Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan nomor urut 2, menyoroti bahwa masih banyak kesalahpahaman terkait teknologi finansial (fintech) atau pinjaman online (pinjol). Mereka berencana untuk memprioritaskan aspek prudensial dan literasi keuangan, sesuai dengan apa yang diatur dalam peta jalan terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dradjad Wibowo, anggota Tim Ekonomi Prabowo-Gibran, mengungkapkan dalam “Dialog Arah Kebijakan Investasi dan Pasar Modal 2024-2029” di Jakarta, Senin (8/1/2024) yang dikutip oleh Investor Daily, “Peta jalan OJK banyak menekankan aspek pengetahuan atau keterampilan, tetapi aspek keyakinan masih belum memadai.”
Dia menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena masih ada banyak prasangka dan kesalahpahaman dari masyarakat. Selain itu, literasi dan inklusi keuangan juga masih belum cukup. “Pinjol tahu-tahu meledak, tidak keruan. Jadi, tidak cukup inklusi, tidak cukup literasi. Namun prudensial (keuangan) juga harus kita tekankan, terutama di kalangan masyarakat,” tegas dia.
Drajad menambahkan bahwa program inklusi yang sudah ada saat ini, seperti edukasi keuangan, fasilitas keuangan publik, dan pemetaan informasi harus diprioritaskan untuk penggunaan fintech yang benar oleh masyarakat.
“Fintech ini seperti pedang bermata dua, kalau tidak pandai-pandai kita mengajarkan masyarakat dan masyarakat tidak kita sadarkan, itu akan menjadi sumber masalah,” tuturnya.
Untuk itu, Drajad menyampaikan bahwa Prabowo-Gibran akan menyesuaikan peta jalan OJK dengan tingkat literasi dan inklusi yang ada saat ini.
Dia juga menekankan pentingnya fungsi intelijen di pasar modal dalam peta jalan OJK karena berkaitan dengan deteksi dini. “Di pemerintahan, fungsi intelijen ini tidak harus BIN (Badan Intelijen Negara), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), intel Kapolri. Maksudnya, fungsi intelijen yang di internal otoritas-otoritas keuangan,” kata dia.
Sementara itu, industri fintech peer to peer lending (p2p lending) memiliki kontribusi besar dalam mendorong target inklusi keuangan 95% pada tahun 2024. Sejak didirikan hingga September 2023, terdapat 843 juta transaksi penerima pinjaman dengan total nilai Rp 696,87 triliun. Selain itu, ada 121,95 juta akun rekening penerima pinjaman (borrowers) dan sekitar 1,1 juta akun rekening pemberi pinjaman (lenders).