News
Prof Rokhmin Paparkan Strategi Wujudkan Indonesia Emas 2045
Published
6 months agoon
By
Natsir AmirMonitorday.com – Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Prof Rokhmin Dahuri menghadiri Dies Natalis ke-65 Universitas Tanjungpura (UNTAN) Pontianak Kalimantan Barat dengan tema “ Menuju Masa Depan Berkelanjutan: Aksi Transisi ke Ekonomi Hijau”, Jum’at, 17 Mei 2024.
Mengawali sambutannya, Prof Rokhmin mengapresiasi UNTAN di Bawah nahkoda Rektor Prof. Dr. Garuda Wiko, S.H., M.Si, yang sedang mempersiapkan UNTAN sebagai Universitas Riset dan Pelayanan Bermutu Menuju Peningkatan Daya Saing.
Berbicara daya saing, Prof Rokhmi berpandangan bahwasanya Indonesia memiliki potensi pembangunan yang besar dan lengkap untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera dan berdaulat.
Yaitu: Pertama, jumlah penduduk negara ini ke-4 terbesar di dunia, yakni 278 Juta orang. Kedua. Kekayaan SDA & JASLING. Ketiga, Posisi Geoekonomi & Geopolitik sangat Strategis.
“Tapi sayangnya, modal dasar yang besar itu, ternyata sudah 79 tahun merdeka pencapaiannya sangat menyedihkan,” ujar Prof. Rokhmin.
Dalam paparannya, Prof. Rokhmin Dahuri mengangkat tema “Pembangunan Berbasis Inovasi Ramah Lingkungan Dan Berkelanjutan Untuk Mewujudkan Indonesia Emas 2045″
Hal itu, tegasnya, karena belum ada Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) yang komprehensif dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan, kualitas SDM relatif rendah, dan defisit kepemimpinan (nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan desa). “Maka, sudah 77 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai ‘lower-middle income country’, belum sebagai negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Cita-Cita Kemerdekaan – RI),” ujarnya.
Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal dibandingkan sejumlah bangsa lain. “Penyebab ketertinggalan Indonesia itu ada fakrtor internal, ada pula faktor eksternal,” katanya.
Faktor internal tersebut, jelasnya, yaitu belum ada road map pembangunan nasional yang komprehensif, tepat, dan benar yang dilaksanakan secara berkesinambungan; kualitas SDM (pengetahuan, keterampilan, keahlian, kapasitas inovasi, dan etos kerja) dan kapasitas Iptek masih rendah; serta khlak belum baik (susah kerja sama, tidak amanah, dan hedonis). “Selain itu, negara kita defisit pemimpin yang capable, negarawan, dengan Imtaq kokoh,” kata Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat 2022 – 2026 itu.
Adapun faktor eksternal, kata dia, antara lain keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara ekonomi negara berkembang. “Juga, disrupsi akibat kemajuan Iptek yang sangat pesat (industri 4.0), perubahan iklim global, pandemi Covid-19, dan pertarungan ideologi,” paparnya. Prof Rokhmin menyayangkan, hampir semua indikator yang terkait dengan kapasitas Iptek, riset, inovasi, dan kualitas SDM bangsa Indonesia masih rendah (tertinggal).
“Implikasi dari rendahnya kualitas SDM, kapasitas riset, kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship adalah proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1 persen. Selebihnya, 91,9 persen berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah. Sementara, Singapura mencapai 90 persen, Malaysia 52 persen, Vietnam 40 peren, dan Thailand 24 persen,” urainya mengutip data UNCTAD dan UNDP, 2021.
Selain itu, sambungnya, nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D serta daya saing rendah (jago kandang). “Keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara politik-ekonomi negara berkembang Disrupsi akibat kemajuan IPTEK yang sangat pesat dan Pandemi Pertarungan ideologi,” sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.
Dalam kesempatan itu, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan, Indonesia memiliki empat modal dasar pembangunan Indonesia. Yakni: Dengan jumlah penduduk 278 juta orang dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah dan dapat bonus demografdi dari 2020 – 2040, merupakan potensi daya saing dan pasar domestik yang luar biasa besar.
Lalu, melalui kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut. Dijelaskan bahwa posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk dengan nilai 15 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulaun Indonesia) (UNCTAD, 2012). Selat Malaka (ALKI-1) merupakan jalur transportasi laut terpadat di dunia, 200 kapal/hari.
