Connect with us

Ruang Sujud

Bahaya Tajassus: Ketika Privasi Tak Lagi Dihargai

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Bayangkan sedang duduk santai, lalu seseorang diam-diam membaca isi chat di ponselmu. Nggak nyaman, kan? Itulah yang disebut dengan tajassus—perilaku mengintip atau memata-matai orang lain tanpa izin. Dalam Islam, tajassus bukan hanya tidak sopan, tapi juga bisa berdampak buruk secara sosial dan spiritual.

Tajassus merusak kepercayaan. Di dalam sebuah komunitas atau keluarga, kepercayaan adalah fondasi utama. Begitu seseorang merasa diawasi diam-diam, hubungan bisa retak. Rasa saling percaya berubah jadi curiga, dan suasana pun jadi tak sehat. Dalam jangka panjang, masyarakat yang saling mencurigai akan kehilangan solidaritas dan kasih sayang.

Tak hanya itu, tajassus bisa memicu dosa-dosa lain. Ketika seseorang sudah terbiasa mencari-cari aib orang lain, godaan untuk menyebarkannya sangat besar. Padahal, membuka aib orang lain bisa berujung pada gibah, fitnah, bahkan merusak nama baik seseorang tanpa alasan yang jelas. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Di zaman serba digital ini, bentuk tajassus semakin beragam. Dari menyadap pesan pribadi, membuka akun media sosial orang tanpa izin, hingga memasang aplikasi pelacak lokasi. Semua ini sering dianggap sepele, padahal secara etika dan agama, itu termasuk pelanggaran terhadap privasi dan kehormatan manusia.

Yang lebih mengkhawatirkan, tajassus bisa memicu konflik yang lebih besar. Informasi yang diperoleh dari kegiatan memata-matai sering kali disalahartikan, dipotong-potong, atau digunakan untuk menjatuhkan seseorang. Maka tak heran jika tajassus sering jadi pemantik keributan di rumah tangga, pertemanan, bahkan ranah politik.

Bahaya tajassus bukan hanya pada orang yang jadi korban, tapi juga pada pelakunya. Semakin sering seseorang mencari-cari kesalahan orang lain, semakin ia terjebak dalam dosa dan lupa memperbaiki dirinya sendiri. Padahal, dalam Islam kita diajarkan untuk fokus pada perbaikan diri, bukan sibuk menilai hidup orang lain.

Kesimpulannya, tajassus adalah praktik yang merusak. Ia menghancurkan privasi, menurunkan martabat, dan menodai nilai-nilai Islam yang luhur. Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang damai dan saling percaya, maka menjauhi tajassus adalah salah satu langkah awal yang penting.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Tajassus dalam Al-Qur’an dan Hadis: Studi Etika Sosial Islam

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan sosial, Islam punya panduan etika yang luar biasa lengkap. Salah satunya adalah soal tajassus—perilaku memata-matai atau mencari-cari kesalahan orang lain secara diam-diam. Al-Qur’an dan Hadis memberikan perhatian serius terhadap tindakan ini, karena tajassus bisa merusak tatanan sosial yang damai dan beradab.

Di dalam Al-Qur’an, larangan tajassus disebut secara eksplisit dalam Surah Al-Hujurat ayat 12:
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…”
Ayat ini muncul dalam konteks menjaga harmoni antarumat Islam, terutama di tengah masyarakat yang bisa saja saling curiga dan berselisih. Tajassus dipandang sebagai gerbang menuju gibah (menggunjing) dan fitnah, dua dosa sosial yang juga sangat dikecam.

Sementara itu, dalam Hadis Nabi Muhammad SAW, kita juga menemukan pesan yang kuat. Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian saling hasad, saling membenci, saling memata-matai, saling membocorkan rahasia, dan jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pesan ini sangat jelas: Islam menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dan menolak semua bentuk intrusi ke dalam kehidupan pribadi orang lain. Tajassus bukan hanya soal perilaku, tapi juga mencerminkan hati yang kotor—penuh prasangka dan keinginan untuk menjatuhkan orang lain.

Namun, Al-Qur’an dan Hadis juga menunjukkan bahwa Islam tidak bersifat hitam-putih. Dalam beberapa kasus tertentu, tindakan mirip tajassus bisa dibenarkan—misalnya dalam konteks penegakan hukum atau perlindungan masyarakat dari kejahatan. Tapi tetap, itu harus dilakukan oleh pihak berwenang dengan etika dan batasan yang jelas.

Ulama tafsir seperti Imam Al-Qurtubi menegaskan bahwa larangan tajassus dalam Al-Qur’an bertujuan untuk menjaga marwah manusia dan mencegah keretakan sosial. Dalam pandangan Islam, kehormatan seseorang itu suci, dan tidak boleh dicederai dengan prasangka atau pengintaian yang tidak perlu.

Etika sosial Islam bukan hanya soal ibadah ritual, tapi juga bagaimana kita memperlakukan orang lain. Tajassus adalah pelanggaran terhadap adab itu. Bahkan, dalam banyak kasus, Islam lebih memilih seseorang menutup aib saudaranya daripada mengungkapnya, selama tidak membahayakan orang lain.

Jadi, jika kita benar-benar ingin menerapkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis dalam kehidupan sehari-hari, salah satu kuncinya adalah: jangan ikut campur urusan yang bukan milik kita, dan jangan jadi detektif tanpa alasan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Menjaga Kehormatan Sesama: Menghindari Tajassus di Era Digital

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Kita hidup di zaman serba digital, di mana semua serba terbuka dan cepat. Sayangnya, keterbukaan ini juga membuka peluang bagi perilaku yang dilarang dalam Islam—salah satunya adalah tajassus, alias memata-matai atau mengintip kehidupan pribadi orang lain.

Dulu, tajassus dilakukan secara fisik: mengintip dari balik pintu, mengikuti seseorang diam-diam, atau menyadap pembicaraan. Tapi sekarang, semuanya bisa dilakukan hanya lewat layar. Buka media sosial, lihat story seseorang tanpa izin, intip DM orang lain, atau pasang aplikasi pelacak lokasi—semuanya termasuk tajassus versi digital.

Islam memandang privasi sebagai hak dasar setiap manusia. Dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 27, Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.”
Ayat ini bisa kita perluas maknanya ke dunia digital: jangan asal buka akun, pesan, atau informasi pribadi orang lain tanpa izin. Sama saja seperti masuk rumah orang seenaknya.

Di era digital, menjaga kehormatan sesama jadi tantangan besar. Informasi pribadi begitu mudah disebarkan. Satu tangkapan layar bisa viral, satu video pribadi bisa hancurkan reputasi. Di sinilah pentingnya kontrol diri dan kesadaran etis. Jangan karena penasaran, kita malah melanggar batas-batas yang telah Allah tetapkan.

Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang mengintip rumah orang tanpa izin, maka halal bagi mereka untuk melukai matanya.” (HR. Muslim)
Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam dalam menjaga privasi dan kehormatan pribadi.

Lalu, bagaimana cara kita menghindari tajassus di era digital? Pertama, jaga niat. Jangan jadikan rasa ingin tahu sebagai alasan untuk membongkar hal-hal yang bukan urusan kita. Kedua, biasakan berpikir sebelum bertindak: “Kalau ini terjadi padaku, apakah aku rela?” Ketiga, lindungi data dan privasi orang lain seperti kita ingin data kita dijaga.

Lebih dari sekadar dosa, tajassus adalah tanda bahwa kita belum bisa menahan diri dari campur tangan urusan orang lain. Islam mengajarkan kita untuk fokus memperbaiki diri, bukan sibuk menjadi pengawas kehidupan orang lain.

Menjaga kehormatan sesama adalah bagian dari iman. Di dunia nyata maupun digital, adab tetap nomor satu. Jangan biarkan jari kita menjadi alat tajassus yang mencederai nilai-nilai Islam.

Continue Reading

Ruang Sujud

Tajassus dalam Islam: Antara Larangan dan Pengecualian

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap mendengar istilah “tajassus”, terutama dalam konteks sosial atau media digital. Tajassus secara sederhana berarti kegiatan mengintip, memata-matai, atau mencari-cari kesalahan orang lain secara diam-diam. Dalam Islam, tindakan ini tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran etika sosial, tetapi juga dilarang dalam Al-Qur’an.

Larangan tajassus secara eksplisit dapat ditemukan dalam Surah Al-Hujurat ayat 12: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus), dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…” Ayat ini jelas menunjukkan bahwa mencari-cari aib orang lain adalah tindakan tercela.

Namun menariknya, Islam juga mengenal pengecualian terhadap larangan tajassus, terutama dalam konteks hukum dan keadilan. Misalnya, dalam sistem peradilan, penyelidikan oleh aparat untuk mengungkap kejahatan tidak dianggap sebagai tajassus yang dilarang, asalkan dilakukan dengan adab dan tidak melampaui batas. Tujuan dan niat menjadi kunci pembeda antara tajassus yang dilarang dan bentuk pengawasan yang dibolehkan.

Ulama membedakan tajassus untuk kepentingan pribadi (yang dilarang) dan tajassus yang ditujukan untuk menjaga maslahat umum (yang bisa dibolehkan). Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa mencari-cari kesalahan orang lain tanpa alasan yang syar’i bisa merusak tatanan sosial dan melahirkan kebencian.

Di era digital saat ini, tajassus menjadi lebih mudah dilakukan—dari mengakses pesan pribadi hingga menguntit media sosial orang lain. Islam mengingatkan kita untuk menjaga kehormatan sesama manusia, dan tidak mencampuri urusan pribadi yang bukan hak kita.

Dengan demikian, tajassus adalah tindakan yang secara umum dilarang dalam Islam, namun dalam kondisi tertentu bisa menjadi pengecualian yang dibolehkan demi keadilan dan keamanan. Kunci utamanya terletak pada niat, cara, dan tujuan dari tindakan tersebut.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mengenal Konsep ‘Ishmah: Kemaksuman Para Nabi dalam Islam

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, para nabi dikenal sebagai sosok yang memiliki derajat keutamaan yang sangat tinggi. Salah satu sifat utama yang disematkan kepada mereka adalah ‘ishmah (الْعِصْمَةُ), yang berarti terjaga dari dosa dan kesalahan. Konsep ini sangat penting dalam memahami kenabian, sebab ia menjadi fondasi kepercayaan umat terhadap keaslian wahyu yang disampaikan para nabi.

Secara bahasa, ‘ishmah berarti perlindungan atau penjagaan. Dalam konteks kenabian, ‘ishmah merujuk pada keyakinan bahwa Allah secara khusus menjaga para nabi dari perbuatan dosa besar maupun kecil, baik disengaja maupun tidak. Dengan ‘ishmah, para nabi tidak hanya terhindar dari kesalahan dalam menyampaikan wahyu, tetapi juga menjadi teladan sempurna dalam akhlak dan tindakan.

Para ulama Islam sepakat bahwa semua nabi memiliki sifat ‘ishmah, namun terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai sejauh mana perlindungan ini berlaku. Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘ishmah hanya mencakup penyampaian risalah, sedangkan dalam hal manusiawi biasa, para nabi mungkin melakukan kekeliruan kecil yang tidak berdampak pada ajaran agama. Sementara itu, pendapat mayoritas menyatakan bahwa para nabi sepenuhnya dijaga dari kesalahan moral, sehingga kepribadian mereka tetap menjadi panutan sempurna.

Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang mengisyaratkan konsep ‘ishmah. Misalnya, Allah berfirman dalam Surah An-Najm ayat 3-4, “Dan dia tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan.” Ayat ini menjadi landasan bahwa Nabi Muhammad, dan dengan pengertian serupa para nabi lainnya, tidak mungkin salah dalam menyampaikan risalah.

Contoh lain adalah kisah Nabi Yusuf dalam Al-Qur’an. Ketika digoda oleh istri al-Aziz, Yusuf menolak dengan berkata, “Aku berlindung kepada Allah!” (QS. Yusuf: 23). Ayat ini menunjukkan keteguhan seorang nabi dalam menghadapi godaan duniawi, yang merupakan manifestasi nyata dari ‘ishmah.

Dalam tradisi Islam Sunni, para ulama seperti Al-Juwaini dan Al-Ghazali menjelaskan bahwa ‘ishmah para nabi berlaku sejak mereka diangkat menjadi rasul. Artinya, sebelum kenabian, mereka masih manusia biasa yang mungkin melakukan kesalahan kecil, tetapi setelah diangkat, mereka terjaga sepenuhnya. Sedangkan sebagian ulama lainnya, termasuk ulama Syiah, meyakini bahwa ‘ishmah telah melekat pada para nabi sejak lahir, bahkan sebelum mereka menerima wahyu.

Pandangan Syiah, khususnya mazhab Imamiyah, memiliki konsep ‘ishmah yang lebih luas. Mereka percaya tidak hanya para nabi, tetapi juga para imam dari keturunan Nabi Muhammad, memiliki sifat ‘ishmah. Imam-imam ini dianggap maksum, terjaga dari dosa dan kesalahan, sehingga ucapan dan tindakan mereka juga menjadi sumber ajaran agama.

Salah satu alasan utama pentingnya ‘ishmah adalah agar umat memiliki keyakinan penuh terhadap ajaran yang dibawa oleh para nabi. Jika para nabi mungkin melakukan dosa atau kesalahan fatal, maka kepercayaan umat terhadap keaslian wahyu dan kebenaran risalah bisa terguncang. Dengan keyakinan akan ‘ishmah, umat Islam menerima ajaran para nabi tanpa keraguan.

Selain menjaga keaslian wahyu, ‘ishmah juga berkaitan dengan peran para nabi sebagai teladan moral. Al-Qur’an berulang kali memerintahkan umat Islam untuk meneladani akhlak para nabi, terutama Nabi Muhammad, yang disebut sebagai “uswah hasanah” (teladan yang baik) dalam Surah Al-Ahzab ayat 21. Tanpa ‘ishmah, keteladanan ini akan menjadi tidak sempurna.

Meski demikian, penting untuk dipahami bahwa ‘ishmah tidak berarti para nabi kehilangan sifat manusiawinya. Mereka tetap mengalami rasa lapar, lelah, sedih, dan sakit, sebagaimana manusia biasa. ‘Ishmah hanya memastikan bahwa dalam aspek keagamaan, moral, dan penyampaian wahyu, mereka terjaga dari kesalahan.

Dalam sejarah Islam, ada juga diskusi menarik tentang beberapa kisah para nabi yang tampak melakukan kesalahan, seperti kisah Nabi Adam yang memakan buah terlarang, atau Nabi Musa yang membunuh seorang Mesir. Para ulama menafsirkan peristiwa-peristiwa ini sebagai bagian dari ujian kenabian atau kekeliruan yang tidak disengaja, yang kemudian langsung ditebus dengan taubat dan ampunan dari Allah. Hal ini tidak mengurangi derajat ‘ishmah, sebab kesalahan tersebut bukan berupa pelanggaran sengaja terhadap perintah wahyu kenabian.

Dalam banyak literatur klasik Islam, seperti Al-I’tiqad karya Al-Baqillani atau Al-Milal wa al-Nihal karya Al-Syahrastani, pembahasan ‘ishmah selalu mendapat porsi penting. Ini menunjukkan betapa vitalnya konsep ini dalam bangunan teologi Islam.

Sebagai umat Islam, memahami konsep ‘ishmah bukan hanya soal kepercayaan terhadap kemaksuman nabi, melainkan juga tentang bagaimana kita meneladani mereka dalam kehidupan sehari-hari. Para nabi mengajarkan keteguhan dalam iman, kesabaran dalam ujian, kejujuran dalam ucapan, dan keadilan dalam tindakan — semua ini adalah cermin dari sifat ‘ishmah yang harus kita usahakan dalam batas kemampuan kita sebagai manusia biasa.

Pada akhirnya, ‘ishmah adalah salah satu bentuk rahmat Allah yang besar kepada umat manusia. Melalui para nabi yang maksum, Allah menyampaikan ajaran-ajaran suci yang menjadi petunjuk hidup hingga hari kiamat. Dengan memahami dan mengimani ‘ishmah, kita memperteguh keyakinan kita bahwa Islam adalah jalan kebenaran yang disampaikan melalui utusan-utusan yang dipilih dan dijaga langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Continue Reading

Ruang Sujud

‘Ishmah dalam Perspektif Sunni dan Syiah: Apa Saja Perbedaannya?

Ahmad Munawir

Published

on

Nonitorday.com – Konsep ‘ishmah (الْعِصْمَةُ) atau kemaksuman merupakan bagian penting dalam teologi Islam, khususnya terkait keyakinan terhadap para nabi dan tokoh agama. Secara umum, ‘ishmah berarti perlindungan dari dosa dan kesalahan, sehingga sosok yang maksum dipandang selalu benar dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Namun, meskipun sama-sama mengakui pentingnya ‘ishmah, mazhab Sunni dan Syiah memiliki perbedaan pandangan yang cukup mendasar mengenai siapa saja yang maksum dan sejauh mana kemaksuman itu berlaku.

Dalam tradisi Sunni, ‘ishmah terutama dilekatkan pada para nabi. Ulama Sunni sepakat bahwa nabi-nabi Allah, khususnya setelah diangkat sebagai rasul, terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan wahyu. Hal ini penting untuk memastikan bahwa agama yang dibawa tetap murni dan bebas dari penyimpangan. Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an seperti Surah An-Najm ayat 3-4, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak berbicara dari hawa nafsu melainkan dari wahyu, Sunni menegaskan bahwa dalam penyampaian risalah, para nabi pasti maksum.

Namun, dalam aspek kehidupan pribadi dan kemanusiaan, Sunni lebih fleksibel. Para nabi, menurut pandangan ini, tetap manusia biasa yang mungkin melakukan kekeliruan kecil yang tidak berdosa, seperti lupa atau salah mengambil keputusan, selama itu tidak terkait dengan penyampaian agama. Misalnya, kisah Nabi Adam yang memakan buah terlarang dianggap sebagai kekeliruan yang segera diikuti dengan taubat, bukan dosa besar yang mencoreng kemaksuman dalam tugas kenabian.

Berbeda dengan Sunni, mazhab Syiah, khususnya Syiah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah), mengembangkan konsep ‘ishmah lebih luas. Bagi Syiah, tidak hanya para nabi yang maksum, tetapi juga para imam yang merupakan penerus sah ajaran Nabi Muhammad dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra. Para imam dianggap memiliki ‘ishmah penuh, terjaga dari dosa, kesalahan, bahkan kekeliruan kecil sekalipun, sejak lahir hingga wafat.

Menurut teologi Syiah, kemaksuman para imam diperlukan karena mereka berperan sebagai penafsir sah Al-Qur’an dan sumber hukum Islam setelah wafatnya Nabi. Tanpa ‘ishmah, para imam dianggap tidak layak menjadi hujjah (bukti) Allah atas manusia. Karena itu, dalam Syiah, ‘ishmah tidak hanya melindungi risalah wahyu tetapi juga melindungi segala aspek keputusan dan perbuatan para imam.

Selain perbedaan pada subjek yang maksum, Sunni dan Syiah juga berbeda dalam ruang lingkup ‘ishmah itu sendiri. Sunni membatasi ‘ishmah pada penyampaian wahyu dan ajaran agama. Sedangkan dalam pandangan Syiah, ‘ishmah mencakup seluruh aspek kehidupan pribadi, sosial, dan politik para nabi dan imam. Artinya, menurut Syiah, sosok maksum tidak pernah berbuat salah, berbohong, atau mengambil keputusan yang keliru, bahkan dalam urusan duniawi.

Penting untuk dicatat bahwa perbedaan ini berakar pada perbedaan cara pandang terhadap kepemimpinan umat. Sunni menganggap bahwa setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islam bisa memilih pemimpin melalui musyawarah (syura), sehingga ‘ishmah tidak menjadi syarat wajib bagi khalifah. Sementara Syiah berpegang bahwa kepemimpinan (imamah) adalah hak ilahi yang ditentukan Allah, dan hanya orang maksum yang layak menjadi pemimpin spiritual dan politik umat.

Dalam literatur Sunni, misalnya dalam karya-karya Imam Al-Ghazali, disebutkan bahwa para nabi tidak pernah berdusta dalam hal penyampaian wahyu, tetapi dalam kehidupan biasa mereka bisa saja mengalami lupa atau salah memperkirakan sesuatu. Ini untuk menunjukkan sisi kemanusiaan para nabi agar mereka tetap menjadi teladan realistis bagi umat manusia.

Sebaliknya, dalam literatur Syiah, seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini dan penjelasan para teolog seperti Al-Mufid, dijelaskan bahwa para imam adalah individu suci yang ilmunya bersumber langsung dari Allah, bukan hasil belajar biasa. Mereka memiliki ilmu batin (ilmu ladunni) yang menjaga mereka dari segala bentuk kesalahan.

Dari sudut pandang Syiah, ‘ishmah para imam juga berfungsi untuk menjaga agama tetap murni dari segala bentuk penyimpangan politik, terutama setelah peristiwa-peristiwa besar seperti peristiwa Saqifah dan tragedi Karbala, yang mereka pandang sebagai bukti betapa pentingnya kepemimpinan maksum.

Meski memiliki perbedaan, baik Sunni maupun Syiah sama-sama mengakui bahwa manusia biasa tidak bisa mencapai derajat ‘ishmah secara mutlak. Hanya individu-individu tertentu yang dipilih oleh Allah yang dianugerahi kemaksuman. Ini menunjukkan bahwa ‘ishmah adalah anugerah ilahi, bukan hasil dari usaha manusia sendiri.

Dalam konteks modern, memahami perbedaan pandangan ini membantu kita menghargai keragaman dalam Islam, tanpa mengabaikan semangat persatuan. Diskusi tentang ‘ishmah mengajarkan kita tentang pentingnya keaslian ajaran agama dan perlunya figur-figur panutan yang bersih dari penyimpangan.

Akhirnya, baik dalam perspektif Sunni maupun Syiah, konsep ‘ishmah mengajarkan umat Islam untuk tetap menjunjung tinggi kepercayaan terhadap integritas ajaran agama dan untuk senantiasa berusaha meneladani akhlak para nabi dan imam dalam kehidupan sehari-hari, meskipun kita sadar bahwa sebagai manusia biasa, kita tidak akan pernah mencapai derajat kesempurnaan tersebut.

