Connect with us

Ruang Sujud

Birrul Walidain: Kunci Utama Meraih Ridha Allah dan Surga-Nya

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, berbakti kepada kedua orang tua atau birrul walidain merupakan amal yang sangat agung dan memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah SWT. Perintah untuk memuliakan orang tua selalu disebutkan dalam Al-Qur’an berdampingan dengan perintah untuk menyembah Allah semata. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan orang tua dalam kehidupan seorang Muslim bukan sekadar hubungan biologis, tetapi juga menjadi tanggung jawab spiritual yang besar.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Isra ayat 23: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” Ayat ini bukan hanya menjadi dasar hukum untuk berbakti, tetapi juga penegasan bahwa setelah tauhid, birrul walidain adalah ketaatan terbesar dalam Islam.

Berbakti kepada orang tua tidak terbatas pada ucapan hormat semata, tetapi mencakup perbuatan yang nyata: membantu, merawat, mendoakan, menjaga perasaan mereka, dan menjauhkan diri dari segala bentuk perilaku yang menyakitkan hati mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan bahwa keridhaan Allah bisa diraih melalui hubungan yang baik dan penuh hormat kepada ayah dan ibu.

Menariknya, Islam sangat menekankan urgensi birrul walidain bahkan di atas amal-amal ibadah lainnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud RA, ia bertanya kepada Nabi SAW: “Amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Nabi menjawab: “Shalat pada waktunya.” Lalu ia bertanya lagi: “Kemudian apa?” Nabi menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa bakti kepada orang tua adalah amal utama setelah shalat.

Bakti kepada orang tua juga menjadi sarana untuk menghapus dosa dan mendapatkan keberkahan hidup. Banyak kisah dari para salafush shalih menunjukkan bagaimana mereka begitu memuliakan orang tuanya hingga Allah memberikan pertolongan luar biasa dalam hidup mereka. Salah satu kisah yang masyhur adalah tentang Uwais al-Qarni, seorang tabi’in yang tidak pernah bertemu Nabi secara langsung, tetapi karena baktinya yang luar biasa kepada ibunya, ia disebutkan secara khusus oleh Nabi dan dianjurkan untuk dimintai doa oleh para sahabat.

Birrul walidain juga merupakan ujian keikhlasan. Terkadang, berbakti kepada orang tua membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, bahkan cita-cita pribadi. Namun semua itu adalah investasi akhirat. Ketika seorang anak merawat orang tuanya yang sudah sepuh, atau bersabar dengan sikap mereka yang mungkin berubah seiring usia, maka itu adalah ladang pahala yang besar. Dalam Islam, tidak ada usia pensiun untuk birrul walidain. Selama orang tua masih hidup, bakti harus terus dilakukan. Bahkan setelah mereka wafat, kita tetap bisa berbakti dengan mendoakan, menyambung silaturahmi dengan kerabat mereka, dan melaksanakan wasiat-wasiat mereka yang tidak bertentangan dengan syariat.

Sayangnya, di zaman modern ini, birrul walidain sering kali terpinggirkan. Kesibukan dunia, gaya hidup individualistis, dan pola pikir materialistik membuat banyak orang melupakan peran orang tua dalam kehidupan mereka. Rumah-rumah orang tua sepi dari kunjungan anak-anaknya, padahal mereka dulu membesarkan kita tanpa pernah mengeluh. Inilah sebabnya mengapa kita perlu kembali menanamkan nilai birrul walidain dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sejak usia dini.

Untuk itu, pendidikan birrul walidain harus dimulai dari rumah dan didukung oleh lingkungan. Anak-anak harus diajarkan bahwa orang tua bukan hanya untuk dihormati karena telah melahirkan, tetapi juga karena mereka adalah wasilah kehidupan dan perantara rahmat Allah. Sekolah dan institusi sosial juga sebaiknya ikut mengampanyekan nilai-nilai hormat kepada orang tua, karena ini bukan hanya ajaran agama, tetapi juga moral universal.

Akhirnya, birrul walidain adalah jalan pintas menuju surga yang sering diabaikan. Rasulullah SAW bersabda: “Celaka, celaka, celaka!” Lalu para sahabat bertanya, “Siapa yang celaka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang mendapati kedua orang tuanya telah lanjut usia, salah satu atau keduanya, lalu ia tidak masuk surga (karena tidak berbakti).” (HR. Muslim). Hadis ini mengingatkan bahwa kesempatan meraih surga bisa jadi sangat dekat, tinggal bagaimana kita memperlakukan ayah dan ibu kita.

Berbakti kepada orang tua bukanlah beban, melainkan kehormatan. Ia adalah bentuk syukur kepada Allah atas nikmat kehidupan. Ia juga merupakan investasi pahala yang terus mengalir dan menjadi sumber keberkahan hidup. Maka, sebelum waktu berpisah datang, mari tunaikan hak orang tua dengan sepenuh hati. Ridha mereka adalah jalan lapang menuju ridha-Nya. Dan dalam kerut wajah mereka, terdapat doa-doa yang bisa membuka pintu-pintu surga untuk kita.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ruang Sujud

Mengapa Umat Islam Mengucapkan Istirja’? Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Ucapan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un atau istirja’ sering kita dengar ketika seseorang mendapat kabar duka atau tertimpa musibah. Namun, di balik kalimat yang tampak sederhana ini, tersimpan ajaran besar yang bersumber langsung dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.

