebuah nyala api yang tak pernah padam di persimpangan bahasa dan kemanusiaan.
Dengan pendekatan yang energik dan dinamis, mata kuliah ini menjadi ruang akselerasi intelektual yang menghubungkan linguistik terapan dengan tantangan global.
Mungkin Kamu Suka
Review
Dosen: Lebih Dari Sekadar Buruh Pendidikan
Dosen lebih dari sekadar buruh pendidikan. Mereka adalah pemikir dan inovator yang harus diberdayakan untuk berkembang, bukan hanya dipandang sebagai pekerja yang menjalankan instruksi.

Published
3 days agoon
01/05/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com –“Pendidikan adalah kunci untuk membuka dunia, tetapi bukan kunci untuk dikendalikan.” – Paulo Freire
Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa dosen seharusnya tidak hanya dianggap sebagai buruh yang bekerja tanpa mempertanyakan makna atau kontribusinya.
Mereka adalah pemikir, pencipta, dan pendorong utama dalam proses pendidikan yang berkelanjutan. Namun, sayangnya, realitas seringkali tidak seindah teori. Dalam banyak kasus, dosen justru diperlakukan lebih seperti buruh yang hanya menjalankan instruksi tanpa adanya ruang untuk berkembang, bertanya, atau memberi inovasi dalam dunia akademik.
Dalam sistem pendidikan, dosen memainkan peran yang sangat vital. Mereka bukan hanya pengajar yang mentransfer pengetahuan, tetapi juga peneliti yang menciptakan pengetahuan baru. Mereka adalah pemikir kritis yang seharusnya dapat bebas mengeksplorasi ide dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Namun, dalam banyak situasi, para dosen dibebani dengan beban administrasi yang tinggi, tuntutan penelitian yang sering kali tidak realistis, serta evaluasi yang sering kali tidak sesuai dengan esensi dari pekerjaan mereka.
Dosen sering dipandang sebagai sosok yang harus selalu berada di kelas, mengajar, dan memastikan bahwa mahasiswa menguasai materi dengan baik. Namun, di balik rutinitas ini, ada berbagai masalah struktural yang membuat mereka tidak lebih dari sekadar buruh pendidikan. Banyak dosen yang terjebak dalam sistem yang menuntut mereka untuk terus-menerus beradaptasi dengan kebijakan yang berubah-ubah, tanpa adanya penghargaan yang setimpal untuk kerja keras mereka.
Beban administrasi yang tidak terhitung banyaknya sering kali mengalihkan perhatian dosen dari apa yang seharusnya menjadi inti dari profesi mereka, yaitu pengajaran dan penelitian.
Mereka dipaksa untuk menghabiskan waktu berjam-jam untuk memenuhi berbagai persyaratan administratif yang mengganggu waktu mereka untuk berfokus pada pengembangan materi ajar atau riset yang dapat memberi dampak positif bagi masyarakat. Ironisnya, meskipun mereka berjuang keras untuk memenuhi tuntutan administratif, tidak jarang hasil kerja mereka tidak mendapatkan pengakuan yang layak dari lembaga pendidikan.
Selain itu, sistem evaluasi yang terlalu terfokus pada kuantitas juga tidak jarang menjadi beban tersendiri bagi dosen. Misalnya, dalam dunia akademik, kualitas pengajaran dan riset sering kali diukur berdasarkan jumlah publikasi atau pengajaran yang dilakukan, tanpa memperhitungkan kualitas dari materi yang disampaikan atau penelitian yang dilakukan. Evaluasi yang sempit ini mengabaikan dampak jangka panjang dari pendidikan yang benar-benar relevan dan berkualitas.
Yang lebih parah lagi, banyak dosen yang merasa tidak diberdayakan dalam pengambilan keputusan mengenai kurikulum atau metodologi pengajaran. Padahal, mereka adalah pihak yang paling memahami kebutuhan mahasiswa dan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, keputusan-keputusan strategis yang seharusnya melibatkan mereka sering kali dibuat oleh pihak manajemen universitas tanpa melibatkan suara mereka.
Hal ini semakin menambah kesan bahwa dosen hanyalah pekerja yang menjalankan perintah tanpa diberi ruang untuk berinovasi.
Sementara itu, dalam masyarakat, pandangan terhadap dosen sering kali masih terjebak pada anggapan bahwa mereka hanya bekerja di jam-jam tertentu dan tidak memiliki tantangan yang sesungguhnya. Padahal, dunia akademik penuh dengan dinamika yang sangat kompleks. Dosen tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga mengembangkan metode baru dalam pengajaran, menciptakan solusi untuk masalah yang muncul, dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang terus berubah.
Keberhasilan dalam pendidikan tidak hanya bergantung pada apa yang diajarkan di ruang kelas, tetapi juga bagaimana dosen itu sendiri diberdayakan dan dihargai dalam sistem pendidikan. Mereka bukanlah buruh yang hanya datang bekerja dan pulang tanpa memberikan kontribusi yang bermakna. Dosen adalah pionir yang harus mendapatkan ruang untuk berkembang, menciptakan, dan berinovasi dalam cara mereka mendidik generasi masa depan.
Dalam menghadapi tantangan ini, kita perlu mengubah cara pandang terhadap dosen. Mereka harus diberdayakan, diberi penghargaan yang setimpal, dan diberikan kebebasan untuk berinovasi dalam pendidikan. Hanya dengan begitu, dunia pendidikan kita dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Review
Carut Marut Mayday: Buruh, Kebijakan, dan Ketimpangan
Indonesia harus serius menciptakan kebijakan yang mendukung swasembada pangan, memperbaiki iklim investasi, dan mempermudah birokrasi agar industri dalam negeri bisa berkembang.

