News
Di Forum Kopi A1, Prof Rokhmin Bahas Strategi Pembangunan Ekonomi Biru Menuju Indonesia Emas 2045
Published
3 months agoon
By
Natsir AmirMonitorday.com – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MSc menyampaikan tugas dan fungsi Kementeraian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat menjadi narasumber pada acara Forum Kopi A1 “Ekologi Dan Ekonomi Biru, Apa Pentingnya?” secara daring pada Rabu, 21 Agustus 2024,
Antara lain: Pertama, mengatasi Permasalahan Internal Sektor KP: Kemiskinan nelayan, kontribusi sektor KP bagi PDB rendah (2,85%), pembangunan perikanan budidaya dan industri pengolahan perikanan serta industri bioteknologi perairan masih rendah, overfishing dan underfishing, IUU fishing, destructive fishing, kerusakan ekosistem pesisir, dll.
“Kedua , membantu memecahkan permasalahan dan tantangan bangsa: PHK, pengangguran, kemiskinan, gizi buruk, stunting, IPM dan daya saing rendah, pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5 persen per tahun dalam dekade terakhir, global warming, ketegangan geopolitik, dan perlambatan ekonomi global. Serta mendayagunakan potensi pembangunan KP untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri mengangkat tema “Strategi Pembangunan Ekonomi Biru Menuju Indonesia Emas 2045”.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen. Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen. Dampak dari pandemi Covid-19, pada 2022 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 9,6% atau sekitar 26,4 juta orang.
Namun, bila PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 274 juta orang, maka per Maret 2021 GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita. “Artinya, hingga saat ini (sudah 76 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country). Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI perkapita diatas 12.695 dolar AS, yang merupakan Cita-Cita Kemerdekaan NKRI 1945,” terangnya.
“Menurut World Bank, ukuran ekonomi atau PDB Indonesia saat ini mencapai 1,1 triliun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia. Dari 200 negara anggota PBB, hanya 18 negara dengan PDB US$ lebih 1 triliun,” jelas Anggota Dewan Pakar MN-KAHMI itu.
Selanjutnya, Prof Rokhmin Dahuri menerangkan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).
Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2024), yakni pengeluaran Rp 582.932/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya (pangan dan non-pangan) dalam sebulan.
Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (3,2 dolar AS/orang/hari atau 96 dolar AS/orang/bulan (Rp 1.440.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2023 sebesar 111 juta jiwa (37% total penduduk).
Tak kalah rumitnya, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan bangsa lainnya adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).
Pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDRB menurut pulau, 2023 dan 2024 TW I masih di dominasi oleh kelompok provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB 2023 sebesar 57,05% dan 2024 TW I sebesar 57,70%.
Disisi lain, sambungnya, deindustrilisasi terjadi di suatu negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536. “Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN,” kata Prof. Rokhmin Dahuri yang juga Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.
Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terang Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.
Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.
“Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebutnya.
Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020).
Tak heran, bila kapasitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) bangsa Indonesia hingga kini baru berada pada kelas-3 (lebih dari 75 % kebutuhan teknologinya berasal dari impor). Sementara menurut Unesco suatu bangsa dinobatkan sebagai bangsa maju, bila kapasitas Iptek-nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75 % kebutuhan Iptek-nya merupakan hasil karya bangsa sendiri.
“Menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%). Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%),” ujarnya.
Maka, kata Prof. Rokhmin Dahuri, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). “Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut,” kata Prof Rokhmin Dahuri mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022.
Kemudian, kata Prof Rokhmin Dahuri, soal daya saing kita parah. Dari rata- rata IQ warga Negara ASEAN, IQ kita hanya di ranking ke 136. “Daya literasi kita terburuk ke 2 di dunia, stunting, gizi buruk. Jadi, negara ini sakit sebenarnya,” tandasnya.
