Aditya Suryadinata, CEO Rianty Batik, mengungkapkan bahwa kehadiran platform e-commerce atau toko daring seperti Tokopedia dan TikTok Shop telah membawa dampak positif signifikan bagi penjualan produk batik.
Dalam sebuah workshop di Yogyakarta, Aditya menyatakan, “Penjualan kami bisa naik 25 persen lewat e-commerce.” Dia juga menambahkan bahwa melalui toko daring, produk batiknya kini berhasil merambah ke pasar global.
“Saat ini, penjualan daring menyumbang sekitar 20-25 persen dari total omzet, dengan omzet rata-rata di atas Rp 50 juta,” ujarnya. Meskipun demikian, mayoritas penjualan masih berasal dari penjualan offline di 13 cabang toko yang tersebar di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan Medan.
Aditya juga mencatat bahwa kontribusi penjualan daring telah mendorong penjualan produk batik printing hingga mencapai 70 persen dari total stok. Dia menjelaskan, “70 persen batik printing, 15 persen batik cap, dan 15 persen batik tulis. Hal ini karena persiapan untuk penjualan online. Batik cap hampir sama, tapi pasti ada perbedaan karena buatan tangan. Sedangkan batik tulis membutuhkan waktu yang lebih efisien karena setiap desain merupakan satu produk.”
Selain itu, Aditya mengakui bahwa keberadaan toko daring sangat membantu usahanya bertahan di tengah pandemi COVID-19. “Kami merasakan dampaknya, terutama pada sektor pariwisata di Yogyakarta. Namun, berkat penjualan online, kami bisa bertahan,” ujarnya.
Dalam upaya untuk menguatkan branding dan merek produknya, Aditya menjelaskan, “Untuk menciptakan fondasi yang kuat, branding yang kuat diperlukan. Kami juga harus menghasilkan produk yang unik dan mempertahankan kualitasnya.”
Aditya juga memberikan contoh kebijakan harga yang tetap stabil meskipun harga bahan baku seperti katun naik drastis sebelum pandemi. “Saat harga bahan katun naik hampir dua kali lipat sebelum pandemi karena kenaikan harga dolar AS, harga batik kami tetap stabil,” katanya.
Selain itu, Aditya juga menginisiasi pemanfaatan limbah batik untuk membuat aksesoris dengan bekerja sama dengan UMKM lokal. “Kami tidak membuang sisa-sisa bahan produksi, melainkan mengumpulkannya dan bekerja sama dengan UMKM lokal untuk membuat pernak-pernik,” jelasnya.
Aditya juga menjelaskan bahwa kerjasama dengan pembatik dari berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Solo, Boyolali, dan daerah lainnya, menjadi salah satu strategi untuk menciptakan desain dan produk batik yang beragam dan menarik.