Continue Reading

Ruang Sujud

Kontroversi Seputar Kemaksuman Nabi Muhammad: Benarkah Beliau Tidak Pernah Salah?

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Kemaksuman Nabi Muhammad Saw. atau ‘ishmah telah lama menjadi tema pembahasan hangat di kalangan para ulama dan cendekiawan Muslim. Secara umum, umat Islam sepakat bahwa Nabi Muhammad adalah sosok maksum, yakni terjaga dari dosa dan kesalahan dalam menyampaikan wahyu. Namun, perdebatan muncul ketika membahas apakah beliau juga maksum dalam semua aspek kehidupan manusiawinya. Apakah Nabi Muhammad benar-benar tidak pernah melakukan kesalahan kecil sekalipun?

Dalam teologi Islam, ‘ishmah Nabi Muhammad sangat penting untuk menjaga kepercayaan terhadap kebenaran wahyu yang dibawanya. Jika Nabi berpotensi salah dalam menyampaikan ajaran, maka keaslian dan kemurnian Islam akan diragukan. Oleh karena itu, seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa dalam konteks menerima dan menyampaikan wahyu, Nabi Muhammad sepenuhnya maksum.

Ayat-ayat Al-Qur’an seperti Surah An-Najm ayat 3-4 (“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”) sering dijadikan dasar bahwa Nabi dalam kapasitasnya sebagai rasul tidak pernah salah. Ini juga ditegaskan dalam banyak hadis dan literatur klasik Islam.

Namun demikian, dalam aspek kehidupan pribadinya sebagai manusia biasa, muncul berbagai pandangan. Beberapa ulama Sunni seperti Imam Al-Ghazali dan Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mungkin saja mengalami kekeliruan yang tidak berdosa, seperti lupa atau salah memperkirakan sesuatu yang bersifat duniawi. Misalnya, peristiwa ketika beliau keliru mengikat tawanan Perang Badar atau peristiwa “Abasa” saat beliau bermuka masam kepada seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum (QS. ‘Abasa: 1-10).

Bagi sebagian ulama, insiden-insiden ini menunjukkan bahwa meskipun beliau maksum dalam tugas kenabian, beliau tetap manusia yang mengalami keterbatasan alami dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan penyampaian risalah. Pandangan ini bertujuan untuk mempertahankan kemanusiaan Nabi Muhammad, agar beliau tetap menjadi teladan realistis bagi umatnya.

Sementara itu, ulama Syiah memiliki pendekatan berbeda. Dalam pandangan Syiah Imamiyah, Nabi Muhammad Saw. sepenuhnya maksum, tidak hanya dalam menyampaikan wahyu, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupannya, baik besar maupun kecil. Mereka berpendapat bahwa seorang nabi, apalagi pemimpin umat terakhir, harus sempurna dalam segala perilaku agar menjadi hujjah (bukti) ilahi di dunia. Oleh karena itu, bahkan peristiwa-peristiwa seperti “Abasa” ditafsirkan Syiah sebagai kritik terhadap para sahabat, bukan terhadap Nabi Muhammad sendiri.

Pandangan ini berakar dari keyakinan Syiah bahwa pemimpin umat harus memiliki ‘ishmah total, sebagaimana para imam keturunan Nabi juga dianggap maksum. Menurut mereka, Nabi tidak pernah lupa, tidak pernah salah mengambil keputusan, dan tidak pernah menunjukkan perilaku yang bisa mengurangi kepercayaan umat kepadanya, bahkan dalam hal kecil.

Kontroversi lain juga muncul terkait ayat-ayat Al-Qur’an yang tampaknya menegur Nabi, seperti Surah At-Taubah ayat 43: “Semoga Allah memaafkanmu; mengapa kamu memberi izin kepada mereka sebelum jelas bagimu siapa yang berkata benar dan sebelum kamu mengetahui siapa yang berdusta?” Dalam pandangan Sunni moderat, ayat ini dianggap sebagai bentuk pengajaran dari Allah, bukan celaan. Nabi mungkin saja bertindak berdasarkan ijtihad pribadinya yang kemudian dikoreksi oleh wahyu. Ini bukan berarti kesalahan dosa, tetapi bentuk bimbingan yang lebih tinggi dari Allah kepada utusan-Nya.

Sementara itu, bagi sebagian pemikir rasionalis, fakta bahwa Al-Qur’an berisi teguran-teguran kepada Nabi menunjukkan betapa Al-Qur’an diturunkan dengan kejujuran total, tanpa menutupi sisi manusiawi Muhammad. Ini justru memperkuat keaslian Islam karena tidak ada upaya “mempermak” citra kenabian agar tampak sempurna mutlak.

Namun, para pembela konsep kemaksuman total berargumen bahwa apa yang tampak sebagai teguran sebenarnya adalah pelajaran umum bagi umat, bukan semata-mata koreksi terhadap kesalahan Nabi. Dalam pendekatan ini, Nabi Muhammad tetap sempurna, dan peristiwa-peristiwa tersebut menjadi media pendidikan ilahi bagi seluruh umat Islam.

Di sisi lain, para orientalis Barat sering memanfaatkan tema ini untuk mengkritik Islam. Mereka menyatakan bahwa pengakuan terhadap kesalahan-kesalahan kecil Nabi menunjukkan ketidaksempurnaan pribadi. Namun, mayoritas cendekiawan Muslim membantahnya dengan menegaskan bahwa kesalahan-kesalahan yang dinisbatkan kepada Nabi tidak pernah menyentuh keutuhan ajaran atau moralitasnya.

Penting untuk dipahami bahwa dalam Islam, kesempurnaan Nabi bukan berarti kehilangan sifat manusiawi. Nabi Muhammad tetap makan, tidur, menikah, berperang, dan berinteraksi dalam masyarakat seperti manusia biasa. Justru, kemaksuman dalam Islam adalah kesempurnaan dalam menjalankan kehendak Allah, bukan dalam menjadi makhluk supermanusia yang steril dari segala sifat alami manusia.

