Connect with us

News

Baliah dan Ironi Pembangunan Desa

Ma'ruf Mutaqien

Published

on

NAMANYA BALIAH, wanita paruh baya ini viral di media sosial. Gegara caranya mengemis. Mengunakan jilbab instan warna biru, wanita tua ini tak henti-henti mengatakan ‘Aa kasihan Aa’ sambil menyodorkan baskom kecil berwarna abu-abu.

Cara uniknya dalam meminta belas kasihan ini telah menciptakan kesan yang mendalam di kalangan netizen. Bukan caci maki, melainkan empati.

Beberapa youtuber ikut penasaran. Mendatangi rumahnya, yang ternayta berada di sebuah gang sempit. Jauh dari kata mewah. Letaknya ada di sebuah kantor desa, jika diukur tak sampe 100 meter dengan cat rumah yang sudah lusuh.

Kutukan sumber daya alam

Baliah sebetulnya wanita baik, ia terpaksa meminta belas kasihan tiap hari Sabtu dan Minggu di kawasan wisata Gunung Salak Endah karena kondisi suami yang seorang disabilitas.

“Ayah sering menepuk-nepuk ibu karena ia memang tak bisa mendengar, seorang tuna rungu,” ujar anaknya yang kini duduk di sekolah dasar dan bercita-cita menjadi seorang dokter.

Baliah adalah sebuah ironi. Tinggal di samping kantor desa, namun hidup meminta-minta. Sudah dua tahun lamanya.

Lokasi desa tempat Baliah tinggal juga tak jauh dari istana. Jika lewat jalur biasa, jaraknya sekira 2 jam perjalanan. Jika lewat jalur pintas, meyusuri Bukit Nirwana, Jungle lalu Curug Luhur bisa lebih dekat lagi.

Kecamatan Pamijahan, dan termasuk Desa Ciasihan, tempat Baliah tinggal sebetulnya punya potensi wisata alam yang luar biasa. Tak kalah dari puncak yang selama ini lebih banyak diberi perhatian.

Lokasi tempat Baliah mengemis adalah salah satunya. Kawasan Gunung Salak Endah yang merupakan surganya destinasi wisata alam. Mulai dari objek wisata curug, air panas, kebun pinus, telaga, mata air, hingga kebun teh.

Ikan-ikan yang ditanam dengan memanfaatkan aliran mata air dari kawasan ini disebut memiliki rasa paling nikmat. Karena selain bersih, alirannya sangat deras.

Menariknya lagi, dari desa ini akses ke pelabuhan ratu menjadi lebih dekat dibanding lewat Sukabumi yang harus melewati kemacetan berjam-jam. Cukup naik ke kawasan Kebun Teh Cianten Herang, kita bisa langsung via cikidang ke Pelabuhan Ratu.

Itulah mengapa, jika musim liburan tiba. Terutama Lebaran, jalur Kebun Teh Cianten – Pelabuhan Ratu ini tak pernah sepi, dari pagi hingga pagi lagi.

Angkutan bus dari Pelabuhan Ratu ke Leuwiliang juga suda bisa memanfaatkan jalur ini. meski jalannya masih seperti dulu, berbatu. Jika musim hujan tiba, sebagian jalan di jalur ini jadi becek dan berlumpur.

Karena tak dikelola dengan baik dan minim sokongan dari pemangku kebijakan, desa tempat tinggal Baliah seolah menjadi kutukan, bukan berkah [the resource curse].

Ironi pembangunan desa

Fenomena Baliah juga sekaligus menguak persoalan pembangunan desa saat ini yang meski pun sudah digelontorkan dana miliaran rupiah, kondisinya sama saja. Dari dulu, hingga sekarang.

Dari dulu, akses ke desa ciasihan tetap saja harus melewati jalan berbatu. Beberapa lokasi di sekitar perkebunan teh Cianten masih memanfaatkan listrik tenaga hidro. Profesi mereka juga masih sama, petani, menanam ikan, hingga menyadap pohon aren dan mengolahnya menjadi gula merah.

Catatan penting tentu harus diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Bogor, yang terlalu memusatkan pembangunan di Kawasan Puncak. Sementara desa-desa di bagian Selatan dan Barat seperti anak tiri.

Fenomena Baliah mestinya menggugah semua pihak. Termasuk Pemerintah Pusat yang saat ini masih menghentikan moratorium pemekaran daerah. Padahal, rencana pemekaran daerah Bogor Barat ini sudah masuk tahap final.

Pihak lain yang harus disorot adalah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi [Kemendes PDTT]. Yang sejak awal seperti disebut di Laporan Majalah Tempo sudah terindikasi kasus jual beli jabatan.

Belum lagi, menurut KPK [2022], korupsi dana desa menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya pelayanan publik kepada masyarakat yang ada di desa seperti tempat tinggal Baliah.

Korupsi tersebut, kata KPK terjadi karena besarnya nilai alokasi dana desa setiap tahunnya. Serta tidak dipatuhinya prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa.

Sementara mengacu pada data Indonesia Corruption Watch [ICW], sejak mengucurkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi dana desa makin terbang tinggi. Pada 2016, jumlah kasus korupsi dana desa sudah ada 17 kasus. Enam tahun kemudian, di tahun 2022 jumlahnya melonjak hingga 155 kasus.

Total sudah ada 252 tersangka yang ditangkap. Kerugiannya cukup fantastis, mencapai Rp381 miliar. Titik rawannya, kata ICW ada di proses perencanaan, pelaksanaan, pengadaan barang dan jasa, pertanggungjawaban, hingga monitoring dan evaluasi.

Semoga munculnya Baliah dapat mengetuk semua pihak. Tidak hanya untuk mengubah nasib Baliah seorang. Namun Baliah-Baliah lainnya yang berada di desa-desa terpencil yang selama ini kurang diberi perhatian.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *