Monitorday.com – Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak terpengaruh oleh agenda global saat membuat regulasi tentang industri hasil tembakau (IHT), mengingat sektor ini memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Meskipun Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang diperingati setiap 31 Mei penting untuk kesehatan, Hikmahanto menekankan bahwa dampaknya terhadap ekonomi juga perlu dipertimbangkan jika tujuannya adalah menghentikan produksi tembakau.
“Pengambil kebijakan harus memahami tujuan mulia di balik HTTS, tetapi jangan sampai mematikan industri tembakau di Indonesia di tengah tingginya konsumsi rokok oleh masyarakat,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (1/6).
Hikmahanto menjelaskan bahwa hasil tembakau di Indonesia tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan, tetapi juga sektor ekonomi, sosial, dan budaya.
Jika produksi tembakau dihentikan, Indonesia bisa bergantung pada tembakau impor, padahal memiliki sumber daya tembakau yang melimpah dan banyak perokok aktif.
Ia juga menekankan bahwa IHT di Indonesia sudah menjadi warisan turun-temurun, sehingga masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tembakau. Pemerintah Indonesia, menurutnya, memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur IHT.
“Jika konsumsi rokok di Indonesia masih tinggi dan industri tembakau dimatikan, banyak pekerja akan kehilangan pekerjaan dan negara akan kehilangan pendapatan, yang justru bisa diraup oleh industri tembakau luar negeri, baik legal maupun ilegal,” kata Hikmahanto.
Sebelumnya, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) melaporkan bahwa ada 446 regulasi yang mengatur IHT, dengan 400 regulasi (89,68 persen) berbentuk kontrol atau pengendalian, 41 regulasi (9,19 persen) tentang Cukai Hasil Tembakau (CHT), dan hanya lima regulasi (1,12 persen) yang mengatur isu ekonomi dan kesejahteraan.
GAPPRI juga berharap regulasi penjualan rokok konvensional dan rokok elektrik dapat diperinci lebih jauh karena kedua jenis rokok tersebut memiliki ekosistem yang berbeda.
Rokok konvensional mayoritas menggunakan bahan baku dalam negeri sesuai dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
GAPPRI mengungkapkan bahwa penerimaan dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2023 tidak memenuhi target, hanya mencapai Rp213,48 triliun atau 91,78 persen dari target APBN.