Connect with us

Review

Blue Economy

Renold Rinaldi

Published

on

Monitorday.com – Nelayan Indonesia yang populasinya sekitar 10 juta orang, selama puluhan tahun hidup dalam kemiskinan. Umumnya tingkat pendidikan mereka sangat rendah, beban hidup yang harus mereka tanggung tak sebanding dengan pendapatan dari hasil menangkap ikan di laut.

Jangankan bisa memiliki kapal yang bisa menangkap ikan di laut lepas dengan segala kelengkapannya, banyak di antara mereka, rumahnya pun tidak punya. Mereka nyaris tidak bisa menjangkau fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai bagi anak-anaknya.

Langkah untuk memberdayakan kaum nelayan adalah mengurangi beban hidup nelayan. Kebijakan yang sudah diambil pemerintah untuk mengurangi beban nelayan meliputi perbaikan layanan kesehatan untuk keluarga nelayan melalui BPJS Kesehatan, pembangunan puskesmas di wialyah pesisir, pembagian Kartu Indonesia Pintar.

Ada pula pendampingan terhadap usaha mikro hasil laut, dan penyaluran Kredit Ultra Mikro, di mana nelayan bisa memanfaatkannya dengan mengagunkan kapal atau perahu miliknya. Penyaluran KUM dilakukan oleh Badan Layanan Umum di bidang pembiayaan.  

Sementara untuk meningkatkan kinerja industri perikanan, Pemerintah membenahi tata peraturan penangkapan ikan, membangun pusat-pusat pelelangan ikan, penyaluran kredit investasi di bidang perikanan, dan membuka pasar baru bagi ekspor produk perikanan. Sejak tahun 2014, saat Susi Pudjiastuti masih menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), kinerja industri kelautan dan perikanan Indonesia menunjukkan perbaikan dengan peningkatan hasil ekspor, dari US$3,7(2014) menjadi US$4,1 (2017).  

Di tahun 2022, nilai ekspor produk perikanan Indonesia mencapai US$6,24 miliar dengan volume 1,22 juta ton. Nilai tersebut mengalami kenaikan 9,15% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar US$5,72 juta. Artinya, neraca perdagangan dan ekspor produk perikanan Indonesia selalu mengalami surplus dari tahun ke tahun.

Pakar kelautan Institut Pertanian Bogor, Prof. Tridoyo Kusumastanto mengatakan, dalam satu studi menunjukkan, jika potensi ekonomi kelautan Indonesia dimanfaatkan secara optimal, bisa menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp2.800 triliun. Angka itu cukup untuk membiayai APBN. 

“Namun hingga kini potensi itu belum sampai 5% yang sudah dimanfaatkan. Potensinya masih sangat besar,” kata Prof. Tridoyo.

Potensi laut Indonesia sangat menjanjikan. Jika diibaratkan, untuk potensi perikanan saja, kekayaan laut itu seperti sajian pesta ala prasmanan. Mau makan apa aja ada.  Di negara lain  tidak ada. Thailand tidak punya, China tidak punya. Makanya banyak negara yang ingin memanfaatkan laut kita. Ini penting, bagaimana kita bisa memanfaatkan laut kita sendiri.

Banyak negara yang ingin berinvestasi di bidang perikanan. Namun Pemerintah Indonesia sangat selektif dalam memberikan izin, apalagi menyangkut investasi di bidang perikanan tangkap. Para investor asing itu sudah sangat siap karena mereka punya teknologi, peralatan dan sumber daya manusianya. Di bidang bisnis perikanan laut, siapa yang menguasai teknologi, dialah yang berjaya.

Tidak diragukan lagi bahwa di masa depan laut akan menjadi penopang utama ekonomi masyarakat. Di sisi lain Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sekitar 7,87 juta jiwa atau 25,14% dari total penduduk miskin nasional menggantungkan hidupnya dari laut. Mereka tersebar di 10.666 desa pesisir yang berada di 300 kabupaten dan kota se-Indonesia.

Karena itu jika izin investasi di sektor perikanan diberikan kepada investor asing maka kaum nelayan Indonesia yang notabene hanya memiliki alat penangkap ikan yang masih tradisional tidak akan mampu bersaing dengan para investor asing yang peralatannya sudah modern. Jadi, Pemerintah memprioritaskan kaum nelayan untuk bisa memanfaatkan potensi perikanan Indonesia.

Menurut  data United Nations Development Programme (UNDP), sekitar 54% kebutuhan protein nasional Indonesia dipenuhi dari ikan dan produk laut lainnya. Selain itu, hasil laut Indonesia menyumbang 10% kebutuhan perikanan global. Laut Indonesia juga berperan penting bagi berbagai kegiatan ekonomi, seperti bisnis perikanan, pelayaran, maupun pariwisata.

Kawasan laut Indonesia merupakan surga perikanan dunia. Sekitar 8.500 spesies ikan atau 37% spesies dari ikan dunia hidup di perairan Indonesia. Hal itu merupakan potensi sumber daya perikanan tangkap yang volumenya mencapai 6,5 juta ton per tahun. Setidaknya ada empat produk hasil laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi, yakni rumput laut, udang, tuna, dan cakalang.

Beberapa negara yang industri perikannannya sudah maju sudah memiliki ekosistem bisnis. Oleh karena itu, Pemerintah akan membangun  ekonomi bisnis  untuk komoditas dan produk kelautan Indonesia.  

Saat ini, pendapatan per kapita per tahun masyarakat Indonesia sekitar US$3.700. Persoalannya, masyarakat kelas menengah saat ini menghadapi ‘middle income trap’. Dalam studi ekonomi, masyarakat dengan rata-rata pendapatan antara US$3.000 hingga US$4.000 per tahun, memerlukan waktu dan proses cukup panjang untuk meningkat ke pendapatan rata-rata di atas US$4.000 per tahun, karena berbagai faktor. Salah satu sumber ekonomi untuk meningkatkan pendapatan tersebut adalah sumber daya kelautan.

Indonesia belum memanfaatkan potensi laut secara optimal. Padahal Gross Domestic Product (GDP) relatif tinggi.

Kementerian Perikanan dan Kelautan telah mencanangkan blue economy. Konsep ekonomi itu tanpa menghasilkan polusi. Misalnya, di Sidoarjo, Jawa Timur ada ikan bandeng. Semua bagiannya termanfaatkan. Dagingnya dimakan, tulang-tulangnya dijadikan makan ternak. Sisik dan siripnya dimanfaatkan untuk obat-obatan. Jeroannya, dijual untuk bahan menetralisir kontaminan yang berasal dari partikel tambang.

Ekstrak jeroan bandeng dijual di supermarket dengan kemasan kecil-kecil. Siapa yang menjalankannya? Ibu-ibu rumah tangga. Ada juga ibu-ibu yang bekerja sambilan mengambil duri ikan. Upahnya Rp500 per satu ekor bandeng. Ada yang pendapatan per harinya sampai Rp50 ribu. Mereka melakukan itu tanpa meninggalkan tugas utama sebagai ibu rumah tangga, tidak keluar rumah dan kemudian dibayar oleh koperasi.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *