Monitorday.com – Direktur Eksekutif Indo Barometer, sekaligus Ketua Umum Gerakan Sekali Putaran (GSP) M. Qodari mendorong agar pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dapat dilakukan satu putaran untuk kemenangan pasangan calon nomor urut 2 Prabowo-Gibran.
“Paslon Prabowo-Gibran menjadi kandidat dengan dukungan suara tertinggi, mencapai 45 persen menurut beberapa lembaga survei pada awal Desember 2023. Hanya diperlukan tambahan suara sekitar 6-7 persen agar tercapai kondisi pilpres sekali putaran pada 14 Februari 2024,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (18/12).
Dia menjelaskan ada tiga argumentasi yang mendasari gerakan satu putaran, yakni efisiensi waktu, efektivitas biaya, dan potensi keamanan politik.
Menurut dia, Pilpres sekali putaran hemat waktu, karena presiden dan wakil presiden terpilih sudah diketahui pada Februari 2024 dan tidak perlu menunggu sampai dengan Juni 2024.
“Dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden baru maka para pengambil keputusan dan pelaku ekonomi sudah memiliki kepastian politik dari Februari 2024. Semua rencana kegiatan dan investasi ekonomi misalnya dapat segera diputuskan dan dilaksanakan,” jelasnya.
Qodari mengatakan, Pilpres sekali putaran juga dapat menghemat biaya dari anggaran negara. Sebab, jika putaran kedua diselenggarakan, diperlukan anggaran tambahan sekitar Rp17 triliun.
“Dengan menyelesaikan pemilihan dalam sekali putaran, anggaran ini dapat dikembalikan ke kas negara, dapat digunakan untuk kepentingan rakyat, atau dialokasikan untuk program pemerintah lainnya seperti subsidi pupuk, subsidi rumah, subsidi transisi energi hijau, dan bantuan pangan dan tunai yang bersifat ad hoc, atau dialokasikan untuk APBN tahun berikutnya,” jelasnya.
Selain itu, Pilpres sekali putaran akan lebih damai dibandingkan dengan dua putaran, sebab potensi polarisasi ekstrem seperti yang terjadi di Pilpres 2014, 2019 dan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dapat dihindari.
“Namun kondisi akan berubah cepat pada putaran kedua, karena akan tercipta kondisi head to head, zero sum game di antara dua kandidat tersisa. Isu-isu primordial seperti ras dan agama, akan muncul dan menimbulkan ketegangan, yang bahkan mungkin lebih buruk dibanding pilpres 2014 dan 2019,” jelasnya.