Dalam Al-Qur’an, istirja’ disebutkan secara eksplisit dalam Surah Al-Baqarah ayat 156 sebagai ciri khas orang-orang yang sabar ketika ditimpa musibah:
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.’”
Ayat ini menjadi dasar utama mengapa umat Islam diajarkan untuk mengucapkannya setiap kali mendapat ujian hidup. Ucapan ini bukan hanya doa, tapi juga deklarasi iman: bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Selain dari Al-Qur’an, banyak hadis yang menunjukkan bagaimana Rasulullah SAW menggunakan istirja’ dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya, ketika beliau menerima kabar kematian cucunya, ia menyuruh para sahabat untuk bersabar dan mengucapkan istirja’. Dalam hadis riwayat Muslim, disebutkan bahwa Nabi bersabda:
“Barang siapa yang ditimpa musibah lalu ia mengucapkan istirja’ dan berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah pahala dalam musibah ini dan gantilah dengan yang lebih baik,’ maka Allah akan memberinya pahala dan menggantinya dengan yang lebih baik.”

Dari dalil-dalil tersebut, jelas bahwa istirja’ bukan sekadar ucapan spontan atau simbol duka, melainkan sikap spiritual yang berakar pada keyakinan terhadap takdir Allah. Ia melatih hati untuk menerima kenyataan hidup dengan sabar dan tawakal, sekaligus membuka pintu pahala dan pengampunan.

Maka dari itu, umat Islam diajarkan untuk membiasakan istirja’ tidak hanya saat kematian, tetapi juga dalam berbagai bentuk musibah—kehilangan harta, tertimpa bencana, kegagalan, bahkan rasa sakit. Ini menumbuhkan kesadaran bahwa hidup ini milik Allah dan semuanya akan kembali pada-Nya dengan cara yang telah Dia tentukan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Istirja’ dalam Islam: Respon Bijak Saat Musibah Menimpa

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Musibah adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa dihindari. Dalam Islam, respon terbaik ketika menghadapi ujian berat adalah dengan mengucapkan kalimat istirja’: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ucapan ini bukan hanya tradisi, tetapi bentuk keimanan yang kuat kepada Allah SWT.

Istirja’ tercantum dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surah Al-Baqarah ayat 156, yang menyebutkan bahwa orang-orang sabar ketika ditimpa musibah adalah mereka yang berkata, “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.” Kalimat ini menunjukkan penerimaan bahwa segala sesuatu yang kita miliki bukan milik kita sejati, melainkan milik Allah yang berhak mengambilnya kapan saja.

Rasulullah SAW memberikan teladan dalam menghadapi musibah. Ketika putranya, Ibrahim, wafat dalam usia kecil, beliau menitikkan air mata namun tetap mengucapkan istirja’. Ini menunjukkan bahwa menangis itu manusiawi, tapi hati tetap berserah kepada takdir Allah.

Mengucapkan istirja’ tidak serta-merta menghilangkan rasa sedih, tapi ia menjaga agar kesedihan itu tidak berubah menjadi putus asa. Istirja’ membantu jiwa tetap tenang, menerima takdir, dan yakin bahwa ada hikmah di balik semua kejadian. Ia menjadi zikir yang penuh makna dalam momen-momen paling gelap dalam hidup.

Di balik istirja’, ada pelajaran besar tentang kerendahan hati dan kepasrahan. Kita diajak untuk tidak menggenggam dunia terlalu erat, sebab pada akhirnya, semua akan kembali kepada Sang Pencipta. Dan dengan itulah, seorang Muslim akan tetap kokoh walau dunia runtuh di sekelilingnya.

Continue Reading

Ruang Sujud

Makna dan Hikmah Istirja’: Mengucap Innalillahi dalam Ujian Kehidupan

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam hidup, musibah adalah bagian yang tak terhindarkan. Setiap manusia pasti akan diuji dengan hal-hal yang menyedihkan—entah itu kehilangan orang yang dicintai, harta benda, kesehatan, atau harapan. Dalam Islam, ketika hal itu terjadi, kita diajarkan untuk mengucapkan istirja’: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, yang berarti “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.”

Kalimat ini bukan sekadar ucapan duka, tetapi pernyataan iman. Dengan istirja’, seorang Muslim menyadari bahwa semua yang dimiliki sejatinya adalah titipan dari Allah. Maka saat Allah mengambilnya kembali, seorang hamba tidak marah atau kecewa, tetapi mengingat bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara.

Hikmah dari istirja’ sangat mendalam. Ia menenangkan jiwa yang terguncang, memperkuat hati yang sedang patah, dan menumbuhkan kesadaran bahwa hidup ini berada dalam kendali Allah. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 156, Allah memuji orang-orang yang berkata demikian saat ditimpa musibah. Dan di ayat selanjutnya (QS. Al-Baqarah: 157), Allah menjanjikan rahmat dan petunjuk bagi mereka.