Hasil survei Program International for Student Assessment (PISA) 2022, yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains pelajar kelas 3 SLTP seluruh dunia, mengungkapkan, pada 2018 dari 78 negara yang disurvei, peringkat 1-10 ditempati negara non-Muslim. “Sedangkan Indonesia peringkat ke-69 dari 81 negara,” katanya.
TFP (Total Productivity Factor) Indonesia menurun 50% sejak 2010, jauh di bawah negara-negara ASEAN (World Bank, 2023). Hingga 2022, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.
Implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi bangsa Indonesia hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah. Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24% (UNCTAD dan UNDP, 2021).
Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan Blue Economy sebagai game changer dalam mengatasi permasalahan bangsa dan mewujudkan Indonesia Emas 2045, yaitu: 1. Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia, dan 77% wilayahnya berupa laut. Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi Blue Economy berupa SDA terbarukan, SDA tidak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat besar, sekitar US$ 1,4 trilyun per tahun (1,2 kali PDB Indonesia saat ini), dan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sedikitnya 45 juta orang (30% total angkatan kerja). Hingga kini, Indonesia baru memanfaatkan sekitar 35% total potensi Blue Economy nya.
Blue Economy dapat membangkitkan investasi dan bisnis yang lucrative (menguntungkan); dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (lebih 7% per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif, dan berkelanjutan Mengatasi pengangguran dan kemiskinan; ketimpangan ekonomi; dan memperkuat kedaulatan pangan, energi, farmasi, dan mineral.
Sebagian besar kegiatan Blue Economy berlangsung di wilayah perdesaan, pesisir, pulau kecil, laut, dan luar Jawa. Mengurangi disparitas pembangunan dan kemakmuran antar wilayah.
Secara geoekonomi dan geopolitik, letak Indonesia sangat strategis, dimana sekitar 45% total barang (berbagai komoditas dan produk) yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekonomi rata-rata US$ 15 trilyun per tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2016).
ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari Samudera Pasifik ke S. Hindia berfungsi sebagai ‘nutrient trap’ (perangkap unsur-unsur hara) Sehingga, perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi, dan potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12 juta ton/tahun (13,3% total MSY ikan laut dunia) (Dahuri, 2004; KKP, 2021; dan FAO, 2022).
Sebagai bagian utama dari ‘the World Ocean Conveyor Belt’ (Aliran Arus Laut Dunia) dan terletak di Khatulistiwa, Indonesia secara klimatologis merupakan pusat pengatur iklim global, termasuk dinamika El-Nino dan La-Nina (NOAA, 1998).
Kondisi oseanografi, geomorfologi, dan klimatologi NKRI menjadikan Indonesia sebagai pusatnya energi kelautan dunia yang terbarukan (renewable), seperti arus laut, pasang surut, gelombang, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang potensinya mencapai 10.000 megawatts, dan sampai sekarang baru dimanfaatkan kurang dari 5%.
SDA dan ruang pembangunan di daratan semakin menipis atau sulit untuk dikembangkan. Padahal, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan daya belinya, permintaan akan SDA, ruang pembangunan, dan jasa-jasa lingkungan bakal semakin berlipat ganda Laut sebagai ‘development space’: kota, pemukiman, dan kegiatan ekonomi.
Suatu negara-bangsa akan lulus dari jebakan negara-mengah menjadi maju, makmur, dan berdaulat, bila ia mampu mengembangkan keunggulan kompetitif berdasarkan pada keunggulan komparatif nya (Porter, 2013). Bagi Indonesia, keunggulan komparatif utamanya adalah geokonomi, SDA, dan jasa-jasa lingkungan kelautan.
Sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Emporium Inggris, Amerika Serikat, dan akhir-akhir ini China adalah karena ketiga negara adidaya tersebut menguasai lautan, baik secara ekonomi maupun hankam. Maka, tepat yang dinubuatkan ahli strategi pertahanan dunia, AT. Mahan (1890), ‘who rules the waves, rules the world’. “ Siapa yang menguasai lautan, dia akan menguasai dunia,” ujar Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat itu.
Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru
Sejak pertengahan 1980-an, ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respons untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) dimana pembangunan ekonomi pada sisi lain justru melahirkan fakta bahwa 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global.
Ekonomi Hijau didefinisikan sebagai ekonomi rendah karbon, hemat sumber daya, dan inklusif secara sosial yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi (UNEP, 2011). Dan Ekonomi Biru merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). Sederhananya, Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan” (Uni Eropa, 2019).
Ekonomi Biru adalah pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan manusia, dan sekaligus menjaga kesehatan dan keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut (Bank Dunia, 2016). Ekonomi Biru adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor ekonomi yang mapan dan sektor yang sedang berkembang (EC, 2020).
“Ekonomi Biru juga mencakup manfaat ekonomi pesisir dan laut yang mungkin tidak dinilai dengan uang, seperti Perlindungan Pesisir, Keanekaragaman Hayati, Asimilator Sampah, Penyerap Karbon, dan Pengatur Iklim,” kata Duta Besar Kehormatan Jeju Islan dan Busan Metropolitan City Korea Selatan itu mengutip Conservation International, 2010.
Prof Rokhmin Dahuri juga menyebut, Ekonomi Biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik hijau; (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif; (3) dan pengaturan kelembagaan yang proaktif untuk memenuhi tujuan ganda yaitu melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan kontribusi potensialnya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi (UNEP, 2012; PEMSEA, 2016)
“Ekonomi Biru adalah kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di daratan (wilayah daratan atas) yang menggunakan sumber daya alam dari pantai dan lautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh umat manusia secara berkelanjutan,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip pendapatnya sendiri.
Prof Rokhmin Dahuri mengungkapkan, potensi Blue Economy Indonesia sangat besar. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2024 (Rp 3.400 triliun = US$ 212,5 miliar) atau 1,2 PDB Nasional saat ini. “Blue Economy Indonesia bisa menyediakan lapangan kerja untuk 45 juta orang atau 40 persen total angkatan kerja Indonesia,” tuturnya.
Namun, potensi yang amat besar itu belum dimaksimalkan. Sebagai contoh, kata Prof Rokhmin Dahuri, pada tahun 2018, kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 14% (Kemenko Marves, 2018). “Negara lain yang potensi kelautannya lebih sedikit (seperti Thailand, Korea Selatan, Jepang, Maladewa, Norwegia, dan Islandia), memberikan kontribusi lebih 30 persen,” papar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.
Sayangnya, penerapan blue economy di Indonesia yang masih belum optimal padahal memiliki potensi yang sangat besar untuk pembangunan bangsa. Prof. Rokhmin Dahuri memperkirakan ada sejumlah hal yang mendasarinya. Salah satunya adalah masyarakat Indonesia yang enggan keluar dari zona nyaman. “Orang Indonesia senang di zona nyaman. Nyaman dengan budi daya konvensional lalu tidak ada pengembangan,” ujarnya.
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu menjabarkan, Selat Malaka (ALKI I) merupakan jalur transportasi laut yang menghubungkan raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika (di belahan Barat) dengan China, Korea Selatan, dan Jepang (di belahan Timur).
ALKI-1 melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur. Jumlah kapal yang melintas mencapai 100.000 kapal/tahun.
Terusan Suez (18.800 kapal/tahun) dan Terusan Panama (10.000 kapal/ tahun) (Calamur, 2017). Pendapatan Otoritas Terusan Suez rata-rata Rp 220 milyar/hari (Rp 80,7 trilyun/tahun).
“Malangnya, sampai sekarang, Indonesia belum menikmati keuntungan ekonomi secuil pun dari fungsi laut NKRI sebagai jalur transportasi utama global,” tandasnya.