Published
3 days agoon
01/05/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Hari Buruh di Indonesia, yang seharusnya menjadi momen refleksi atas kontribusi tenaga kerja, justru kembali terjebak dalam pusaran masalah yang belum juga terpecahkan.
Tahun demi tahun, peringatan ini seringkali disertai dengan demonstrasi, tuntutan kenaikan upah, dan perbaikan kondisi kerja. Namun, ironisnya, meskipun negara ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, kita masih bergantung pada impor komoditas yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri. Hal ini mencerminkan kegagalan dalam mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada.
Bukan hanya soal ketergantungan pada impor yang terus berlanjut, namun lebih dalam lagi soal bagaimana kebijakan ekonomi yang kurang bersahabat dengan investor dan pelaku usaha justru menjadi penghambat kemajuan. Sumber daya alam yang melimpah tak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Bahkan, penguasa yang merangkap pengusaha terkadang menggunakan pihak ketiga untuk memalak rakyat dengan dalih kebijakan yang pro-investasi. Sungguh ironis, di saat kita bisa berdiri di atas kaki sendiri, kenyataannya justru kita semakin terjebak dalam belenggu ketergantungan pada negara lain.
Salah satu contoh nyata yang menggambarkan masalah ini adalah impor beras yang meskipun jumlahnya menurun, masih saja dilakukan. Selain beras, komoditas lainnya seperti kedelai, garam, cabai, bawang, kentang, dan bahkan terpal, masih mengandalkan impor. Padahal, negara ini memiliki potensi yang seharusnya dapat menyuplai kebutuhan tersebut tanpa harus bergantung pada impor. Masalah yang lebih mendalam adalah ketidaktersebaran hasil pembangunan yang seharusnya bisa dinikmati oleh masyarakat sekitar. Tidak jarang, kebijakan yang ada justru lebih menguntungkan segelintir pengusaha besar yang terhubung dengan kekuasaan, sementara masyarakat tidak merasakan manfaatnya.
Solusi untuk mengatasi problematika ini bukanlah hal yang mudah. Namun, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk menuju perubahan yang lebih baik.
Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan investasi benar-benar mendukung industri dalam negeri, bukan hanya menguntungkan segelintir pihak.
Investasi asing memang penting, tetapi yang lebih penting adalah menciptakan ekosistem industri yang mendorong perusahaan domestik untuk berkembang. Negara perlu memberikan insentif yang jelas bagi perusahaan lokal untuk meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing.
Kedua, untuk mengurangi ketergantungan pada impor, kita perlu serius dalam menciptakan swasembada pangan. Pemerintah harus memperkuat sektor pertanian dan perikanan, memberikan dukungan yang cukup kepada petani dan nelayan dengan teknologi yang lebih modern, serta menghilangkan praktik perantara yang tidak transparan dalam distribusi komoditas. Pemberdayaan petani kecil harus menjadi prioritas, dengan memberikan mereka akses ke pasar yang lebih luas dan harga yang lebih adil.
Ketiga, reformasi birokrasi harus terus dilakukan untuk memudahkan proses perizinan dan mengurangi hambatan bagi dunia usaha. Banyak pengusaha, terutama yang berada di sektor kecil dan menengah, merasa terhambat dengan proses administrasi yang berbelit-belit. Oleh karena itu, perlu ada terobosan di bidang perizinan yang bisa memberikan kepastian hukum dan mempermudah dunia usaha berkembang tanpa harus melalui jalur yang panjang dan rumit.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara dengan ekonomi yang mandiri, namun untuk mencapai itu, semua pihak harus berkomitmen untuk bekerja keras mewujudkan perubahan. Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus bersatu padu untuk menciptakan kebijakan yang adil, serta meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri. Peringatan Hari Buruh yang selama ini diwarnai dengan demonstrasi, harus menjadi pemicu bagi kita untuk mengevaluasi sistem ekonomi dan tenaga kerja yang ada, agar bisa mewujudkan Indonesia yang lebih mandiri dan sejahtera.
Review
Usulan Pemakzulan Gibran Dinilai Sulit Dilakukan
Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan pemakzulan Gibran, namun ahli hukum dan politik menilai langkah itu sangat sulit dilakukan karena kendala hukum dan politik yang rumit.

Published
4 days agoon
30/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan pemecatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, namun para ahli hukum dan politik menyebutkan bahwa langkah itu “sangat-sangat sulit” dilakukan mengingat kendala hukum dan politik yang kompleks.
Usulan untuk mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya terus menuai perhatian. Forum Purnawirawan Prajurit TNI telah mengajukan permohonan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memberhentikan Gibran, dengan alasan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden telah melanggar hukum acara MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Meskipun usulan ini mengguncang panggung politik Indonesia, para analis hukum dan politik menganggap bahwa langkah tersebut sangat sulit untuk diwujudkan.
Menurut Bivitri Susanti, seorang ahli hukum tata negara, dasar hukum untuk melakukan pemakzulan terhadap Gibran masih sangat lemah. Bivitri menilai bahwa meskipun MK pernah mengeluarkan keputusan tentang batas usia yang membuat Gibran dapat mencalonkan diri sebagai cawapres, hal tersebut bukanlah pelanggaran hukum, melainkan pelanggaran etika semata. “Gibran itu berdua sama Prabowo dalam setiap proses pilpres lalu, jadi enggak mungkin Gibran saja dianggap salah,” kata Bivitri kepada BBC News Indonesia, Senin (28/04).
Selain itu, Bivitri juga mengungkapkan bahwa jika Gibran melakukan pelanggaran hukum, seperti terlibat korupsi atau perbuatan tercela, maka pemakzulan bisa dilakukan. Namun, menurutnya, hal ini sangat sulit tercapai karena hingga saat ini tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut. “Kecuali kalau misalnya Gibran tertangkap sendirian melakukan perbuatan tercela, misalnya mabuk, atau korupsi sendirian, itu baru kuat. Tapi lagi-lagi itu juga tidak mudah,” tambahnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, juga memandang bahwa peluang pemakzulan terhadap Gibran sangat kecil. Menurutnya, meskipun Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengkritik keputusan MK dan Pasal 169 UU Pemilu, langkah ini akan menemui jalan terjal di ranah politik. Firman mengingatkan bahwa proses pemakzulan tidak hanya bergantung pada alasan hukum, tetapi juga melibatkan politik yang rumit dan berlapis.
Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menanggapi usulan Forum Purnawirawan Prajurit TNI dengan mengatakan bahwa Presiden Prabowo tidak bisa memberikan respons spontan. “Perlu mempelajari secara cermat isi dari setiap poin yang diajukan,” kata Wiranto.
Proses pemakzulan presiden atau wakil presiden sendiri diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemberhentian dapat dilakukan apabila mereka terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau perbuatan tercela lainnya. Namun, langkah pemakzulan harus melewati beberapa tahapan yang rumit, mulai dari permintaan DPR kepada MK hingga persetujuan oleh MPR.
Bivitri Susanti menambahkan bahwa proses ini memerlukan dukungan kuat dari dua pertiga anggota DPR dan MPR, serta harus melewati negosiasi politik yang sangat sulit, terutama mengingat bahwa tujuh dari delapan fraksi di DPR merupakan bagian dari koalisi pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo dan Gibran. “Sangat-sangat sulit. Kecuali kalau memang fraksi yang dikuasai Prabowo itu kompak. Tapi guncangan politik ini pasti enggak main-main,” jelas Bivitri.
Sebagai kesimpulan, meskipun usulan pemakzulan terhadap Gibran mencuat, tantangan yang dihadapi di ranah hukum dan politik sangat besar. Hukum yang lemah dan kompleksitas politik yang ada membuat kemungkinan terjadinya pemakzulan sangat kecil, kecuali jika bukti pelanggaran hukum yang lebih kuat muncul.
Review
Ketika Suhu Intelijen Bicara: Sinyal Gawat
Pernyataan AM Hendropriyono soal pergantian Gibran menjadi sinyal gawat. Nicho Silalahi memperingatkan bahwa amarah rakyat menguat, menanti sikap jelas dari Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Published
6 days agoon
28/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Dalam dunia intelijen, suara-suara besar jarang terdengar tanpa alasan mendesak. Karena itulah pernyataan Jenderal (Hor) TNI (Purn) AM Hendropriyono tentang sahnya usulan penggantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menggemparkan jagat politik nasional. Tokoh yang dikenal sebagai suhu dalam dunia intelijen ini tidak berbicara sembarangan. Apalagi ketika dirinya memperingatkan bahwa jika suhu intelijen sudah bersuara, berarti kondisi di bawah sudah dalam tahap gawat. Pernyataan ini bukan sekadar analisis dingin, tetapi lebih sebagai sirene keras yang menyentak kesadaran publik.
Aktivis muda Nicho Silalahi, tanpa ragu, menegaskan pesan tersebut. Ia menyebut suara Hendropriyono sebagai tanda bahwa situasi politik bisa meledak sewaktu-waktu. Melalui platform X, Nicho mengingatkan bahwa rakyat kini hanya menunggu: ke mana sebenarnya Presiden terpilih Prabowo Subianto akan berpihak? Apakah kepada kehendak rakyat yang mulai gerah, atau justru membentengi “Anak Haram Konstitusi”—sebuah istilah pedas yang kini mulai akrab di ruang-ruang publik untuk menyebut Gibran Rakabuming, wakil presiden terpilih yang diwarnai kontroversi usia dan polemik etika berkonstitusi.
Di tengah riuh usulan untuk mengganti Gibran, suara Hendropriyono tidak bisa dianggap sebagai angin lalu. Sebagai mantan Kepala BIN, Hendropriyono paham betul medan pertempuran politik dalam dan luar panggung. Jika tokoh dengan rekam jejak sekelas dirinya sudah mengisyaratkan ‘gawat’, maka benih ketidakpuasan rakyat bukan lagi sekadar percikan, melainkan bara yang menunggu ledakan.
Nicho memperingatkan, bahwa rakyat Indonesia, meski dikenal sabar, punya titik jenuh. Sejarah pun menjadi saksi bahwa kekuasaan, sekuat apapun, tetap bisa roboh dalam hitungan bulan ketika kepercayaan publik tergerus. Ia mengingatkan bagaimana Soeharto, dengan dukungan mayoritas DPR dan kekuatan militer, pada akhirnya harus menyerah kepada gelombang besar kehendak rakyat di tahun 1998. “Ingat, bahkan Soeharto yang didukung ABRI pun tak kuasa menahan amarah rakyat,” seru Nicho dalam unggahannya.
Kini, semua mata tertuju kepada Prabowo. Dalam pusaran ini, Prabowo tidak bisa lagi berdiri di tengah. Rakyat menunggu sinyal: apakah Prabowo akan menjadi Presiden rakyat atau menjadi Presiden oligarki. Diam berarti memberi ruang kepada kegentingan, dan sejarah mencatat bahwa presiden yang gagal membaca suara rakyat hanya menunggu waktu untuk tergilas perubahan.
Di tengah ketidakpastian ini, Nicho mengingatkan satu hal: tak ada kekuasaan yang bisa bertahan di atas ketidakadilan. Rakyat mungkin diam, tetapi diam itu kini bertransformasi menjadi geram. Diam itu bukan tunduk, melainkan mengumpulkan tenaga untuk menggelombang. Saat ini, amarah itu sedang menunggu momentum. Ketika suhu intelijen angkat bicara, maka rakyat, kata Nicho, tinggal menunggu aba-aba: bertahan atau bangkit.
Momen ini bukan lagi tentang Gibran seorang, melainkan tentang pertaruhan besar masa depan demokrasi Indonesia. Setiap suara yang diabaikan, setiap kritik yang dicibir, akan menambah panjang barisan ketidakpercayaan. Hendropriyono sudah menyalakan alarm. Nicho Silalahi sudah menerjemahkan sinyal itu kepada publik. Kini, apakah kita semua akan tetap membiarkan bara ini membesar menjadi kobaran?