Dengan mengucapkan istirja’, seorang Muslim belajar untuk sabar (shabr) dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah (tawakal). Ia tidak menolak kenyataan, tapi menghadapinya dengan kekuatan iman. Inilah yang membedakan reaksi orang beriman dengan mereka yang hanya bersandar pada logika dan emosi semata.

Mengucapkan istirja’ secara sadar adalah bentuk ibadah hati. Ia menghubungkan manusia dengan Tuhannya di saat-saat paling rapuh. Dan dalam hubungan itulah, seorang hamba mendapatkan ketenangan, kekuatan, dan harapan untuk terus melangkah.

Continue Reading

Ruang Sujud

Ketika Bakti pada Orang Tua Menjadi Jalan Hidup yang Diberkahi

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Hidup yang penuh berkah bukan semata tentang banyaknya harta atau tingginya jabatan, tetapi tentang hati yang tenang, keluarga yang harmonis, dan langkah-langkah yang dimudahkan Allah. Salah satu jalan utama untuk meraih keberkahan hidup itu adalah dengan birrul walidain, atau berbakti kepada kedua orang tua. Dalam banyak kisah, kita melihat bahwa bakti pada orang tua bukan hanya membawa ridha Allah, tetapi juga menghadirkan keajaiban dalam kehidupan seorang anak.

Bakti kepada orang tua bukanlah sekadar tanggung jawab moral atau adat istiadat. Dalam Islam, hal ini merupakan ibadah besar yang langsung terkait dengan keberkahan hidup. Allah SWT menggandengkan perintah menyembah-Nya dengan perintah berbuat baik kepada orang tua dalam berbagai ayat Al-Qur’an, salah satunya dalam Surah Luqman ayat 14: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya…” Ini menunjukkan bahwa menghormati dan menyayangi orang tua adalah bagian dari penghambaan kita kepada Allah.

Keberkahan hidup yang diperoleh dari birrul walidain bisa hadir dalam berbagai bentuk. Ada yang diberikan rezeki yang tak disangka-sangka, ada yang dimudahkan urusannya, ada pula yang diberikan kesehatan dan ketenangan jiwa yang luar biasa. Hal ini tidak lepas dari doa orang tua yang terus mengalir, terutama ketika sang anak berperilaku baik dan tulus kepada mereka. Doa dari lisan seorang ibu atau ayah memiliki kekuatan luar biasa yang mampu menembus langit.

Salah satu kisah yang banyak diceritakan adalah tentang seorang pemuda yang sukses menjadi pengusaha kaya di usia muda. Ketika ditanya rahasianya, ia menjawab bahwa sejak kecil, ia terbiasa mencium tangan ibunya sebelum berangkat kerja, tidak pernah membantah perintah orang tuanya, dan selalu menyisihkan penghasilannya untuk membantu kebutuhan mereka. Ia percaya bahwa keberhasilannya bukan hanya hasil kerja keras, tetapi juga karena keberkahan dari birrul walidain.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa ingin panjang umur dan bertambah rezekinya, maka hendaklah ia bersilaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Salah satu bentuk silaturahmi utama adalah kepada orang tua. Ketika kita menjaga hubungan baik, berbicara lembut, dan memenuhi hak-hak mereka, maka Allah membalas dengan umur yang berkah dan rezeki yang luas.

Namun, tak sedikit orang yang mengabaikan bakti kepada orang tua karena merasa sudah mandiri atau merasa mereka terlalu sibuk dengan urusan dunia. Mereka baru menyadari nilai besar dari orang tua ketika sosok itu telah tiada. Padahal, kebersamaan dengan orang tua adalah kesempatan emas yang tidak akan terulang. Ketika masih ada kesempatan, peluk mereka, dengarkan keluh kesahnya, bahagiakan mereka dengan hal-hal sederhana—karena semua itu adalah kunci datangnya rahmat Allah.

Bakti kepada orang tua juga bukan hanya berlaku bagi anak yang masih muda. Ia berlaku sepanjang hidup, bahkan setelah kita menikah, bekerja, atau memiliki keluarga sendiri. Seorang anak tetap memiliki kewajiban untuk menjaga komunikasi, membantu secara finansial jika mampu, dan yang terpenting: mendoakan orang tua setiap hari. Dalam Surah Al-Isra ayat 24, Allah mengajarkan kita doa yang indah: “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu kecil.”

Ada pula bentuk keberkahan yang lebih dalam: hidup yang penuh petunjuk dan jauh dari kesesatan. Seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya akan lebih dijaga hatinya dari keburukan, karena kebaikan kepada orang tua membuka pintu-pintu kebaikan lainnya. Bahkan dalam ilmu tasawuf, birrul walidain dianggap sebagai salah satu kunci utama untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Tentu saja, bentuk bakti kepada orang tua bisa beragam tergantung pada kondisi. Ada yang bisa menafkahi orang tuanya, ada yang merawatnya di usia senja, dan ada pula yang terus mendoakan karena orang tuanya telah wafat. Yang terpenting adalah niat tulus dan usaha nyata untuk menjaga kehormatan mereka dan memperlakukan mereka dengan penuh cinta.