Keanekaragaman hayati laut Indonesia, jelsnya, terbesar di Dunia (Koridor Laut Terbesar) – mengangkut 20 juta m3 air per detik dalam arus lintas Indonesia dari Pasifik ke Samudra Hindia – dengan pertemuan berikutnya dari kehidupan laut migrasi besar di semua jalur terbatas (Alor, Komodo, Banda, dll).
Secara intrisik, geosaintifik Indonesia sangat menarik, Arus abadi sebagai bagian dari Global Conveyor Belt; Sumber energi terbarukan; Bebas Emisi Karbon; Aliran arus menciptakan habitat bagi 50% spesies ikan dunia, dan 75% terumbu dunia berkumpul di Indonesia.
“Jika Potensi Blue Economy didayagunakan dan dikelola berbasis inovasi IPTEKS dan manajemen profesional, maka sektor-sektor ekonomi kelautan diyakini akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi segenap permasalahan bangsa, dan mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia serta Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” terangnya.
Adapun permasalahan dan tantangan pembangunan Blue Economy Indonesia, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, antara lain: 1. nelayan dan pelaku usaha kelautan miskin, kontribusi bagi perekonomian rendah. Semua sektor kelautan (kecuali ESDM) dilakukan secara tradisional dan berskala Kecil dan Mikro, tingkat pemanfaatan SD, produktivitas, dan efisiensi usaha (bisnis) umumnya rendah
investasi & bisnis kelautan yang besar, modern, dan menguntungkan, umumnya minim nasionalismenya. Sebagian besar profit nya dibawa ke Jakarta atau negara asalnya (regional leakage), gaji karyawan rendah, dan lingkungan hidup umumnya rusak.
tingkat pemanfaatan sektor ekonomi kelautan lainnya belum optimal. Kontribusi bagi perekonomian bangsa (PDB, nilai ekspor, PNBP, dan lapangan kerja) pun masih rendah (10,4%).
nelayan dan pembudidaya terjebak dalam kemiskinan structural. Posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam sistem tata niaga (rantai nilai) perikanan sangat marginal.
rendahnya akses nelayan, pembudidaya, dan pelaku usaha kelautan. Kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya -> Kemiskinan Struktural.
sektor kelautan kalah dalam konflik penggunaan ruang. Sektor kelautan bersifat ‘low and slow -yielding economy’ kalah dengan sektor lain yang bersifat ‘high and quick –yielding economy’.
maritime boundary conflicts, 8. overfishing di beberapa perairan, sedangkan di sejumlah perairan lain mengalami underfishing, 9. IUU (Illegal, Unregulated, And Unreported) Fishing, Dandestructive Fishing
Pencemaran Dan Degradasi Fisik Ekosistem. termasuk plastic pollution, dan kerusakan lingkungan lainnya, 11. Kecelakaan dan keamanan di laut, 12. Dampak negatif perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam lain
Rendahnya kualitas SDM. Seperti knowledge, skills, dan etos kerja para nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha kelautan lainnya.
Kebijakan politik ekonomi kurang kondusif. Kriminalisasi petambak udang Karimunjawa, menurunkan minat investasi dan bisnis di budidaya tambak udang, dan membuat produk udang Indonesia banyak ditolak di negara-negara importir.
Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia sejatinya memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama). “Sayangnya alokasi APBN untuk KKP 2024 hanya Rp 6 Trilyun, 60% nya untuk gaji dan belanja ASN,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan 2001–2004 itu.
Di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (8,7 persen), Thailand (6,3 persen), China (5,6 persen), Filipina (5,5 persen), dan Malaysia (4,6 persen). “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Prof Rokhmin Dahuri.
Menuju Indonesia Emas 2045
Prof Rokhmin Dahuri menjabarkan peta jalan pembangunan bangsa menuju Indonesia Emas 2045. Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi-RI stagnan di angka sekitar 5%, masih jauh dari potensi ekonomi-RI yang sesungguhnya, 8% – 10% per tahun (Mc. Kinsey, 2022; FE-UI, 2024).
“Ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sangat dominan bergantung pada konsumsi rumah tangga atau belanja masyarakat, sekitar 56%; dan ekspor bahan mentah,” terangnya mengutip Prof. Chatib Basri, 2024.
Sedangkan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 mestinya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 – 2024 berkisar 6 – 7 persen per tahun; 2024 – 2029 tumbuh sekitar 8%; 2029 – 2034 tumbuh sekitar 7%; dan 2034 – 2045 timbuh sekitar 6,5% .
Angka pertumbuhan ekonomi ini bisa dicapai dengan kontribusi investasi terhadap PDB sebesar 41 – 48 persen. Sayangnya, kontribusi investasi terhadap PDB hingga kini baru mencapai 35% (Prof. Chatib Basri, 2024).
“Hal ini disebabkan karena ICOR Indonesia masih terlalu tinggi, alias tidak efisien (mahal) dan tidak efektif akibat birokrasi pemerintah yang sarat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme); dan Iklim Investasi yang kurang kondusif,” katanya.
Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E > K + Im. Ketiga, Koefisien Gini kurang 0,3 (inklusif). Keempat, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Mengutip PBB, 2008, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, “Transformasi Ekonomi Struktural meliputi: (1) realokasi faktor-faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan (2) realokasi faktor-faktor produktif tersebut ke dalam kegiatan sektor manufaktur dan jasa. Hal ini juga berarti pengalihan sumber daya (faktor produktif) dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi. Hal ini juga terkait dengan kapasitas negara untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional untuk menghasilkan kegiatan ekonomi baru, memperkuat hubungan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri.”
Adapun kebijakan dan program transformasi struktural, terdiri: 1. Dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur/pengolahan (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) secara proporsional yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
Dari dominasi impor dan konsumsi (menggunakan) barang impor, ke dominasi investasi dan produksi di dalam negeri serta ekspor barang dan jasa yang berdaya saing tinggi (Top Quality, Lower Price; dan Regular and Sustainable Supply).
Modernisasi sektor primer (pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultur, kehutanan, perikanan, dan ESDM) supaya lebih produktif, efisien, bernilai tambah (hilirisasi), berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Revitalisasi industri manufakturing yang ada saat ini (existing) dan unggul sejak zaman ORBA seperti: Mamin, Perkebunan, Kehutanan, TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), Otomotif, dan Semen, dan Pariwisata agar lebih produktif, efisien, mensejahterakan karyawan berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan sustaianable.
Pengembangan industri manufakturing baru, seperti: Energi Baru dan Terbarukan (Solar Energy, Angin, Air, Panas Bumi, Bioenergy, Hidrogen, Pasang-Surut, Gelombang, dan Ocean Thermal Energy Conversion), semiconductor dan chips, baterai, kendaraan listrik, Blue Economy, Bioteknologi, Nanoteknologi, dan Ekonomi Kreatif.
Pengembangan industri manufaktur di Luar Jawa, dan daerah-daerah yang masih tertinggal serta miskin, dengan skema “Kawasan Industri” dan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) yang inklusif dan ramah lingkungan.
Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 6) mesti berbasis pada: (1) Ekonomi Digital – Industry 4.0 (untuk ekonomi yang produktif, efisien, dan berdaya saing); (2) Green and Blue Economy (untuk ekonomi yang inovatif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan); dan (3) Pancasila sebagai pengganti Kapitalisme untuk memastikan pemerataan ‘kue pertumbuhan ekonomi’ (kesejahteraan) yang berkeadilan.
Kebijakan pembangunan sektor ekonomi biru yang sedang berkembang/masa depan, yaitu: 1. Proyek Percontohan (Pemodelan) pengembangan sektor-sektor Ekonomi Biru yang Muncul (Masa Depan). Layak diterapkan dalam waktu dekat, Kerjasama dengan negara industri maju, Skema pendanaan: hibah, pinjaman lunak, dan APBN.