Akhirnya, memahami kontroversi seputar kemaksuman Nabi Muhammad membantu kita menghargai keagungan beliau sekaligus realitas beliau sebagai manusia. Ini juga mengajarkan kepada umat Islam bahwa teladan yang beliau berikan relevan dan bisa diikuti dalam kehidupan sehari-hari, karena beliau pernah menghadapi ujian dan tantangan yang sama seperti kita.

Dalam semua perdebatan ini, satu hal yang tidak diragukan oleh seluruh umat Islam: kecintaan, penghormatan, dan kepercayaan terhadap Nabi Muhammad Saw. sebagai utusan terakhir yang membawa rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam.

Continue Reading

Ruang Sujud

Perbandingan Konsep Ishmah dalam Islam Sunni dan Syiah

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Konsep ‘ishmah atau kemaksuman nabi dan orang-orang suci adalah salah satu tema penting dalam teologi Islam. Secara umum, ‘ishmah berarti perlindungan dari dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan, tindakan, maupun penyampaian ajaran agama. Meskipun baik Islam Sunni maupun Syiah mengakui pentingnya ‘ishmah, ada perbedaan mendasar antara kedua mazhab ini mengenai siapa saja yang maksum dan sejauh mana kemaksuman itu berlaku.

Dalam teologi Sunni, ‘ishmah terutama dikaitkan dengan Nabi Muhammad Saw. Para ulama Sunni sepakat bahwa Nabi Muhammad maksum dalam menyampaikan wahyu. Artinya, dalam tugas kerasulan — menerima, menghafal, dan menyampaikan ajaran dari Allah — beliau terjaga dari segala bentuk kesalahan atau kelalaian. Hal ini penting untuk menjaga keotentikan dan kebenaran agama Islam yang dibawanya.

Namun, dalam aspek kehidupan duniawi Nabi, para ulama Sunni cenderung lebih fleksibel. Banyak yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad, sebagai manusia biasa, bisa saja melakukan kekeliruan kecil dalam urusan dunia yang tidak terkait langsung dengan penyampaian wahyu. Misalnya, peristiwa seperti beliau bermuka masam kepada seorang buta dalam Surah ‘Abasa dianggap sebagai bentuk kekeliruan manusiawi, bukan dosa. Kekeliruan tersebut kemudian dikoreksi oleh Allah melalui wahyu.

Selain Nabi Muhammad, sebagian ulama Sunni juga memperluas konsep kemaksuman secara terbatas kepada nabi-nabi lain, dalam kapasitas mereka sebagai penyampai wahyu. Namun, ulama Sunni pada umumnya tidak menganggap para sahabat, bahkan sahabat utama seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, sebagai maksum. Mereka dihormati dan diyakini memiliki integritas tinggi, tetapi tetap diakui bahwa mereka manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan.

Sebaliknya, dalam teologi Syiah Imamiyah, konsep ‘ishmah memiliki cakupan yang jauh lebih luas. Bagi Syiah, kemaksuman tidak hanya terbatas pada Nabi Muhammad Saw., tetapi juga meliputi putri beliau, Fathimah az-Zahra, serta dua belas imam keturunan Ali bin Abi Thalib. Menurut keyakinan ini, para imam adalah makhluk yang dipilih Allah untuk memimpin umat, dan mereka dijaga dari dosa dan kesalahan, baik besar maupun kecil.

Bagi Syiah, ‘ishmah bukan hanya soal menyampaikan wahyu, tetapi juga meliputi seluruh perilaku sehari-hari, keputusan politik, dan panduan spiritual. Mereka percaya bahwa jika seorang imam melakukan kesalahan, sekecil apa pun, maka kepercayaan umat terhadapnya akan runtuh. Oleh sebab itu, Allah memastikan bahwa para imam tetap suci dari dosa dan salah sejak lahir hingga wafat.

Dalam pandangan Syiah, ayat-ayat seperti Surah Al-Ahzab ayat 33 (“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”) menjadi dasar teologis utama untuk meyakini kemaksuman Ahlul Bait. Ayat ini, menurut tafsir Syiah, menegaskan bahwa keluarga Nabi diberikan perlindungan khusus oleh Allah dari dosa dan kekeliruan.

Perbedaan ini berdampak besar pada struktur otoritas keagamaan dalam kedua mazhab. Dalam Sunni, setelah wafatnya Nabi, otoritas keagamaan berpindah kepada komunitas umat (ijma’) dan para ulama. Tidak ada seorang individu yang dianggap maksum atau memiliki otoritas mutlak. Sedangkan dalam Syiah, otoritas tetap berada pada imam yang maksum, dan kehadiran imam dianggap penting untuk menjaga ajaran Islam tetap murni.

Bahkan dalam era ketiadaan imam (Ghaibah), Syiah mempercayakan urusan keagamaan kepada para marja’ (ulama tinggi), meskipun mereka tidak dianggap maksum seperti para imam. Namun, para marja’ berusaha meneladani ketakwaan dan keilmuan para imam dalam memimpin umat.

Salah satu implikasi penting dari perbedaan konsep ‘ishmah ini adalah pada sikap terhadap sejarah Islam. Dalam Sunni, para sahabat dianggap sebagai generasi terbaik, dan kritikan terhadap mereka sangat dibatasi. Sementara itu, dalam Syiah, beberapa sahabat dikritik karena dianggap telah menyimpang dari perintah Nabi, khususnya terkait suksesi kepemimpinan setelah wafatnya beliau. Sikap kritis ini berakar pada keyakinan bahwa hanya yang maksum yang layak menjadi pemimpin umat.