Di sisi lain, kita harus waspada terhadap perilaku yang menyakiti hati orang tua, baik dengan ucapan kasar, sikap acuh, atau mengabaikan mereka. Dalam Surah Al-Isra ayat 23, Allah melarang kita berkata “ah” sekalipun kepada orang tua. Artinya, bahkan rasa kesal kecil pun harus dikendalikan demi menjaga adab kepada mereka. Jika perkataan kecil saja bisa berdosa, apalagi tindakan kasar atau melupakan mereka sama sekali.

Sebagai penutup, mari kita renungkan satu hal: jika ingin hidup yang penuh berkah, yang jalan-jalannya dimudahkan, yang hati kita dijaga dari kegelisahan, maka mulailah dari rumah. Dekatkan diri pada orang tua, bahagiakan mereka, dan jadikan mereka sebagai pintu utama menuju ridha Allah. Karena keberkahan sejati sering kali tidak datang dari luar, tetapi dari doa dan ridha orang tua yang kita abaikan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Birrul Walidain dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis Nabi

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Birrul walidain atau berbakti kepada orang tua adalah salah satu ajaran inti dalam Islam yang mendapat perhatian besar dari Al-Qur’an dan hadis Nabi. Tak hanya sebagai adab sosial, birrul walidain merupakan ibadah yang memiliki nilai tinggi dalam pandangan Allah. Bahkan, dalam beberapa ayat, perintah untuk berbakti kepada orang tua disandingkan langsung dengan perintah mentauhidkan Allah. Ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan orang tua dalam Islam dan bagaimana birrul walidain menjadi jalan utama menuju ridha Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang kewajiban dan keutamaan berbakti kepada kedua orang tua. Salah satunya adalah firman Allah dalam Surah Al-Isra ayat 23:

> “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Ayat ini sangat tegas. Allah melarang bahkan perkataan sekecil “ah” yang menunjukkan rasa kesal atau tidak hormat kepada orang tua. Ini menjadi dasar penting bahwa dalam Islam, bakti kepada orang tua bukan hanya dalam bentuk fisik dan materi, tetapi juga dalam adab, tutur kata, dan perasaan.

Lebih lanjut, Surah Luqman ayat 14-15 juga memberikan panduan yang jelas:

> “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu; hanya kepada-Kulah kembalimu.”

Ayat ini menekankan betapa besar pengorbanan orang tua, khususnya ibu. Mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan adalah proses penuh perjuangan. Maka, wajar jika Allah menuntut balasan berupa bakti, hormat, dan cinta yang tulus dari anak-anak mereka.

Dari sisi hadis, Rasulullah SAW juga banyak memberikan penekanan tentang pentingnya birrul walidain. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah ditanya oleh sahabat:

> “Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Ia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.”

Hadis ini menunjukkan bahwa birrul walidain berada di urutan kedua setelah shalat dalam hal amal yang paling dicintai Allah. Ini menegaskan bahwa ibadah vertikal harus diiringi dengan ibadah horizontal, salah satunya adalah terhadap orang tua.

Dalam hadis lain, Rasulullah juga menjelaskan bahwa dosa durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar. Dalam riwayat Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda:

> “Maukah kalian aku kabarkan dosa besar yang paling besar?” Para sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”

Ini adalah peringatan keras. Seorang Muslim tidak hanya harus menjaga akidahnya dari syirik, tetapi juga menjaga akhlaknya terhadap orang tua agar tidak jatuh ke dalam dosa durhaka. Bahkan jika orang tua bukan Muslim, Islam tetap memerintahkan anaknya untuk memperlakukan mereka dengan baik selama tidak diperintah melakukan maksiat.

Birrul walidain juga menjadi salah satu sebab seseorang masuk surga. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:

> “Celaka seseorang, celaka seseorang, celaka seseorang.” Lalu para sahabat bertanya, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dalam usia lanjut, namun ia tidak masuk surga (karena tidak memanfaatkannya untuk berbakti).” (HR. Muslim)

Hadis ini menggambarkan bahwa kehadiran orang tua di masa tua adalah ladang amal yang luas. Siapa yang menyia-nyiakan kesempatan itu, ia adalah orang yang merugi.

Dalam praktiknya, birrul walidain bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bagi yang masih tinggal bersama orang tua, bentuknya bisa berupa membantu kebutuhan harian, memperlakukan mereka dengan lembut, dan menuruti keinginan mereka selama tidak bertentangan dengan syariat. Bagi yang sudah hidup terpisah atau orang tuanya telah tiada, birrul walidain tetap bisa dilakukan melalui doa, sedekah atas nama mereka, menjaga silaturahmi dengan kerabat mereka, dan meneruskan cita-cita baik mereka.