Program “technological catch up” melalui transfer teknologi dan etos kerja, reverse engineering, dan lainnya, 3. Bangun Ekosistem Integrated Supply Chain Management System. untuk mendukung industri emerging sectors diatas supaya berjalan sukses: produktif, efisien, kompetitif, inklusif, ramah lingkungan, dan sustainable.
Contoh sektor ekonomi biru yang sedang berkembang (masa depan) yang layak dikerjakan sekarang, antara lain: 1. Pangan fungsional. 2. Produk farmasi dan kosmetik dari senyawa bioaktif biota laut. 3. Bioenergi dari mikroalga. 4. Energi laut: pasang surut, arus, gelombang, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion).
Kapal bertenaga surya. 6. Industri air laut dalam. 8. Akuakultur cerdas: pengumpan digital berbasis suara untuk akuakultur tambak udang, dll. 9. Penangkapan ikan cerdas. 10. Bioplastik, 11. Desalinasi.
Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang ALKI, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan, dengan model Kawasan Industri Maritim Terpadu dengan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) berskala besar (big-push development model)
Kebijakan pembangunan sektor Ekonomi Biru yang sudah ada/telah ada, yaitu: 1. Perikanan Budidaya (Aquaculture), 2. Perikanan Tangkap (Capture Fisheries), 3. Industri Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 4. Industri Bioteknologi Perairan, 5. Pariwisata Bahari, 6. Perhubungan Laut, 7. Industri dan Jasa Maritim.
Kebijakan Pembangunan Perikanan Budidaya
Menurut definisi, kata Prof Rokhmin Dahuri, Akuakultur adalah produksi ikan, krustasea, moluska, invertebrata, alga, mikroba, tanaman, dan organisme lain melalui penetasan dan pemeliharaan di ekosistem perairan. (Parker, 1998)
Sedangkan peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan, antara lain: 1. Protein hewani: ikan bersirip, krustasea, moluska, beberapa invertebrata; 2. Rumput laut, 3. Ikan hias dan biota perairan lainnya, 4. Perhiasan: tiram mutiara dan organisme perairan lainnya.
Peran dan fungsi akuakultur non-konvensional (masa depan), yaitu: 1. Pakan berbasis alga, 2. Produk farmasi dan kosmetik dari senyawa bioaktif mikroalga dan makroalga, 3. Bahan baku dari biota akuatik untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan, 4. Biofuel dari mikroalga dan makroalga, 5. Pariwisata berbasis akuakultur, 6. Penyerap karbon untuk mengurangi pemanasan global
Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap
Peningkatan produktivitas (CPUE = Catch per Unit of Effort) secara berkelanjutan (sustainable) melalui modernisasi teknologi penangkapan ikan dan pembatasan jumlah kapal di wilayah perairan untuk meningkatkan pendapatan nelayan menjadi lebih dari $480 per bulan.
Pengembangan 5.000 kapal ikan modern (> 30 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut 12 mil – 200 mil (ZEEI), dan 2.000 Kapal Ikan Modern dengan ukuran > 200 GT untuk laut lepas > 200 mil (International Waters atau High Seas).
Modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 480 (Rp 7,5 juta)/nelayan/bulan.
Kurangi intensitas laju penangkapan di wilayah overfishing, dan tingkatkan laju penangkapan di wilayah underfishing.
Model pelabuhan perikanan yang dilengkapi dengan kawasan industri perikanan terpadu: Industri Pengolahan, Sarana Produksi, Perumahan Nelayan & Pembudidaya, Lembaga Ekonomi, dan Pelabuhan
Industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, yaitu: 1. Peningkatan kualitas dan daya saing. industri pengolahan hasil perikanan tradisional: ikan asap, pindang, kering (asin dan tawar), fermentasi (peda), terasi, petis, dll.
Pengembangan industri pengolahan hasil perikanan modern: live fish, fresh fish, pembekuan, pengalengan, breaded shrimps and fish, produk berbasis surimi, dll.