Monitorday.com – Mari kita beri tepuk tangan meriah untuk para beruk di Pariaman! Di sebuah sudut negeri yang mungkin dulu cuma terkenal karena sala lauak dan tabuik, kini muncul sebuah inovasi pendidikan revolusioner: Sekolah Tinggi Ilmu Beruk (STIB). Para beruk di sini tidak sekadar belajar bergelantungan, melainkan juga serius menuntut ilmu hingga akhirnya—percaya atau tidamereka mengantongi ijazah resmi. Iya, ijazah betulan. Bukan hasil scan, bukan pula hasil “jalan belakang”.
Sementara itu, di ranah manusia, situasinya justru penuh drama dan ironi. Ada yang sibuk antre legalisir ijazah palsu, ada pula yang mengejar gelar akademik secepat kecepatan kilat—bahkan tanpa pernah merasakan bangku kuliah. Geli, ya? Tapi ini bukan sinetron komedi, ini realita negeri +62 yang penuh warna.
Di STIB, para beruk harus melewati serangkaian pendidikan keras. Mereka belajar memetik kelapa tanpa jatuh, menjaga keseimbangan di atas tali, bahkan memahami isyarat kompleks dari para pelatihnya. Mereka diuji dalam kesabaran, ketekunan, dan ketahanan mental. Intinya, para beruk ini benar-benar berjuang untuk mendapatkan ijazah mereka. Bukan sekadar modal senyum manis di foto, apalagi modal “kedekatan” dengan pejabat kampus.
Bandingkan dengan sejumlah oknum manusia yang mengaku “sarjana” dalam sekejap mata. Tanpa kuliah, tanpa skripsi, tahu-tahu sudah bergelar “Doktor Honoris Curang”. Mungkin mereka pikir gelar akademik bisa dipesan sekalian dengan bakso urat di pinggir jalan.
Sekolah Tinggi Ilmu Beruk ini mengajarkan kita satu hal mendasar: belajar itu butuh proses. Bahkan beruk pun tahu itu. Sementara sebagian manusia malah sibuk mencari jalan pintas untuk sekadar pamer gelar di belakang namanya. Kalau kata pepatah lama, “Lebih baik jadi beruk berijazah, daripada manusia berijazah palsu.”
Yang lebih menggelikan, ijazah beruk ini tidak dipakai buat nyalon bupati, apalagi mendaftar CPNS. Mereka cukup puas dengan keterampilan hidup yang nyata: memetik kelapa, menghibur wisatawan, bahkan menjadi ikon kesetiaan belajar. Sedangkan di dunia manusia? Ijazah palsu itu justru dipakai buat memoles karier, menaiki jabatan, dan sayangnya, mengatur hidup orang banyak.
Kalau beruk bisa sekolah dan sabar mengikuti proses hingga sah mendapatkan ijazah, mungkin sudah saatnya kita bertanya: siapa yang sebenarnya perlu sekolah lagi—beruk atau manusia?
Mungkin di masa depan, Sekolah Tinggi Ilmu Beruk bisa membuka program pascasarjana. Tidak mustahil para beruk bergelar S.B. (Sarjana Beruk), M.B. (Magister Beruk), hingga D.B. (Doktor Beruk) akan lebih dihormati dibanding manusia-manusia berijazah palsu yang hobinya cuma mengelabui rakyat.
Sungguh menggelikan tapi menampar keras. Pendidikan seharusnya tentang nilai, proses, dan integritas. Bukan sekadar selembar kertas bertuliskan nama panjang nan eksotis, tapi tanpa makna. Hari ini, beruk di Pariaman mengajarkan kita semua pelajaran penting: belajar sungguhan itu keren. Menipu ijazah itu memalukan.
Selamat untuk para beruk lulusan STIB! Semoga ketekunan kalian suatu hari nanti menjadi bahan refleksi nasional: kalau beruk saja bisa serius bersekolah, masa manusia kalah?
Review
Hidupkan Petrus, Basmi Preman Berkedok Ormas
Ormas preman harus dibasmi tanpa kompromi. Hidupkan ketegasan ala Petrus untuk menegakkan hukum, menjaga investasi, dan melindungi hak rakyat kecil.

Published
1 week agoon
26/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – Di tengah kebebasan demokrasi yang berkembang di Indonesia, ada bayang-bayang gelap yang mengancam kestabilan masyarakat dan dunia usaha. Organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) yang seharusnya memberikan kontribusi positif bagi bangsa ini justru kini semakin terjerumus ke dalam praktik-praktik premanisme. Mereka memanfaatkan kedudukan mereka untuk meresahkan masyarakat dan merusak iklim investasi yang sangat dibutuhkan oleh negara. Setiap Idul Fitri, tanpa terkecuali, kita mendengar laporan tentang ormas yang selalu menuntut Tunjangan Hari Raya (THR) dari pedagang hingga pemilik usaha, tanpa rasa malu. Bahkan tak jarang, mereka melakukan pemalakan terang-terangan di area-area parkir, menuntut ‘uang keamanan’ yang seharusnya tidak mereka dapatkan.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, dengan tegas menyerukan agar pemerintah segera menindak tegas ormas-ormas yang terlibat dalam tindakan seperti ini. Dalam wawancara yang berlangsung di Kompleks MPR/DPR RI pada Kamis (24/4/2025), Aria menyatakan bahwa sudah saatnya ormas yang menyalahgunakan kekuasaannya dibubarkan. Undang-undang Ormas yang ada sudah cukup untuk melakukan pembubaran terhadap ormas yang bertindak di luar jalur hukum. Aria mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan setiap warga negara, termasuk anggota ormas, harus tunduk pada aturan yang ada.
“Semua harus dilihat dari cara pandang kita itu sebagai warga negara adalah taat hukum,” ujarnya.
Tak hanya Aria Bima, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKB, Abdullah, juga ikut mendesak agar pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Antipremanisme. Abdullah menyoroti betapa meresahkannya aksi premanisme yang berkedok ormas di berbagai daerah. Ia memberi contoh proyek pembangunan pabrik BYD di Subang, Jawa Barat, yang terganggu oleh ulah ormas yang melakukan pemalakan kepada para investor. Aksi premanisme seperti ini jelas merusak suasana investasi yang aman dan kondusif. “Seolah-olah tidak ada hukum di Indonesia. Mereka bisa seenaknya melakukan pemalakan dan pemerasan. Mereka bebas melakukan apa saja. Ini jelas tidak boleh dibiarkan,” tegas Abdullah.
Aksi premanisme ini tidak hanya mengancam dunia usaha, tetapi juga mencoreng citra organisasi kemasyarakatan yang seharusnya berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat dan membangun kerukunan antarwarga. Jika ormas tidak segera dibubarkan, maka Indonesia akan terus menghadapi masalah yang merusak fondasi hukum dan ketertiban yang telah dibangun selama ini.
Pembubaran ormas yang terlibat dalam praktik premanisme adalah langkah yang sangat tepat dan harus segera dilakukan.
Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tegas, tidak hanya sebatas memberikan peringatan, tetapi juga menerapkan sanksi yang setimpal sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Seperti yang telah dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo terhadap 2 ormas saat itu, pembubaran ormas-ormas semacam itu akan memberikan pesan kuat bahwa Indonesia tidak memberi ruang bagi pelaku kejahatan berkedok ormas.
Untuk itu, penting bagi seluruh masyarakat dan pihak berwenang untuk bersatu dalam memberantas premanisme yang menyusup ke dalam ormas. Melalui tindakan tegas yang nyata, kita dapat memastikan bahwa ormas di Indonesia kembali pada tujuan semula, yaitu untuk membangun kebersamaan dan kemajuan, bukan malah merusak dan memeras masyarakat.
Review
Akademisi di Lingkungan Kekuasaan: Menjaga Kebenaran dan Integritas