Ulama seperti Imam Nawawi menyebutkan bahwa birrul walidain merupakan kewajiban sepanjang hayat. Bahkan setelah wafat pun, anak masih bisa berbakti dengan memperbanyak doa dan amal jariyah atas nama orang tua.

Kesimpulannya, birrul walidain bukan hanya ajaran moral, tapi merupakan kewajiban syar’i yang berperan besar dalam menentukan arah hidup seseorang di dunia dan akhirat. Al-Qur’an dan hadis Nabi memberikan panduan yang sangat jelas dan tegas akan hal ini. Maka, selama orang tua masih ada, mari kita rawat mereka dengan sepenuh hati. Dan jika mereka telah tiada, jangan pernah lelah mendoakan dan menghormati mereka melalui amal-amal terbaik.

Continue Reading

Ruang Sujud

Bahaya Tajassus: Ketika Privasi Tak Lagi Dihargai

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Bayangkan sedang duduk santai, lalu seseorang diam-diam membaca isi chat di ponselmu. Nggak nyaman, kan? Itulah yang disebut dengan tajassus—perilaku mengintip atau memata-matai orang lain tanpa izin. Dalam Islam, tajassus bukan hanya tidak sopan, tapi juga bisa berdampak buruk secara sosial dan spiritual.

Tajassus merusak kepercayaan. Di dalam sebuah komunitas atau keluarga, kepercayaan adalah fondasi utama. Begitu seseorang merasa diawasi diam-diam, hubungan bisa retak. Rasa saling percaya berubah jadi curiga, dan suasana pun jadi tak sehat. Dalam jangka panjang, masyarakat yang saling mencurigai akan kehilangan solidaritas dan kasih sayang.

Tak hanya itu, tajassus bisa memicu dosa-dosa lain. Ketika seseorang sudah terbiasa mencari-cari aib orang lain, godaan untuk menyebarkannya sangat besar. Padahal, membuka aib orang lain bisa berujung pada gibah, fitnah, bahkan merusak nama baik seseorang tanpa alasan yang jelas. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Di zaman serba digital ini, bentuk tajassus semakin beragam. Dari menyadap pesan pribadi, membuka akun media sosial orang tanpa izin, hingga memasang aplikasi pelacak lokasi. Semua ini sering dianggap sepele, padahal secara etika dan agama, itu termasuk pelanggaran terhadap privasi dan kehormatan manusia.

Yang lebih mengkhawatirkan, tajassus bisa memicu konflik yang lebih besar. Informasi yang diperoleh dari kegiatan memata-matai sering kali disalahartikan, dipotong-potong, atau digunakan untuk menjatuhkan seseorang. Maka tak heran jika tajassus sering jadi pemantik keributan di rumah tangga, pertemanan, bahkan ranah politik.

Bahaya tajassus bukan hanya pada orang yang jadi korban, tapi juga pada pelakunya. Semakin sering seseorang mencari-cari kesalahan orang lain, semakin ia terjebak dalam dosa dan lupa memperbaiki dirinya sendiri. Padahal, dalam Islam kita diajarkan untuk fokus pada perbaikan diri, bukan sibuk menilai hidup orang lain.

Kesimpulannya, tajassus adalah praktik yang merusak. Ia menghancurkan privasi, menurunkan martabat, dan menodai nilai-nilai Islam yang luhur. Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang damai dan saling percaya, maka menjauhi tajassus adalah salah satu langkah awal yang penting.

Continue Reading

Ruang Sujud

Tajassus dalam Al-Qur’an dan Hadis: Studi Etika Sosial Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan sosial, Islam punya panduan etika yang luar biasa lengkap. Salah satunya adalah soal tajassus—perilaku memata-matai atau mencari-cari kesalahan orang lain secara diam-diam. Al-Qur’an dan Hadis memberikan perhatian serius terhadap tindakan ini, karena tajassus bisa merusak tatanan sosial yang damai dan beradab.

Di dalam Al-Qur’an, larangan tajassus disebut secara eksplisit dalam Surah Al-Hujurat ayat 12:
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…”
Ayat ini muncul dalam konteks menjaga harmoni antarumat Islam, terutama di tengah masyarakat yang bisa saja saling curiga dan berselisih. Tajassus dipandang sebagai gerbang menuju gibah (menggunjing) dan fitnah, dua dosa sosial yang juga sangat dikecam.

Sementara itu, dalam Hadis Nabi Muhammad SAW, kita juga menemukan pesan yang kuat. Rasulullah bersabda:
“Janganlah kalian saling hasad, saling membenci, saling memata-matai, saling membocorkan rahasia, dan jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pesan ini sangat jelas: Islam menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dan menolak semua bentuk intrusi ke dalam kehidupan pribadi orang lain. Tajassus bukan hanya soal perilaku, tapi juga mencerminkan hati yang kotor—penuh prasangka dan keinginan untuk menjatuhkan orang lain.

Namun, Al-Qur’an dan Hadis juga menunjukkan bahwa Islam tidak bersifat hitam-putih. Dalam beberapa kasus tertentu, tindakan mirip tajassus bisa dibenarkan—misalnya dalam konteks penegakan hukum atau perlindungan masyarakat dari kejahatan. Tapi tetap, itu harus dilakukan oleh pihak berwenang dengan etika dan batasan yang jelas.