Pengembangan produk-produk olahan perikanan baru (product development) dan
Penyempurnaan packaging serta distribusi produk: Industri Bioteknologi Perairan, Pengembangan Bioprospecting, Ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut, Bahan baku untuk industri nutraseutikal, farmasi, kosmetik, Penggunaan dalam cat film, biofuel, dan industri lainnya.
Genetic Engineering: Produksi induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya; Karakteristik unggul: SPF (Specific Pathogen Free), SPR (Specific Pathogen Resistance), cepat tumbuh, dan tahan iklim; Rekayasa Genetik Mikroorganisme; Rekayasa genetik bakteri untuk bioremediasi lingkungan tercemar
Konservasi: genetik, spesies, dan ekosistem Indonesia mendominasi produksi rumput laut, tetapi sebagian besar menggunakannya di dalam negeri (59%). 15% digunakan untuk produksi agar dan karagenan. 26% diekspor (bernilai $400 juta, peringkat ke-5 dalam ekspor perikanan nasional).
Namun, ada pasar global yang besar untuk makanan fungsional berbasis rumput laut, yang diperkirakan akan mencapai 35 juta ton pada tahun 2050. Potensi hilirisasi rumput laut untuk industri pakan dengan nilai US$ 1,1 miliar, industri aditif pakan US$ 1,2 miliar, dan industri biostimulan US$ 1,9 miliar.
Untuk memanfaatkan potensi ini, Indonesia bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui praktik pertanian yang lebih baik, teknologi canggih, dan proyek budidaya skala besar di Teluk Awang, Lombok, NTB.
Laporan Pasar Baru dan Berkembang Rumput Laut Global 2023 telah mengidentifikasi pangsa pasar baru yang akan berkembang pada tahun 2030 untuk produk hilir rumput laut dengan potensi pasar sebesar US$ 11,8 miliar, yaitu produk biostimulan, bioplastik, aditif pakan ternak, nutraceutical, protein alternatif, farmasi, dan tekstil.
Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia masih mendominasi ekspor rumput laut kering. Sebanyak 66,61% produk ekspor rumput laut Indonesia didominasi oleh rumput laut kering, sedangkan rumput laut olahan (karagenan dan agar-agar) masih sebesar 33,39%. Pada tahun 2023, Indonesia memproduksi rumput laut basah sebanyak 10,7 juta ton.
Pemanfaatan rumput laut olahan selama ini paling banyak digunakan untuk produk makanan dan minuman sebesar 77%, sedangkan untuk farmasi, kosmetik, dan lainnya hanya sebesar 23%. Industri ini perlu lebih adaptif terhadap perubahan dan perkembangan pasar.2. Rekayasa Genetik (Genetic Engineering: Genome Editing, DNA Squencing and DNA Recombinant)
Rekayasa Genetik dalam Bioteknologi Kelautan: Digunakan dalam akuakultur untuk ikan konsumsi (salmon, udang, nila, dll) dan hias (zebra, tetra, dll), Menghasilkan biota laut unggul: bebas penyakit (SPF), tahan penyakit (SPR), cepat tumbuh, Memodifikasi karakteristik biokimia dari daging ikan, jalur metabolisme (efisiensi pakan), dan ketahanan lingkungan.
“Untuk peningkatan peran Ditjen. PSDKP dalam mewujudkan sektor KP sebagai prime mover menuju Indonesia Emas 2045, yakni: Membangun dan melaksanakan Sistem serta Mekanisme Kerja MCS (Monitoring, Controlling, and Surveillance) terhadap perancanaan dan pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan Ditjen. Perikanan Tangkap, Ditjen. Perikanan Budidaya, Ditjen. PDSKP, Ditjen. PRL, pencemaran laut, KKL, dan berbagai kegiatal illegal (criminal) di wilayah pesisir dan laut NKRI dalam rangka mewujudkan KP yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan,” tegas Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.