News
Atensi Jokowi Untuk Anggaran Kesehatan 2024
Published
1 year agoon
By
N Ayu AshariKesehatan masih menjadi prioritas dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2024. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa pemerintah merencanakan anggaran kesehatan sebesar Rp 186,4 triliun atau ekuivalen dengan 5,6%.
Sebagai catatan, pada periode tahun 2019-2022, realisasi anggaran fungsi kesehatan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 20,6%, yaitu dari Rp71.006,9 miliar pada tahun 2019 menjadi Rp124.469,6 miliar pada tahun 2022.
Sebagaimana terlihat pada grafik, anggaran fungsi kesehatan tersebut mengalami pertumbuhan yang signifikan utamanya dipengaruhi oleh tambahan belanja pada tahun 2020-2022 untuk penanganan pandemi Covid-19, antara lain untuk pembayaran biaya perawatan pasien, insentif tenaga kesehatan, pengadaan alkes, serta pengadaan dan pelaksaaan vaksinasi Covid-19.
Selain itu, pertumbuhan tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah untuk menjaga keberlanjutan Program JKN.
Pandemi Covid-19 telah usai. Outlook anggaran fungsi kesehatan tahun 2023 mencapai Rp 92.723,5 miliar atau menurun 25,5% dibandingkan realisasi tahun 2022. Adapun pada tahun 2023, seiring dengan semakin terkendalinya pandemi Covid-19 hingga dicabutnya status pendemi pada bulan Juni 2023, proyeksi realisasi penanganan Covid-19 tidak sebesar tahun sebelumnya.
Namun demikian, Pemerintah tetap mengantisipasi risiko kesehatan lainnya.
Kebijakan anggaran fungsi kesehatan pada tahun 2024 diarahkan untuk akselerasi penurunan stunting dan melanjutkan transformasi sistem kesehatan.
Penurunan Stunting Jadi PR Berat Jokowi di Tahun Terakhir
Beberapa indikator RPJMN berisiko tidak tercapai di 2024, salah satunya adalah penanganan stunting hingga tingkat merokok pada anak. Jika kita menilik data 2022, prevalensi stunting di Indonesia baru mencapai 21,6%, sementara pemerintah menargetkan kasus stunting pada 2024 diharapkan mencapai 14%.
Untuk mencapai target angka stunting di Indonesia di tahun depan dengan persentase 14%, artinya angka stunting harus turun 3,8% per tahun mulai tahun ini. Dan hal ini sulit untuk dilakukan.
Sulitnya penurunan stunting ini sejalan dengan masih banyaknya bayi-bayi di Indonesia yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap bayi.
Adapun upaya penurunan stunting pada RKP Tahun 2024, pemerintah akan melakukan beberapa strategi. Diantaranya pendampingan keluarga oleh Tim Pendamping Keluarga (TPK) di desa, perluasan cakupan penyediaan makanan tambahan ibu hamil kurang energi kronis (PMT Bumil KEK) dan balita kurus.
Dalam menurunkan stunting di tahun 2024, pemerintah juga akan melakukan perluasan cakupan imunisasi dasar lengkap dan penguatan kualitas data surveilans, mulai dari unit pelayanan kesehatan terkecil (posyandu).
Ironisnya, di tengah sulitnya menurunkan angka stunting ini kabar tak sedap beberapa waktu lalu menghampiri stakeholdernya. Bukan tanpa alasan, saat itu Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengaku selama ini anggaran untuk penanganan kemiskinan ekstrem dan stunting sudah sangat besar. Khusus stunting misalnya, pada 2022 telah dialokasikan sebesar Rp44,8 triliun, terdiri dari alokasi yang masukkan ke anggaran Kementerian atau Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Untuk anggaran yang tersebar di 17 Kementerian dan Lembaga sebesar Rp34,1 triliun dan Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp8,9 triliun serta DAK Nonfisik sebesar Rp1,8 triliun. Dari total alokasi anggaran itu, ia mengatakan saat dibedah, lebih detail di APBD malah sebagian besar untuk rapat dan perjalanan dinas.
Faktanya, Lumbung Padi Tak Selalu Jadi ‘Obat’ Turunkan Stunting
Lumbung pangan kerap dinilai efektif untuk mengatasi persoalan stunting di Tanah Air. Tapi nyatanya tak selalu begitu, kita lihat saja wilayah Sumatera masih mendominasi jajaran atas pada daftar prevelensi balita stunting di Indonesia berdasarkan Provinsi.
Sebelumnya, Lumbung pangan memang mendesak untuk dibangun di setiap suku di desa-desa dalam rangka mengatasi kasus stuntungatau tengkes di wilayah itu.
Dana desa yang selama ini dimanfaatkan untuk mengatasi pandemi Covid-19 di desa dapat dialihkan untuk membangun lumbung pangan suku tersebut.Namun ternyata tak selalu berhasil.
Miris sekali! Padahal Pulau Sumatera merupakan salah satu pusat lumbung padi di Indonesia bagian barat. Tapi faktanya kondisi ini tak menjamin penduduk di pulau ini mencatatkan kecukupan asupan gizi yang berkualitas terutama pada balita.
Kalau kita melihat hasil Survesy Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2022 mencatatkan ada 3 provinsi di Sumatera yang patut menjadi perhatian karena berada di atas rata-rata angka nasional yakni 21,6%.
Ketiga provinsi tersebut adalah Provinsi Aceh dengan prevelensi stunting sebesar 31,2%, Provinsi Sumatera Barat di mana angkanya masih tinggi yakni 25,2% dan Sumatera Utara yang berada di 21,1% di bawah rata-rata nasional tapi mendekati.