Ulama tafsir seperti Imam Al-Qurtubi menegaskan bahwa larangan tajassus dalam Al-Qur’an bertujuan untuk menjaga marwah manusia dan mencegah keretakan sosial. Dalam pandangan Islam, kehormatan seseorang itu suci, dan tidak boleh dicederai dengan prasangka atau pengintaian yang tidak perlu.

Etika sosial Islam bukan hanya soal ibadah ritual, tapi juga bagaimana kita memperlakukan orang lain. Tajassus adalah pelanggaran terhadap adab itu. Bahkan, dalam banyak kasus, Islam lebih memilih seseorang menutup aib saudaranya daripada mengungkapnya, selama tidak membahayakan orang lain.

Jadi, jika kita benar-benar ingin menerapkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis dalam kehidupan sehari-hari, salah satu kuncinya adalah: jangan ikut campur urusan yang bukan milik kita, dan jangan jadi detektif tanpa alasan.

Continue Reading

Ruang Sujud

Menjaga Kehormatan Sesama: Menghindari Tajassus di Era Digital

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Kita hidup di zaman serba digital, di mana semua serba terbuka dan cepat. Sayangnya, keterbukaan ini juga membuka peluang bagi perilaku yang dilarang dalam Islam—salah satunya adalah tajassus, alias memata-matai atau mengintip kehidupan pribadi orang lain.

Dulu, tajassus dilakukan secara fisik: mengintip dari balik pintu, mengikuti seseorang diam-diam, atau menyadap pembicaraan. Tapi sekarang, semuanya bisa dilakukan hanya lewat layar. Buka media sosial, lihat story seseorang tanpa izin, intip DM orang lain, atau pasang aplikasi pelacak lokasi—semuanya termasuk tajassus versi digital.

Islam memandang privasi sebagai hak dasar setiap manusia. Dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 27, Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.”
Ayat ini bisa kita perluas maknanya ke dunia digital: jangan asal buka akun, pesan, atau informasi pribadi orang lain tanpa izin. Sama saja seperti masuk rumah orang seenaknya.

Di era digital, menjaga kehormatan sesama jadi tantangan besar. Informasi pribadi begitu mudah disebarkan. Satu tangkapan layar bisa viral, satu video pribadi bisa hancurkan reputasi. Di sinilah pentingnya kontrol diri dan kesadaran etis. Jangan karena penasaran, kita malah melanggar batas-batas yang telah Allah tetapkan.

Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang mengintip rumah orang tanpa izin, maka halal bagi mereka untuk melukai matanya.” (HR. Muslim)
Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam dalam menjaga privasi dan kehormatan pribadi.

Lalu, bagaimana cara kita menghindari tajassus di era digital? Pertama, jaga niat. Jangan jadikan rasa ingin tahu sebagai alasan untuk membongkar hal-hal yang bukan urusan kita. Kedua, biasakan berpikir sebelum bertindak: “Kalau ini terjadi padaku, apakah aku rela?” Ketiga, lindungi data dan privasi orang lain seperti kita ingin data kita dijaga.

Lebih dari sekadar dosa, tajassus adalah tanda bahwa kita belum bisa menahan diri dari campur tangan urusan orang lain. Islam mengajarkan kita untuk fokus memperbaiki diri, bukan sibuk menjadi pengawas kehidupan orang lain.

Menjaga kehormatan sesama adalah bagian dari iman. Di dunia nyata maupun digital, adab tetap nomor satu. Jangan biarkan jari kita menjadi alat tajassus yang mencederai nilai-nilai Islam.

Continue Reading

Ruang Sujud

Tajassus dalam Islam: Antara Larangan dan Pengecualian

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap mendengar istilah “tajassus”, terutama dalam konteks sosial atau media digital. Tajassus secara sederhana berarti kegiatan mengintip, memata-matai, atau mencari-cari kesalahan orang lain secara diam-diam. Dalam Islam, tindakan ini tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran etika sosial, tetapi juga dilarang dalam Al-Qur’an.

Larangan tajassus secara eksplisit dapat ditemukan dalam Surah Al-Hujurat ayat 12: “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus), dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…” Ayat ini jelas menunjukkan bahwa mencari-cari aib orang lain adalah tindakan tercela.

Namun menariknya, Islam juga mengenal pengecualian terhadap larangan tajassus, terutama dalam konteks hukum dan keadilan. Misalnya, dalam sistem peradilan, penyelidikan oleh aparat untuk mengungkap kejahatan tidak dianggap sebagai tajassus yang dilarang, asalkan dilakukan dengan adab dan tidak melampaui batas. Tujuan dan niat menjadi kunci pembeda antara tajassus yang dilarang dan bentuk pengawasan yang dibolehkan.

Ulama membedakan tajassus untuk kepentingan pribadi (yang dilarang) dan tajassus yang ditujukan untuk menjaga maslahat umum (yang bisa dibolehkan). Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa mencari-cari kesalahan orang lain tanpa alasan yang syar’i bisa merusak tatanan sosial dan melahirkan kebencian.

Di era digital saat ini, tajassus menjadi lebih mudah dilakukan—dari mengakses pesan pribadi hingga menguntit media sosial orang lain. Islam mengingatkan kita untuk menjaga kehormatan sesama manusia, dan tidak mencampuri urusan pribadi yang bukan hak kita.

Dengan demikian, tajassus adalah tindakan yang secara umum dilarang dalam Islam, namun dalam kondisi tertentu bisa menjadi pengecualian yang dibolehkan demi keadilan dan keamanan. Kunci utamanya terletak pada niat, cara, dan tujuan dari tindakan tersebut.

Continue Reading

Ruang Sujud

Mengenal Konsep ‘Ishmah: Kemaksuman Para Nabi dalam Islam

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Dalam ajaran Islam, para nabi dikenal sebagai sosok yang memiliki derajat keutamaan yang sangat tinggi. Salah satu sifat utama yang disematkan kepada mereka adalah ‘ishmah (الْعِصْمَةُ), yang berarti terjaga dari dosa dan kesalahan. Konsep ini sangat penting dalam memahami kenabian, sebab ia menjadi fondasi kepercayaan umat terhadap keaslian wahyu yang disampaikan para nabi.

Secara bahasa, ‘ishmah berarti perlindungan atau penjagaan. Dalam konteks kenabian, ‘ishmah merujuk pada keyakinan bahwa Allah secara khusus menjaga para nabi dari perbuatan dosa besar maupun kecil, baik disengaja maupun tidak. Dengan ‘ishmah, para nabi tidak hanya terhindar dari kesalahan dalam menyampaikan wahyu, tetapi juga menjadi teladan sempurna dalam akhlak dan tindakan.

Para ulama Islam sepakat bahwa semua nabi memiliki sifat ‘ishmah, namun terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai sejauh mana perlindungan ini berlaku. Sebagian ulama berpendapat bahwa ‘ishmah hanya mencakup penyampaian risalah, sedangkan dalam hal manusiawi biasa, para nabi mungkin melakukan kekeliruan kecil yang tidak berdampak pada ajaran agama. Sementara itu, pendapat mayoritas menyatakan bahwa para nabi sepenuhnya dijaga dari kesalahan moral, sehingga kepribadian mereka tetap menjadi panutan sempurna.

Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang mengisyaratkan konsep ‘ishmah. Misalnya, Allah berfirman dalam Surah An-Najm ayat 3-4, “Dan dia tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan.” Ayat ini menjadi landasan bahwa Nabi Muhammad, dan dengan pengertian serupa para nabi lainnya, tidak mungkin salah dalam menyampaikan risalah.

Contoh lain adalah kisah Nabi Yusuf dalam Al-Qur’an. Ketika digoda oleh istri al-Aziz, Yusuf menolak dengan berkata, “Aku berlindung kepada Allah!” (QS. Yusuf: 23). Ayat ini menunjukkan keteguhan seorang nabi dalam menghadapi godaan duniawi, yang merupakan manifestasi nyata dari ‘ishmah.

Dalam tradisi Islam Sunni, para ulama seperti Al-Juwaini dan Al-Ghazali menjelaskan bahwa ‘ishmah para nabi berlaku sejak mereka diangkat menjadi rasul. Artinya, sebelum kenabian, mereka masih manusia biasa yang mungkin melakukan kesalahan kecil, tetapi setelah diangkat, mereka terjaga sepenuhnya. Sedangkan sebagian ulama lainnya, termasuk ulama Syiah, meyakini bahwa ‘ishmah telah melekat pada para nabi sejak lahir, bahkan sebelum mereka menerima wahyu.

Pandangan Syiah, khususnya mazhab Imamiyah, memiliki konsep ‘ishmah yang lebih luas. Mereka percaya tidak hanya para nabi, tetapi juga para imam dari keturunan Nabi Muhammad, memiliki sifat ‘ishmah. Imam-imam ini dianggap maksum, terjaga dari dosa dan kesalahan, sehingga ucapan dan tindakan mereka juga menjadi sumber ajaran agama.

Salah satu alasan utama pentingnya ‘ishmah adalah agar umat memiliki keyakinan penuh terhadap ajaran yang dibawa oleh para nabi. Jika para nabi mungkin melakukan dosa atau kesalahan fatal, maka kepercayaan umat terhadap keaslian wahyu dan kebenaran risalah bisa terguncang. Dengan keyakinan akan ‘ishmah, umat Islam menerima ajaran para nabi tanpa keraguan.

Selain menjaga keaslian wahyu, ‘ishmah juga berkaitan dengan peran para nabi sebagai teladan moral. Al-Qur’an berulang kali memerintahkan umat Islam untuk meneladani akhlak para nabi, terutama Nabi Muhammad, yang disebut sebagai “uswah hasanah” (teladan yang baik) dalam Surah Al-Ahzab ayat 21. Tanpa ‘ishmah, keteladanan ini akan menjadi tidak sempurna.