Perdebatan tentang ‘ishmah juga mencerminkan perbedaan pandangan tentang sifat manusia dan bimbingan ilahi dalam kehidupan beragama. Sunni lebih menekankan bahwa manusia, termasuk nabi dalam urusan duniawi, tetap memiliki sifat manusiawi yang tidak luput dari kekeliruan kecil. Sebaliknya, Syiah melihat ‘ishmah sebagai syarat mutlak bagi pemimpin spiritual untuk menjamin kesempurnaan bimbingan agama.

Meskipun demikian, baik Sunni maupun Syiah sepakat dalam hal-hal fundamental: bahwa Nabi Muhammad adalah sosok suci yang menjadi teladan utama bagi umat Islam. Semua perbedaan ini menunjukkan betapa luas dan beragamnya khazanah pemikiran dalam Islam, dan bagaimana umat Islam berusaha memahami hubungan antara manusia, kenabian, dan bimbingan ilahi.

Pada akhirnya, memahami perbandingan konsep ‘ishmah dalam Islam Sunni dan Syiah membuka wawasan kita tentang bagaimana dua tradisi besar ini memandang kesucian, otoritas, dan kepemimpinan dalam agama. Ini juga mengingatkan kita bahwa meskipun terdapat perbedaan teologis, semua Muslim tetap bersatu dalam kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa risalah kebenaran untuk seluruh umat manusia.

Continue Reading

Ruang Sujud

Makna Amanah dalam Kehidupan Sehari-hari: Lebih dari Sekadar Kepercayaan

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan sehari-hari, istilah amanah sering kita dengar, baik dalam percakapan ringan maupun dalam pembahasan serius seputar kepemimpinan dan tanggung jawab. Namun, amanah sebenarnya memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar kepercayaan biasa.

Secara bahasa, amanah berarti “dapat dipercaya,” namun dalam konteks yang lebih luas, amanah mencakup sikap menjaga titipan, menjalankan tugas dengan jujur, dan memenuhi janji dengan sungguh-sungguh. Seseorang yang amanah bukan hanya dipercaya karena ucapan manisnya, tetapi karena konsistensi tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Dalam kehidupan pribadi, bentuk amanah bisa sederhana, seperti menjaga rahasia teman, mengembalikan barang yang dipinjam, atau menepati janji waktu bertemu. Namun, hal-hal kecil inilah yang membangun karakter seseorang dan menjadi fondasi kepercayaan yang kokoh dalam hubungan sosial.

Dalam dunia profesional, amanah menjadi salah satu kualitas yang paling dicari. Seorang pekerja yang amanah akan melaksanakan tugasnya tanpa harus diawasi terus-menerus, menjaga kepentingan perusahaan, dan berlaku jujur meskipun ada peluang untuk berbuat curang. Ketidakamanan dan korupsi yang terjadi di berbagai sektor sering kali bermula dari pengkhianatan terhadap amanah yang diemban.

Lebih jauh lagi, amanah juga mencakup tanggung jawab sosial. Setiap posisi yang kita duduki, baik sebagai pelajar, guru, pemimpin, atau bahkan orang tua, membawa amanah untuk membimbing, mendidik, dan melindungi. Dalam Islam, amanah bahkan disebut sebagai salah satu ciri utama orang beriman, sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Mu’minun: 8).

Menyadari betapa beratnya amanah, kita seharusnya tidak meremehkan setiap kepercayaan yang diberikan. Menerima amanah berarti siap menanggung beban pertanggungjawaban, bukan hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, keikhlasan, kesungguhan, dan integritas adalah kunci untuk menjaga amanah dengan sebaik-baiknya.

Pada akhirnya, amanah bukan hanya soal menjaga kepercayaan orang lain, tetapi juga soal membentuk siapa diri kita sebenarnya. Ia adalah cermin dari kejujuran, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap nilai-nilai luhur dalam hidup bermasyarakat.

Continue Reading

Ruang Sujud

Amanah Sebagai Pilar Utama Kepemimpinan yang Berintegritas

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Kepemimpinan sejati tidak hanya dibangun oleh kecerdasan atau popularitas, melainkan oleh fondasi yang lebih mendalam: amanah. Dalam setiap level kepemimpinan, mulai dari memimpin diri sendiri hingga memimpin sebuah bangsa, amanah adalah pilar utama yang menentukan kualitas dan keberhasilan seorang pemimpin.

Amanah dalam kepemimpinan berarti menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh orang lain dengan penuh tanggung jawab. Pemimpin yang amanah memahami bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan sebuah beban yang harus dipertanggungjawabkan, baik kepada manusia maupun kepada Tuhan.

Sejarah mencatat bahwa pemimpin-pemimpin besar selalu dikenal dengan sikap amanah mereka. Nabi Muhammad SAW, misalnya, dikenal dengan gelar Al-Amin (yang terpercaya) jauh sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Keteladanan ini menunjukkan bahwa kepercayaan adalah syarat mutlak bagi siapa pun yang ingin memimpin dengan integritas.

Dalam praktiknya, amanah menuntut pemimpin untuk berlaku adil, mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, dan menjaga janji serta komitmen yang telah dibuat. Seorang pemimpin yang berintegritas tidak tergoda oleh suap, tidak berbohong demi mempertahankan kekuasaan, dan tidak memanipulasi rakyat untuk keuntungan diri sendiri.

Krisis kepemimpinan yang sering kita lihat hari ini, baik dalam skala kecil maupun besar, hampir selalu berakar dari pengkhianatan terhadap amanah. Ketika pemimpin lebih mementingkan citra daripada substansi, lebih memilih kekuasaan daripada pengabdian, maka kepercayaan publik pun perlahan runtuh.