Kemudian, rawan bencana alam (70% gunung berapi dunia, tsunami, dan hidrometri). “Mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa,” terangnya. Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas
Lalu, Prof Rokhmin memaparkan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).
Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS yakni pengeluaran Rp 470.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.
Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2019 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk). “Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia,” terang Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.
Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Oxfam.
Bahkan, lanjutnya, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).
Dalam hal ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), terangnya, Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara. Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfam International, 2021).
Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Institute for Global Justice menyebutkan, sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” ungkapnya.
Tak kalah rumitnya, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan bangsa lainnya adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).
Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan (deficit) air yang semakin parah. Dalam pada itu, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah, tidak dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing. Implikasi lainnya adalah biaya logistik Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 24% PDB (UNCTAD, 2021).
Ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing ekonomi Indonesia. Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur).
Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI (Gross National Income) per kapitanya belum mencapai 12.536 dolar AS (status negara makmur). “Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%. Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita,” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu..
Sementara, sambungnya. pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi PDRB Menurut Pulau, Triwulan III dan IV-2022, masih di dominasi oleh kelompok Provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB TW-3 sebesar 56,3% dan TW-4 sebesar 56,48%
Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI (Gross National Income) per kapitanya belum mencapai 12.536 dolar AS (status negara makmur).
“Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” tandasnya.
Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation).
Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, menurut UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.
Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022).
Masalah lainnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, kekurangan rumah yang sehat dan layak huni dari 45 Juta rumah tangga masih 61,7 % rumah tidak layak huni. Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945. “Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN,” katanya.
Hingga 2022, terangnya, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.
Sementara, penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan Pada 2022, Indonesia berada pada urutan ke-51 dari 63 negara.
World Digital Competitiveness, jelasnya, adalah penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan.
Hingga 2019, Global Entrepreneurship Index Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN. Jumlah wirausahawan di indonesia 3,1 persen. Sementara, Singaoura 8 persen, Malaysia 5 persen, Thailand 4 persen. Standar Bank Dunia, jumlah pengusaha minimal 7% dari jumlah pendudukStandar Bank Dunia, jumlah pengusaha minimal 7% dari jumlah penduduk. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.
Implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah. Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%.(UNCTAD dan UNDP, 2021).
Secara ekonomi, sambungnya, Indonesia Emas 2045 akan terwujud, bila kita mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata > 7% per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable).
“Pertumbuhan ekonomi dengan lima sifat (ciri) diatas (butir-3) hanya dapat diwujudkan melalui implementasi Ekonomi Hijau, Ekonomi Digital, dan Ekonomi Spiritual (Pancasila),” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.
Peta Jalan Pembangunan Menuju Indonesia Emas 2045
Persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat: Pertama, Pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, Investasi + Ekspor > Konsumsi + Impor. Ketiga, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif). Keempat, Ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan kebijakan dan program transformasi struktural ekonomi. Yakni:
- Dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) secara proporsional yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
- Dari dominasi impor dan konsumsi ke dominasi investasi, produksi dan ekspor.
- Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, bernilai tambah (hilirisasi), berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
- Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya.
Pengembangan industri manufakturing baru: mobil listrik, Energi Baru Terbarukan (matahari, angin, panas bumi, biofuel, kelautan, dan hidrogen), Semikonduktor, Chips, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Ekonomi Kelautan, Ekonomi Kreatif, dan lainnya.
“Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 5) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0),” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.
Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya.
Pengembangan industri manufakturing baru: mobil listrik, Energi Baru Terbarukan (matahari, angin, panas bumi, biofuel, kelautan, dan hidrogen), Semikonduktor, Chips, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Ekonomi Kelautan, Ekonomi Kreatif, dan lainnya.
“Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 5) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0),” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.
Ekonomi kelautan didefinisikan Prof. Rokhmin Dahuri sebagai kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, serta kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.
Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan domain, potensi dan tingkat pemanfaatan ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia. Ia menyebutkan, total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini.
Sektor kelautan dan perikanan Indonesia mampu menyediakan lapangan kerja untuk 45 juta orang atau 30 persen total angkatan kerja Indonesia.
“Namun, pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 20%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia),, kontribusinya lebih besar dari 30 persen,” jelas Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.