Published
1 week agoon
25/04/2025By
Natsir Amir
Monitorday.com – “Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan, sementara kekuasaan adalah kendaraan yang mengantarkan kita ke tujuan.” – Imam Al-Ghazali
Di pagi yang cerah ini, saya mendapatkan sebuah artkel oleh salah seorang dosen yang memiliki pandangan sendiri terhadap keberadaan akademisi di pusaran kekuasaan. Tampaknya, kedekatan antara akademisi dan kekuasaan dinilai sebagai kedekatan kompromistis yang sifatnya penuh pragmatis. Pertanyaannya? apakah selalu begitu?
Faktanya, akademisi di lingkaran kekuasaan bukanlah fenomena baru. Sejarah menunjukkan bahwa intelektual dari perguruan tinggi sering kali terlibat dalam politik, baik sebagai penasehat, pejabat negara, maupun aktor-aktor penting dalam pemerintahan.
Fenomena ini menunjukkan pentingnya peran akademisi dalam menciptakan kebijakan yang berbasis pada ilmu pengetahuan. Namun, hubungan ini juga memunculkan tantangan besar dalam menjaga independensi dan integritas akademik.
Akademisi, dengan pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki, memiliki potensi besar untuk mempengaruhi kebijakan publik. Melalui riset ilmiah dan pendekatan berbasis bukti, mereka bisa menginjeksi kebijakan dengan perspektif yang lebih rasional dan terukur, mengisi kekosongan analitis dalam birokrasi pemerintahan yang sering kali dibayangi oleh kepentingan politik semata.
Oleh karena itu, keberadaan akademisi dalam pemerintahan dapat menguntungkan, asalkan mereka menjaga prinsip ilmiah dan tidak terjerat dalam agenda politik.
Namun, masuknya akademisi ke dalam kekuasaan juga membawa risiko besar. Godaan untuk memanfaatkan posisi strategis dalam pemerintahan dapat mempengaruhi objektivitas ilmiah mereka. Misalnya, akademisi yang terlibat dalam penyusunan kebijakan mungkin harus menghadapi dilema etika ketika kebijakan tersebut tidak sepenuhnya didasarkan pada hasil riset ilmiah, melainkan dipengaruhi oleh kepentingan politik.
Hal ini bisa mengancam integritas akademik mereka, apalagi jika kebijakan yang dihasilkan justru bertentangan dengan nilai-nilai ilmiah yang mereka junjung.
Tentu saja, motivasi idealisme menjadi salah satu faktor utama mengapa akademisi mendekat kepada kekuasaan. Mereka ingin memperbaiki keadaan masyarakat dan negara melalui kebijakan yang berbasis riset ilmiah. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga kepentingan pribadi dan lembaga yang mendorong mereka untuk mengambil peran di pemerintahan, seperti kesempatan untuk memperluas jaringan dan memperkuat pengaruh. Ini menjadi dilema yang harus dihadapi oleh akademisi yang terlibat dalam politik.
Namun, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, keterlibatan akademisi dalam pemerintahan dapat memperkuat posisi ilmu pengetahuan dalam pembangunan bangsa. Mereka dapat membantu merumuskan kebijakan yang lebih berbasis bukti dan data, yang pada gilirannya dapat membawa dampak positif bagi masyarakat. Kehadiran akademisi dalam pemerintahan juga dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk memperoleh kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada kebenaran ilmiah.
Sejumlah ulama dan pakar ilmu sosial juga menekankan pentingnya keberadaan akademisi dalam pemerintahan. Misalnya, Imam Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu adalah cahaya yang harus menerangi segala aspek kehidupan, termasuk dalam pemerintahan. Akademisi yang terlibat dalam pemerintahan, menurut beliau, memiliki tanggung jawab moral untuk menerjemahkan pengetahuan mereka demi kebaikan bersama.
Dengan demikian, akademisi di pemerintahan bukan hanya berfungsi sebagai penjaga kebenaran ilmiah, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat memperbaiki struktur sosial dan politik.
Namun, penting bagi akademisi untuk tetap menjaga jarak kritis dengan kekuasaan. Mereka harus tetap memegang teguh prinsip-prinsip ilmiah dan tidak tergoda oleh kekuasaan yang dapat memengaruhi objektivitas mereka.
Dalam konteks ini, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan selalu saling terkait. Kekuasaan bisa membentuk wacana yang dianggap sebagai kebenaran, dan akademisi yang terlalu dekat dengan kekuasaan bisa terperangkap dalam konstruksi kebenaran yang tidak sepenuhnya objektif.
Akademisi yang terlibat dalam kekuasaan harus mampu menjaga keseimbangan antara idealisme dan realitas politik. Mereka harus bisa memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar berlandaskan pada prinsip-prinsip ilmiah dan bukan hanya untuk kepentingan politik tertentu.
Dalam hal ini, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama. Akademisi yang terlibat dalam kebijakan publik harus terbuka terhadap evaluasi dan kritik dari masyarakat, media, dan komunitas ilmiah.
Dari sisi positifnya, keterlibatan akademisi dalam pemerintahan bisa membawa perubahan signifikan dalam sistem pemerintahan yang lebih berbasis pada bukti ilmiah dan data. Mereka dapat membantu menciptakan kebijakan yang lebih rasional, terukur, dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Dengan demikian, akademisi memiliki peran penting dalam mempengaruhi arah pembangunan bangsa dan menjaga agar kebijakan publik tidak hanya didasarkan pada kepentingan politik semata.
Namun, di sisi lain, akademisi juga harus terus mempertahankan independensi mereka. Mereka harus memastikan bahwa mereka tidak menjadi alat kekuasaan yang digunakan untuk memperkuat narasi politik tertentu yang tidak berbasis pada bukti ilmiah. Mereka harus mampu bertindak sebagai penjaga kebenaran dan tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip ilmiah, meskipun dihadapkan pada tekanan politik yang besar.
Sebagai penutup, kita harus menyadari bahwa keberadaan akademisi dalam pemerintahan bukanlah hal yang harus dipandang negatif. Justru, dengan peran yang tepat dan integritas yang kuat, akademisi dapat menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan bagi bangsa ini. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Ghazali, ilmu pengetahuan haruslah menjadi cahaya yang menerangi jalan kehidupan, dan kekuasaan harus digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sebagai negara yang terus berkembang, Indonesia sangat membutuhkan peran akademisi yang mampu menjaga integritas, kebenaran ilmiah, dan keadilan dalam setiap kebijakan yang diambil.

Monitorday.com — Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan baru berupa pemberian tunjangan bagi guru non-Aparatur Sipil Negara (non-ASN), baik di sekolah negeri maupun swasta. Besaran tunjangan yang direncanakan berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan.
Wacana ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, usai rapat tertutup Komisi X bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, pada Selasa (22/4).
“Guru-guru non-ASN dengan kualifikasi tertentu akan diberikan tunjangan. Besarnya sedang dihitung, antara Rp300 ribu sampai Rp500 ribu,” ujar Lalu dalam keterangannya yang dikutip dari Antara.
Lalu menyampaikan bahwa kebijakan ini rencananya akan diumumkan secara resmi oleh Presiden Prabowo Subianto dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei mendatang.
Ia menyebutkan bahwa tunjangan ini merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan para pendidik yang belum berstatus ASN.
“Ini akan diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo tanggal 2 Mei nanti. Ini bentuk perhatian beliau terhadap dunia pendidikan kita,” tambahnya.
Tunjangan ini tidak hanya diberikan kepada guru yang sudah memiliki sertifikasi. Bahkan, menurut Lalu, program ini khusus menyasar guru-guru non-ASN yang belum sertifikasi, termasuk guru swasta dan honorer yang belum masuk dalam kategori PNS maupun PPPK.
“Ini di luar skema sertifikasi. Jadi, guru non-ASN, yang belum menjadi PNS atau PPPK, akan mendapatkan tunjangan minimal Rp300 ribu,” jelasnya.
Meski besaran tunjangan sudah mulai dirumuskan, Lalu mengungkapkan bahwa jumlah pasti penerima tunjangan masih dalam tahap perhitungan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
“Jumlahnya belum bisa kami sampaikan, karena masih dihitung oleh kementerian. Yang pasti, besarannya akan berada di kisaran tersebut,” pungkasnya.
Review
Esemka: Mobil Nasional yang Ghaib
Esemka, simbol mobil nasional, hilang misterius. Dulu dielu-elukan, kini jadi bahan satire nasional. Janji industrialisasi berubah jadi parodi panjang berbalut nasionalisme semu.