Dengan angka tersebut artinya, Dari 10 bayi di bawang lima tahun (balita) di wilayah itu 2-3 bayi memiliki status gizi yang rendah. Lantas, mengapa kekurangan gizi bisa terjadi di wilayah yang kaya bahan makanan bergizi?
Baca:Perbandingan Kenaikan Gaji PNS Era Jokowi VS SBY, Jauh Banget
Kekurangan gizi di Sumatera ini lantas memang terdengar memalukan dan begitu mengiris hati karena sebagian besar wilayah ini terkenal dengan lumbung padi. Sumatera barat contohnya. Provinsi ini terkenal dengan sentra produksi beras yan terkenal dan masuk sebagai kualitas unggulan.
SemboyanKabupaten Soloksebagai daerah lumbung beras ternama memang tak terbantahkan. Solok menjadi penghasil hortikultura terbesar di Sumatera Barat (Sumbar). Juga sebagai pemasok beras terbesar hingga ke beberapa Provinsi di pulau Sumatera. Tapi untuk Solok Selatan justru angka stuntingnya mencapai 31,7%.
Bukan hanya Solok, Daerah Pasaman Barat juga ditetapkan pemerintah menjadi salah satu daerah pengembangan kawasan lumbungan pangan (food estate). Namun, faktanya angka prevelensi stunting di wilayah ini mencapai 35,5%. Sangat tinggi sekali.
Beralih ke wilayah Sumatera bagian paling ujung. Ya, Provinsi Aceh di wilayah Kabupaten Gayo Luwes terkenal dengan komoditi beras pylen terpusat di kawasan aliran sungai Aih Tripe. Maka, persoalan akses beras maupuun karbohidrat lain seperti kentang dan ubi bukan menjadi suatu masalah di wilayah ini.
Baca:Pidato Presiden Gaji PNS Naik, Jokowi Bikin ASN Happy
Tapi masih saja, tahun 2022 Provinsi Aceh menjadi pemimpin di wilayah sumatera dengan angka prevelensi stunting tertinggi, yakni mencapai 31,2%.
Memang, selain karbohidrat, protein sebagai sumber pembangun tubuh juga penting diperhatikan. Dia juga memiliki peran penting dalam pencegahan stuntung. Hal ini juga diperkuat dengan riset yang dilakukan Universitas Indonesia (UI) yang mencatat bahwa sekitar 30% anak stunting memiliki riwayat asupan protein di bawah kebutuhan harian tubuhnya.
Riset tersebut juga menjelaskan, konsumsi protein pada anak berkorelasi positif terhadap pertumbuhan tinggi badan serta kecerdasan anak.
Kalau kita lihat kasus Di Sumatera Barat, ikan laut seperti Tuna, Cakalang, Tongkol, Teri menjadi idola masyarakat setelag telur ayam ras. Sisanya tidak lebih dari 5% berasal dari daging, telur, dan susu. Inilah yang menjadi permasalahannya.
Berdasarkan potensi wilayahnya, Sumatera memang bukan pesisir pantai sehingga butuh waktu beberapa jam mengirimkan ikan laut dari pesisir pantai ke wilayah pedesaan. Bukan tidak mungkin juga, ikan datang dalam kondisi yang kurang segar dan harganya kemungkinan cenderung mahal.
Sebagai contoh dari telusuran Tim Riset, bahwa harga ikan air tawar hampir setengah dari harga ikan air laut pada Januari 2023. Karena harganya cenderung relatif mahal makan pemerintah penting juga memikirkan bagaimana memenuhi gizi protein salah satunya dari ikan.
Misalnya ada beberapa potensi ikan air tawar seperti ikan lele, ikan mas, patin, gabus yang bisa dilirik untuk dikembangkan terutama menjadi campuran pangan pada balita.
Disamping itu memang, pengertian, pelatihan untuk memberikan pemahaman terhadap gizi makanan juga harus rutin dilakukan sehingga membentuk kesadaran masyarakat.
Salah satu tantangan berat pemerintah yakni masalah dan tantangan kita dalam penangan stunting ini diantaranya adalah minimnya pengetahuan masyarakat terkait stunting, sehingga menimbulkan kesalahan pemahaman dalam penanganan dan pencegahan stunting. Sebagian masyarakat menganggap tidak penting asupan gizi seimbang dan bernutrisi cukup bagi anak, ibu hamil atau ibu menyusui.
Selain itu, kita bisa mengacu juga pada penelitian UNICEF Indonesia pada 2016, di mana riset tersebut mengungkapkan stuntung di Tanah Air ini dipicu oleh peran higienis, sanitasi, serta akses terhadap air bersih.
Riset tersebut juga mengungkap bahwa peta peneilitian membukikan 40% rumah tangga di Sumatera Barat dan Aceh tidak memiliki sanitasi yang memadai. Artinya, dalam hal akses air bersih, sanitasi dan higienis ini dapat berpengaruh pada infeksi yang berkepanjangan pada anak.
Selain itu, kondisi ini juga dinilai akan menyebabkan berbagai penyakit lain seperti diare atau bahkan penyebab jenis penyakit serta infeksi lainnya.
Dari sini pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bersinergi memberikan solusi dari masalah yang sudah dihadapkan. Karena perlu diketahui, menurunkan angka stunting di wilayah di Tanah Air ini tidak bisa diseragamkan, sebab setiap wilayah memiliki potensi dan kekurangan masing-masing.
Pemerintah perlu menggerakan lagi peran pendekatan komunitas di desa-desa serta menurunkan ahli gizi setidaknya 1 di setiap kecamatan untuk memberikan kepada ratusan kepala keluarga.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com