KEBERANIAN Abdullah bin Zubair terlihat dari keterlibatannya dalam perang sejak umur 12 tahun. Saat itu, ia mengikuti Perang Yarmuk bersama ayahnya, Zubair bin Awwam. Empat tahun kemudian, is kembali bersama ayahnya bergabung dengan pasukan Amr bin Ash di Mesir. Dalam perlawanan dengan orang-orang Byzantium di Afrika, ia juga bergabung dengan pasukan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh.
Di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair bersama dengan bibinya, Aisyah menuntut agar khalifah Ali menyelesaikan kasus pembunuhan khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Bersama sekelompok kaum Muslim yang lain, mereka menunda untuk membait Ali sebelum ia menuntaskan kasus tersebut.
Di masa Dinasti Bani Umayyah, Abdullah kembali menentang Mu’awiyah meski belum secara terang-terangan. Setelah pengangkatan Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah atas penunjukan ayahnya, barulah Abdullah terang-terangan menunjukkan penentangannya. Penentangan ini membuat Yazid kemudian memaksa Abdullah bin Zubair bersama beberapa tokoh pemuka yang lain untuk menyatakan kesetiaannya. Namun, Abdullah bin Zubair menolak dan memilih untuk kemudian tinggal di Makkah.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, Abdullah bin Zubair menghadap Sang Khalik. Hajjaj bin Yusuf, seorang gubernur yang fasik, berhasil melumpuhkan perlawanannya setelah diserang selama sekitar tujuh bulan.
“Wahai ibuku, sungguh keadaan saat ini sangatlah susah. Mereka menghinaku bahkan anak dan istriku juga telah meninggalkanku. Haruskah aku menyerah kepada mereka yang menawariku dunia?”
Abdullah bin Zubair mengadukan keadaannya saat itu pada sang ibunda tercinta, Asma binti Abu Bakar.
“Anakku, jika engkau yakin berada di atas kebenaran, janganlah mundur. Jika engkau menginginkan harta dunia, sesungguhnya engkaulah seburuk-buruknya manusia,” jawab Asma memberikan dorongan dan juga semangat kepada anaknya.
Saat itu, Asma telah berumur hampir 100 tahun, namun kebijaksanaannya masih tetap terpancar. “Sesungguhnya anakmu ini takut bila nanti mereka berhasil membunuhku dan menyayati jasadku,”ucap Abdullah kembali.
“Sesungguhnya kambing yang sudah disembelih tak sedikit pun akan merasakan kesakitan ketika dagingnya disayat-sayat,” ucap ibunya menjawab.
Abdullah bin Zubair seolah mendapatkan amunisi Baru. Kata-kata serta dorongan sang ibu inilah yang membuat Abdullah bin Zubair kemudian keluar dari tempatnya bertahan. la maju menghadang yang kemudian membuatnya berhasil ditangkap dan dibunuh. Setelah itu, jasadnya dinaikkan ke tiang gantungan dan disalib di bukit Tsaniyyatul Wada. Setelah berhasil membunuh Abdullah bin Zubair, Hajjaj kemudian mendatangi Asma binti Abu Bakar. “Apa pendapatmu dengan apa yang telah aku takukan pada anakmu, wahai Asma?” ucap Hajjaj kepada Asma.
“Engkau telah merusak dunianya, namun ia juga telah merusak akhiratmu,” jawab Asma tegar dan tabah. Hari itu menjadi hari berduka. Hari berkabung bagi perginya seorang putra hawari Rasulullah Saw. []