Published
2 weeks agoon
20/04/2025
Monitorday.com – Apa kabar mobil Esemka? Serius, ada yang tahu? Atau mobil ini memang hanya bisa hidup di tengah pidato, bukan di tengah jalan raya? Dulu dielu-elukan sebagai lambang kemandirian industri otomotif nasional, kini Esemka lebih cocok jadi karakter fiktif dalam sinetron “Janji Palsu Abadi”. Rakyat disuruh percaya, walau pabriknya seperti horor urban legend—katanya ada, tapi saksi matanya hilang satu per satu.
Mari kita kembali ke masa lalu yang penuh harapan dan ilusif itu. Tahun 2009, sebuah mobil disebut-sebut sebagai hasil karya anak SMK. Kamera televisi menyorot, pejabat tersenyum lebar, dan rakyat bersorak. “Luar biasa! Anak bangsa bisa bikin mobil!” teriak mereka yang polos hatinya dan tulus cintanya pada negeri. Bahkan, mobil itu sempat dijadikan kendaraan dinas, dipakai tokoh-tokoh penting sebagai bukti cinta tanah air—atau cinta pada panggung politik, kita tak pernah benar-benar tahu.
Namun seiring waktu, kabut tebal menyelimuti Esemka. Tidak ada showroom, tidak ada penjualan massal, tidak ada review konsumen. Yang ada hanyalah senyum canggung para pejabat ketika ditanya wartawan, dan akun-akun medsos yang beralih profesi menjadi pengarsip satire nasional.
Esemka, konon, sempat akan diproduksi massal di Boyolali. Bahkan peresmiannya digelar dengan megah. Tapi seperti biasa, peresmian di negeri ini kadang hanya simbolik. Kayak launching kembang api tanpa roket. Dentum meriah, tapi tak pernah meluncur ke angkasa. Begitu juga Esemka, lebih sering muncul di spanduk dan baliho dibanding aspal jalanan.
Lebih lucu lagi, ketika akhirnya muncul kabar bahwa Esemka ternyata bukan sepenuhnya karya anak bangsa. Ada aroma kuat impor dari Tiongkok, dengan sedikit sentuhan lokal sekadar ganti emblem dan tambal sulam dashboard. Tapi hei, bukankah semua besar itu dimulai dari mimpi? Walau mimpi itu kini berubah jadi guyonan: “Mobil Esemka itu nyata, sama nyata dengan kejujuran politisi.”
Kini, Esemka menghilang seolah tak pernah eksis. Seperti mantan yang pernah berjanji nikah, tapi setelah lima tahun cuma tinggal foto lamaran. Aneh bin ajaib, tak ada yang tahu bagaimana nasib pabriknya, bagaimana kelanjutan produksinya, dan bagaimana tanggung jawab atas gembar-gembor nasionalisme yang dulu disematkan padanya.
Lebih menggelikan lagi, di era digital ini, netizen justru lebih banyak tahu soal keberadaan mobil terbang di Dubai dibanding lokasi showroom Esemka di Indonesia. Di marketplace, Anda bisa dengan mudah mencari mobil listrik dari China, Korea, bahkan India. Tapi coba ketik “beli Esemka” — dan Anda akan disuguhi berita lama serta meme segar.
Kalau saja Esemka bisa bicara, mungkin ia akan bilang, “Maaf, saya hanya alat kampanye. Jangan terlalu serius.” Tapi karena Esemka tak pernah benar-benar menyapa rakyat dari balik kemudi, kita hanya bisa menduga: Apakah ia benar-benar gagal? Atau misinya memang bukan untuk jalanan, melainkan untuk jalan menuju kekuasaan?
Akhir kata, Esemka adalah dongeng modern—sebuah narasi patriotik dengan plot twist yang absurd. Ia adalah pelajaran bahwa tak semua janji industrialisasi perlu dipenuhi, selama rakyat cukup mudah dibuai dengan narasi dan nostalgia. Jadi, kalau Anda masih mencari Esemka, mungkin tempat terbaik adalah di museum harapan yang tak kunjung nyata, di sebelah etalase “janji kampanye yang belum ditepati”.
Review
Plongoisme Merajalela, Kampus Jadi Ladang Bisu
Plongoisme menggerogoti kampus: gaya bicara kosong, pemikiran tumpul, dan kepemimpinan dangkal mengubah institusi pendidikan menjadi ladang formalitas dan ketakutan struktural.

Published
2 weeks agoon
20/04/2025By
Diana Sari N
Monitorday.com – Kampus, seharusnya menjadi taman gagasan, malah tumbuh subur sebagai ladang plongoisme. Para pemimpin institusi pendidikan yang konon katanya cerdas, tercerahkan, dan tercerai dari gelapnya ketidaktahuan sering justru menjadi pelukis utama di kanvas kebisuan intelektual. Di ruang-ruang senat dan forum akademik, yang terdengar bukanlah gemuruh ide atau diskusi sehat, melainkan gema hampa dari kepala-kepala plongo: kosong tapi percaya diri.
Plongoisme bukan soal wajah yang selalu melongo, meskipun sering tampak demikian. Ini tentang sikap, cara berpikir, dan gaya bicara yang menelanjangi kemiskinan isi kepala. Ia hadir saat seorang petinggi kampus bicara selama 20 menit tetapi tak ada satu pun kalimat yang bernilai epistemik. Ia bersinar dalam surat edaran berlembar-lembar yang berbusa kata namun tak punya makna. Ia menjadi wabah saat dosen-dosen menulis jurnal bukan untuk memperkaya pengetahuan, melainkan demi mengisi kolom akreditasi.
Di sinilah filosofi plongisme dan dunguisme menemukan panggungnya. Plongisme adalah seni mematung dalam kebodohan yang terselubung toga; dunguisme adalah ilmu mencium angin sambil menunduk penuh perhitungan. Keduanya menari di bawah lampu sorot akademik yang meredup. Mereka mencipta suasana di mana mahasiswa takut bertanya, dosen malas berpikir, dan rektor bangga dengan plakat tanpa isi. Semua tunduk, semua patuh, semua plongo.
Ciri khas kaum plongois adalah pidato-pidato megah yang tak lebih dari parade metafora kosong. Mereka suka mengutip tokoh besar dunia, walau tak paham konteksnya. Mereka rajin menyebut “transformasi digital”, “merdeka belajar”, atau “sustainability”, tiga mantra suci yang bisa menyihir siapapun menjadi terlihat relevan. Tapi coba tanya, bagaimana implementasinya? Mereka akan menjawab dengan tatapan teduh dan senyum diplomatis, sambil berharap Anda pindah topik.
Mereka juga punya ritual: seminar internasional dengan moderator plongo dan pembicara yang lebih tertarik pada background Zoom ketimbang isi materi. Slide PowerPoint yang penuh dengan clip art dan kutipan motivasional dari Einstein (yang entah pernah berkata begitu atau tidak). Dan tentu, sesi tanya jawab yang kosong karena hadirin sudah terlatih untuk tidak berpikir apalagi bertanya.
Namun jangan salah, para plongois bukan tak punya relasi. Mereka sangat ahli dalam menjalin simpul kuasa. Lulusan program doktoral yang mereka kelola seringkali menjadi rekan bisnis ideologis: saling mengamini, saling menaikkan jabatan, saling menyebar virus plongo di setiap institusi. Plongo melahirkan plongo. Inilah reproduksi struktural dari anti-intelektualisme yang dibungkus akademik.
Ironisnya, semakin tinggi jabatan seseorang di institusi pendidikan, semakin besar potensi plongoismenya. Bukan karena bodoh secara biologis, tapi karena terlalu sibuk mengatur narasi citra daripada mengasah pikiran. Mereka takut salah, takut terlihat manusiawi, maka lebih aman menjadi boneka formalitas yang selalu tersenyum dan berkata “saya dukung program ini” pada semua hal yang lewat.
Maka jangan heran jika kampus hari ini lebih mirip museum wacana daripada laboratorium ide. Kita punya dekan yang plongo, dosen yang dunguis, dan mahasiswa yang tak tahu hendak menjadi apa, karena inspirasi di sekitarnya telah sirna, diganti formalitas birokrasi dan ketakutan sistemik. Kampus kehilangan ruh karena terlalu sibuk dengan penilaian eksternal, akreditasi semu, dan lomba siapa paling inovatif dalam meniru.
Mungkin inilah saatnya kita menyambut revolusi: bukan dengan api dan bendera, tapi dengan berpikir. Dengan menertawakan plongoisme, kita perlahan mencabut akarnya. Biarkan kampus kembali menjadi tempat berpikir, bukan hanya tempat berpakaian toga dan berfoto dengan ijazah palsu semangat.
Monitor Saham BUMN

Dedi Mulyadi Berencana Terapkan Vasektomi, MUI Jabar Ingatkan Hukumnya Haram

Prodi S3 Linguistik Terapan UNJ Raih Akreditasi Unggul

Tawakkal: Kekuatan di Balik Usaha tanpa Putus Asa

Menang Ingatkan Jamaah Haji Agar Tak Paksakan Diri Shalat Arba’in

Belajar Tawakkal dari Kisah Nabi: Keteguhan Hati dalam Ujian Hidup

Kemenag Buka Seleksi Masuk Universitas Al Azhar Kairo

Tawakkal dalam Perspektif Islam: Antara Ikhtiar dan Pasrah

Israel Alami Bencana Badai Pasir dan Kebakaran Besar

Kurang dari 12 Jam, PLN Sukses Pulihkan Listrik di Bali

Prioritaskan Pertahanan, Trump Bakal Pangkas Anggaran Pendidikan

Wamendikdasmen Fajar: Presiden Komitmen Pendidikan Jadi Sektor Utama

Mengasah Jiwa Tawakkal di Era Serba Instan: Tantangan dan Solusinya

Duh! Persib Tunda Pesta Juara Usai Dipecundangi Malut United

Kekuatan Spiritual di Balik Istirja’: Belajar Ikhlas dari Sunnah Nabi

Hardiknas 2025: Mendikdasmen Serukan Partisipasi Semesta untuk Pendidikan Nasional

Mengapa Umat Islam Mengucapkan Istirja’? Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis

Bocah Disabilitas Asal Malaysia Berhasil Jadi Hafiz Al Qur’an

Istirja’ dalam Islam: Respon Bijak Saat Musibah Menimpa

Berangkat Haji Tanpa Visa Resmi