Oleh sebab itu, membangun amanah dalam diri seorang pemimpin bukanlah tugas sekejap. Ia membutuhkan pembiasaan sikap jujur, ketulusan dalam melayani, serta keberanian untuk tetap memegang prinsip meski dalam tekanan. Kepemimpinan yang berintegritas tidak lahir dari ambisi kosong, tetapi dari komitmen kuat untuk menunaikan amanah dengan penuh tanggung jawab.

Akhirnya, kita harus memahami bahwa amanah bukan hanya syarat menjadi pemimpin yang baik, tetapi juga syarat menjadi manusia yang utuh. Pemimpin yang memegang amanah akan menumbuhkan kepercayaan, menciptakan perubahan yang berkelanjutan, dan meninggalkan warisan kebaikan yang tak lekang oleh waktu.

Continue Reading

Ruang Sujud

Menumbuhkan Sikap Amanah di Era Digital: Tantangan dan Solusi

Ahmad Munawir

Published

on

Monitorday.com – Di era digital yang serba cepat ini, amanah menjadi salah satu nilai yang semakin penting, namun juga semakin teruji. Kemudahan berinteraksi, berbagi informasi, hingga bertransaksi secara online membuka peluang besar untuk membangun kepercayaan, sekaligus membuka celah besar untuk pengkhianatan amanah.

Salah satu tantangan utama menumbuhkan amanah di era digital adalah anonimitas. Banyak orang merasa bebas berbuat curang atau menyebarkan informasi palsu karena merasa identitas mereka tersembunyi di balik layar. Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam interaksi sosial, tetapi juga dalam dunia bisnis digital, pendidikan daring, hingga pelayanan publik berbasis online.

Selain itu, budaya instan juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak orang tergoda untuk mengejar hasil cepat tanpa memperhatikan proses yang benar. Dalam konteks ini, sikap amanah—seperti jujur, bertanggung jawab, dan menjaga kepercayaan—seringkali terpinggirkan demi kepentingan sesaat.

Meski demikian, menumbuhkan sikap amanah di dunia digital tetap sangat mungkin dilakukan. Salah satu langkah penting adalah membangun kesadaran diri. Setiap individu harus sadar bahwa dunia digital tetap dunia nyata, dan setiap tindakan—baik atau buruk—akan membawa konsekuensi, baik secara sosial maupun moral.

Pendidikan karakter digital juga harus diperkuat, terutama bagi generasi muda. Melalui edukasi yang tepat, mereka diajarkan untuk memahami pentingnya menjaga data, menghormati privasi orang lain, bertanggung jawab atas konten yang dibagikan, serta menepati janji dalam setiap transaksi daring.

Di sisi lain, teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk memperkuat budaya amanah. Misalnya, penggunaan sistem verifikasi identitas, kontrak pintar (smart contract) dalam blockchain, hingga transparansi dalam platform digital bisa membantu memastikan bahwa kepercayaan yang dibangun tidak mudah disalahgunakan.

Pada akhirnya, era digital bukan alasan untuk melemahkan nilai amanah, melainkan medan baru untuk menguatkannya. Justru di tengah derasnya arus informasi dan interaksi tanpa batas, orang yang mampu menjaga amanah akan semakin menonjol dan dihormati. Karena amanah, di zaman apa pun, tetap menjadi kunci untuk membangun hubungan yang kokoh, dunia yang lebih adil, dan masa depan yang lebih cerah.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



News56 minutes ago

Erdogan Kembali Tegaskan Jalur Gaza Milik Palestina

Ruang Sujud4 hours ago

Bahaya Tajassus: Ketika Privasi Tak Lagi Dihargai

News5 hours ago

Indonesia-UEA Lanjutkan Kolaborasi Penguatan SDM Digital dan AI

News5 hours ago

Pembunuh Mantan PM Pakistan Dijatuhi Hukuman Seumur Hidup

News5 hours ago

Mendikdasmen Temui Prabowo, Bahas Finalisasi Program Sekolah Rakyat

Sportechment5 hours ago

Saingi Starlink, Amazon Luncurkan 27 Satelit Project Kuiper

News5 hours ago

10 Menteri Berkinerja Terbaik Versi IndoStrategi: Abdul Mu’ti Teratas, Raja Juli Antoni Masuk Daftar

Ruang Sujud7 hours ago

Tajassus dalam Al-Qur’an dan Hadis: Studi Etika Sosial Islam

News9 hours ago

Arab Saudi Ultimatum Keras Haji Tanpa Izin

Ruang Sujud11 hours ago

Menjaga Kehormatan Sesama: Menghindari Tajassus di Era Digital

News12 hours ago

Pertanian Jadi Prioritas, Zulhas Dorong Swasembada

News13 hours ago

Golkar Tanggapi Tuntutan Purnawirawan TNI

Review13 hours ago

Usulan Pemakzulan Gibran Dinilai Sulit Dilakukan

News13 hours ago

Gibran Raih Kepuasan Tertinggi, Apa Saja Keberhasilannya?

News13 hours ago

Tak Mau Menunggu Lama, Haji Furoda Masih Jadi Alternatif

Sportechment15 hours ago

Kontra Inter Milan, Lamine Yamal Siap Ukir Sejarah Bareng Barcelona

Ruang Sujud15 hours ago

Tajassus dalam Islam: Antara Larangan dan Pengecualian

Sportechment15 hours ago

Brad Pitt Bintangi The Riders, Adaptasi Novel Misteri dari Tim Winton

Sportechment15 hours ago

Donnarumma Jadi Tembok Kokoh Bikin Arsenal Ambyar di Emirates

Sportechment24 hours ago

PEVS 2025: SUV Seres 3 Resmi Mengaspal, Segini Harganya