Monitorday.com – Tidak ada yang namanya “es goblok,” begitulah biasanya orang-orang menganggap sesuatu yang absurd atau tidak masuk akal. Sebuah kata yang terdengar konyol, namun penuh makna tersembunyi. Jika ditelaah lebih dalam, “go” dan “block” adalah dua hal yang menciptakan jalan buntu, dan entah bagaimana, kata itu bisa terkait dengan es.
Es, yang identik dengan kesegaran dan ketenangan, kini berubah menjadi sebuah hal yang tak bisa lagi dicairkan. Jalan buntu itu, menurut pendapat beberapa orang, tidak bisa lagi dipecahkan tanpa sesuatu yang lebih berbahaya, sesuatu yang disebut maitoxin.
Sebuah racun yang siap meruntuhkan segala hal, yang entah sejak kapan mulai menyusup ke dalam kehidupan masyarakat.
Maitoxin, dalam cerita ini, bukanlah racun biasa. Ia adalah simbol dari sebuah kekuatan yang semakin menggila. Awalnya, maitoxin hanya dikenal sebagai sebuah istilah, namun lama kelamaan, ia berkembang menjadi sosok yang nyata, seorang pemuka agama yang tiba-tiba muncul dalam wacana publik.
Tanpa ada asal-usul yang jelas, maitoxin dikenal luas hanya karena ketenaran yang didapatkan melalui media. Ia bukanlah seorang ulama atau tokoh agama yang memiliki dasar pengetahuan yang kuat, tetapi ia tahu bagaimana memasarkan ajaran-ajaran agama seperti barang dagangan.
Semua ini berawal dari media, yang membentuk citra dirinya sebagai orang yang tahu segalanya tentang Tuhan.
Ketenarannya semakin menguat seiring dengan berjalannya waktu. Maitoxin mulai membangun jaringannya di kalangan elit pemerintahan, menyusup ke dalam lingkaran kekuasaan, dan menggunakan pengaruhnya untuk mendominasi. Ia berbicara seolah-olah dia adalah tangan kanan Tuhan, seorang utusan yang diutus untuk menuntun umat.
Dengan kelicikannya, ia mengemas pesan-pesan agama dengan cara yang mudah dipahami, namun dangkal. Semua itu bukanlah tentang kebenaran, melainkan tentang bagaimana meyakinkan orang banyak bahwa dirinya adalah pemimpin spiritual yang tak tergantikan.
Kehadirannya, meski penuh kontroversi, membuat banyak orang terpesona. Maitoxin menggunakan media sosial untuk memperkuat posisinya. Kata-katanya yang dipoles indah dengan retorika agama, berhasil membuat banyak orang percaya bahwa ia adalah sosok yang memiliki kuasa untuk menuntun umat.
Namun, di balik semua itu, Ia tidak peduli apakah ajaran yang disebarkannya benar-benar membawa kebaikan atau justru membawa kehancuran. Yang penting baginya adalah bagaimana menjaga posisi elitnya dan memperbesar pengaruhnya.
Kendati demikian, suatu hari, kata-kata maitoxin yang selama ini penuh dengan tipu daya itu akhirnya menemui batasnya. Ketika ia dengan pongahnya menyebut “goblok” kepada seorang tukang es—seorang yang mungkin tak punya kedudukan sosial atau kekuasaan apa pun—segala sesuatunya berubah.
Tak ada yang menyangka bahwa kata-kata itu akan menyulut kemarahan yang begitu besar. Warga yang selama ini diam melihat kelicikan maitoxin mulai bergerak, dan mereka merasa bahwa sudah saatnya bagi mereka untuk melawan.
Kemarahan itu bukan hanya disebabkan oleh kata-kata “goblok,” tetapi juga karena kesadaran kolektif mulai tumbuh bahwa maitoxin bukanlah sosok yang pantas memberikan nasihat agama. Ia adalah racun, bukan penyembuh. Perbuatannya yang selama ini dianggap sebagai “berkah” ternyata hanyalah sebuah manipulasi.
Maitoxin, dengan segala kecerdasannya dalam memanipulasi kata-kata dan agama, kini dihadapkan pada kenyataan bahwa racunnya telah terbongkar. Dan es yang tadinya ia anggap sebagai jalan untuk menenangkan, kini tak bisa lagi dihidupkan, jalan buntu yang telah ia buat menjadi lebih berbahaya bagi dirinya sendiri.
Di titik inilah cerita maitoxin menjadi peringatan. Peringatan bagi kita semua bahwa kekuasaan, terutama yang dibalut dalam agama, harus diawasi dengan hati-hati. Orang yang mengaku sebagai pemimpin spiritual, bisa jadi malah menjadi racun bagi umat.
Maitoxin sudah minta maaf
Kemudian Maitoxin segera minta maaf. Sudah selesaikah? belum go-block, tentu pernyataan Maitoxin yang meminta maaf atas “keseleoan lidah” menyentuh pada sebuah realitas bahwa kata-kata yang terucap sering kali lebih tajam dari yang kita sadari. Dalam kebanyakan kasus, kata-kata bisa menorehkan luka yang dalam, bahkan lebih lama daripada tindakan fisik.
Konsep “keseleoan lidah” ini mencerminkan ketidaksengajaan dalam berkomunikasi, namun dalam dunia yang penuh dengan sensitivitas, kata-kata tak dapat dengan mudah disangkal atau dilupakan. Seperti pepatah yang dikutip—“I will forgive you but never forgotten” —sebuah kenyataan bahwa meskipun pengampunan diberikan, jejak dari pernyataan yang salah akan tetap ada dalam ingatan.
Kutipan tersebut juga menggambarkan kerumitan dalam melupakan. Seperti paku yang tertancap dalam kayu, meskipun paku itu dicabut, bekas yang tertinggal tetap akan nampak, entah itu dalam bentuk luka atau bekas yang sulit dihapus. Dalam konteks komunikasi manusia, ucapan yang terucap adalah paku yang menancap dalam hati seseorang.
Proses pencabutan bisa terjadi, tetapi dampaknya mungkin tidak dapat hilang begitu saja. Dalam sastra kritis, kita bisa melihat fenomena ini sebagai sebuah peringatan tentang pentingnya pertimbangan dalam berkomunikasi, karena kata-kata yang salah bisa meninggalkan jejak yang tak mudah dihapus.
Selain itu, pernyataan tersebut menggambarkan kontradiksi antara keinginan untuk memaafkan dan kesulitan untuk melupakan. Pengampunan adalah langkah awal untuk menyembuhkan, namun waktu yang dibutuhkan untuk melupakan adalah sesuatu yang lebih rumit.
Dalam konteks sastra, ini bisa dianggap sebagai ketegangan antara harapan untuk menerima penyesalan dan kenyataan bahwa luka emosional tak selalu sembuh dengan mudah. Pengampunan sering kali diasosiasikan dengan kebaikan hati, namun ingatan akan luka yang ditinggalkan oleh kata-kata buruk bisa bertahan lama, bahkan mungkin selamanya.
Secara kritis, pernyataan ini juga mengajak kita untuk lebih berhati-hati dalam berbicara, karena kata-kata bisa menjadi senjata yang tidak tampak. Mengingat kata-kata yang salah dapat berlanjut lebih lama daripada perbuatan fisik, ada semacam kritik terhadap budaya berbicara sembarangan yang sering kali mengabaikan dampaknya.