Meski demikian, penting untuk dipahami bahwa ‘ishmah tidak berarti para nabi kehilangan sifat manusiawinya. Mereka tetap mengalami rasa lapar, lelah, sedih, dan sakit, sebagaimana manusia biasa. ‘Ishmah hanya memastikan bahwa dalam aspek keagamaan, moral, dan penyampaian wahyu, mereka terjaga dari kesalahan.

Dalam sejarah Islam, ada juga diskusi menarik tentang beberapa kisah para nabi yang tampak melakukan kesalahan, seperti kisah Nabi Adam yang memakan buah terlarang, atau Nabi Musa yang membunuh seorang Mesir. Para ulama menafsirkan peristiwa-peristiwa ini sebagai bagian dari ujian kenabian atau kekeliruan yang tidak disengaja, yang kemudian langsung ditebus dengan taubat dan ampunan dari Allah. Hal ini tidak mengurangi derajat ‘ishmah, sebab kesalahan tersebut bukan berupa pelanggaran sengaja terhadap perintah wahyu kenabian.

Dalam banyak literatur klasik Islam, seperti Al-I’tiqad karya Al-Baqillani atau Al-Milal wa al-Nihal karya Al-Syahrastani, pembahasan ‘ishmah selalu mendapat porsi penting. Ini menunjukkan betapa vitalnya konsep ini dalam bangunan teologi Islam.

Sebagai umat Islam, memahami konsep ‘ishmah bukan hanya soal kepercayaan terhadap kemaksuman nabi, melainkan juga tentang bagaimana kita meneladani mereka dalam kehidupan sehari-hari. Para nabi mengajarkan keteguhan dalam iman, kesabaran dalam ujian, kejujuran dalam ucapan, dan keadilan dalam tindakan — semua ini adalah cermin dari sifat ‘ishmah yang harus kita usahakan dalam batas kemampuan kita sebagai manusia biasa.

Pada akhirnya, ‘ishmah adalah salah satu bentuk rahmat Allah yang besar kepada umat manusia. Melalui para nabi yang maksum, Allah menyampaikan ajaran-ajaran suci yang menjadi petunjuk hidup hingga hari kiamat. Dengan memahami dan mengimani ‘ishmah, kita memperteguh keyakinan kita bahwa Islam adalah jalan kebenaran yang disampaikan melalui utusan-utusan yang dipilih dan dijaga langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



News42 minutes ago

Hardiknas 2025: Mendikdasmen Serukan Partisipasi Semesta untuk Pendidikan Nasional

Ruang Sujud3 hours ago

Mengapa Umat Islam Mengucapkan Istirja’? Tinjauan Al-Qur’an dan Hadis

Ruang Sujud7 hours ago

Istirja’ dalam Islam: Respon Bijak Saat Musibah Menimpa

Sportechment11 hours ago

Rose BLACKPINK Hadir di Soundtrack Film F1, Kolaborasi Bareng Musisi Dunia

Sportechment11 hours ago

Pemuncak Divisi 2 Liga Spanyol Elche Larang Penjualan dan Konsumsi Kuaci, Ini Alasannya

Ruang Sujud11 hours ago

Makna dan Hikmah Istirja’: Mengucap Innalillahi dalam Ujian Kehidupan

Sportechment11 hours ago

Man United Garang di Kandang Bilbao, Amorim Ingatkan Skuadnya Tak Boleh Jemawa

Sportechment12 hours ago

Persib Bandung Usung Misi Ganda Hadapi Malut United, Apa Itu?

News12 hours ago

Zulhas: Koperasi Desa Merah Putih, Motor Ekonomi Baru

News15 hours ago

BREAKING NEWS: Pemerintah Buka Blokir Anggaran, Kementerian Bisa Belanja Lagi

News15 hours ago

Prabowo Dukung Marsinah Menjadi Pahlawan Nasional

News21 hours ago

Pangeran William Disebut Siap Cabut Gelar HRH dari Harry-Meghan Markle, Lha Kenapa?

Sportechment21 hours ago

Prilly Latuconsina Resmi Jadi Dosen Tetap, Gaya Mengajar Tuai Pujian

News21 hours ago

Presiden Prabowo Hadiri May Day 2025, Ini Kata Pengamat Politik

Sportechment22 hours ago

Resmi Depak Carlos Pena, Persija Tunjuk Sosok Ini Jadi Caretaker

Sportechment22 hours ago

Indonesia Tantang Thailand di Perempat Final Sudirman Cup 2025

News22 hours ago

Dituding Terlibat Soal Kashmir, Pakistan Siap Lawan India Jika…

News22 hours ago

Jelang Konferensi PBB, Inggris Pertimbangkan Pengakuan Negara Palestina Bareng Prancis dan Saudi

Ruang Sujud23 hours ago

Birrul Walidain: Kunci Utama Meraih Ridha Allah dan Surga-Nya

Ruang Sujud1 day ago

Ketika Bakti pada Orang Tua Menjadi Jalan Hidup yang Diberkahi