Monitorday.com – Di era digital yang serba terbuka ini, kehidupan pribadi seseorang bisa dengan mudah menjadi konsumsi publik. Sayangnya, tanpa sadar banyak orang yang turut mengekspos aib atau kelemahan orang tua mereka di media sosial, baik dalam bentuk keluhan, curhatan, atau bahkan lelucon. Padahal, dalam Islam, menjaga kehormatan orang tua adalah bagian dari birrul walidain—berbakti kepada mereka, termasuk dalam menjaga nama baik dan martabat mereka di ruang digital.
Teknologi memang menawarkan banyak kemudahan. Kita bisa berbagi cerita, opini, dan pengalaman dalam hitungan detik kepada ribuan bahkan jutaan orang. Namun, kemudahan itu juga bisa menjadi pisau bermata dua. Satu kalimat yang kita unggah tentang kekesalan terhadap orang tua, misalnya, bisa membuka celah untuk orang lain merendahkan mereka. Hal ini bertentangan dengan adab Islam yang sangat menjunjung tinggi kehormatan orang tua, baik di depan maupun di belakang mereka.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
> “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana mungkin seseorang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab, “Ia mencela ayah orang lain, lalu orang itu mencela ayahnya; ia mencela ibu orang lain, lalu orang itu mencela ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjelaskan bahwa mencela orang tua, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah dosa besar. Apalagi jika dilakukan di media sosial yang dapat menyebarluaskan celaan tersebut dan membuka ruang bagi lebih banyak orang untuk ikut merendahkan martabat orang tua kita.
Selain itu, Islam juga mengajarkan bahwa aib seseorang, apalagi keluarga sendiri, bukan untuk diumbar. Dalam Surah An-Nur ayat 19, Allah memperingatkan:
> “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.”
Ayat ini menegaskan bahwa menyebarkan aib, meskipun itu benar adanya, adalah perbuatan yang dilarang dan akan mendapatkan balasan dari Allah. Maka, menyebarkan kekurangan orang tua di media sosial, meski niatnya hanya untuk curhat atau mencari simpati, bisa menjadi tindakan yang tercela dalam Islam.
Menjaga kehormatan orang tua juga berarti tidak menyalahkan mereka secara publik atas masa lalu atau kesalahan dalam mendidik. Banyak orang saat ini yang membongkar cerita kelam masa kecil mereka dan menyudutkan orang tua sebagai sumber luka batin. Meski pengalaman itu valid, namun mengekspresikannya dengan menyebut nama, sifat, atau cerita spesifik tentang orang tua tanpa izin bisa menjadi bentuk kedurhakaan yang halus.
Islam mengajarkan kita untuk menutupi aib sesama, terlebih orang tua. Jika kita memiliki luka atau trauma, ada banyak cara untuk menyembuhkannya tanpa harus membuka borok keluarga di ruang publik. Konsultasi kepada psikolog, berdiskusi dengan guru spiritual, atau menulis dalam catatan pribadi jauh lebih bijak daripada menjadikannya konsumsi netizen.
Selain menjaga dari sisi narasi negatif, menjaga kehormatan orang tua di era digital juga mencakup bagaimana kita menampilkan mereka. Mengunggah foto atau video orang tua yang sedang sakit, menangis, atau dalam kondisi lemah bisa jadi terlihat simpatik, tapi bisa juga menghilangkan sisi martabat mereka sebagai manusia yang pantas dihargai. Bahkan jika mereka sendiri tidak mempermasalahkannya, kita sebagai anak harus punya kepekaan untuk menjaga marwah mereka.
Sebaliknya, jika ingin menampilkan sosok orang tua di media sosial, lakukan dengan cara yang membanggakan. Unggah foto bersama mereka disertai ungkapan syukur, kenangan manis, atau doa. Jadikan media sosial sebagai sarana menyebarkan cinta dan inspirasi dari sosok orang tua, bukan tempat mempermalukan atau menyudutkan mereka.
Satu hal yang juga penting adalah menjaga nama baik orang tua di grup keluarga, komunitas online, atau forum-forum diskusi. Jangan pernah membicarakan keburukan orang tua, walau itu hanya kepada teman dekat. Bahkan jika sedang emosi, tahan lidah dan jari kita. Rasulullah SAW bersabda:
> “Barang siapa yang menutup aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim)
Menjaga kehormatan orang tua di era digital berarti juga mendidik generasi berikutnya untuk hormat kepada leluhurnya. Jika kita terbiasa menjelekkan orang tua secara publik, bisa jadi anak-anak kita akan meniru perilaku itu terhadap kita suatu saat nanti. Maka birrul walidain di zaman digital bukan hanya kewajiban, tetapi juga bentuk pendidikan yang diwariskan.
Kesimpulannya, kemajuan teknologi tidak boleh melunturkan adab kepada orang tua. Birrul walidain harus hadir dalam setiap ruang kehidupan, termasuk dunia maya. Mari jadikan media sosial sebagai sarana untuk memperkuat cinta, bukan menyebarkan cela. Orang tua adalah anugerah, bukan bahan konten. Hormati mereka, di dunia nyata maupun digital, karena dari ridha mereka, terbuka jalan menuju ridha Allah SWT.