Monitorday.com – Pagi itu, langit Los Angeles berubah menjadi merah menyala, seperti adegan dalam film apokaliptik.
Di tengah kepanikan, Sarah, seorang ibu dua anak, hanya punya waktu untuk menyelamatkan album foto keluarga sebelum api melahap rumahnya. “Kami kehilangan segalanya,” katanya, suaranya bergetar.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidakpastian apakah asuransi mereka akan menutupi kerugian ini.
Kebakaran hutan yang melanda Los Angeles tahun ini mencatatkan rekor sebagai salah satu bencana paling merugikan dalam sejarah negara bagian California. Dengan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai USD135 miliar hingga USD150 miliar, atau setara Rp2.200 triliun hingga Rp2.447 triliun, dampaknya jauh melampaui imajinasi banyak orang.
Angka fantastis ini bahkan lebih besar dari total bantuan militer yang diberikan Amerika Serikat untuk operasi di Gaza, yang hanya mencapai USD22 miliar.
Kondisi ini semakin diperparah oleh angin kencang Santa Ana yang mempercepat penyebaran api. Lebih dari 10.000 bangunan telah hangus terbakar, menyisakan kehancuran yang sulit dibayangkan. Vegetasi yang kering di musim panas menjadi bahan bakar sempurna bagi kobaran api, yang dengan cepat melahap apa saja di jalurnya.
Moody’s Ratings menyebut kebakaran ini sebagai salah satu yang paling merugikan dalam sejarah negara bagian. Namun, angka-angka ini hanyalah puncak dari gunung es. Di balik statistik tersebut, ada ribuan cerita pilu dari para korban yang kehilangan rumah, barang berharga, dan masa depan mereka. Sarah hanyalah salah satu dari mereka yang kini menghadapi kenyataan pahit: asuransi yang mereka andalkan mungkin tidak akan mencakup kerugian sebesar ini.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Laporan terbaru menunjukkan bahwa beberapa perusahaan asuransi mulai memperketat cakupan polis mereka atau bahkan menolak klaim terkait bencana alam.
Dengan frekuensi kebakaran yang terus meningkat akibat perubahan iklim, banyak perusahaan asuransi merasa tertekan secara finansial dan mencari cara untuk mengurangi risiko mereka. Hal ini membuat para korban kebakaran berada dalam posisi yang semakin sulit.
Di sisi lain, laporan dari Stockholm International Peace Research Institute mengungkap fakta mengejutkan: Amerika Serikat telah menghabiskan lebih dari USD22 miliar untuk mendukung operasi militer Israel sejak Oktober 2023. Sebagian besar dana ini digunakan untuk memasok kebutuhan senjata, yang meningkat dari 69 persen pada 2019–2023 menjadi 78 persen pada akhir 2023.
Sementara itu, warga Los Angeles yang terkena dampak kebakaran harus berjuang sendiri menghadapi kerugian yang begitu besar.
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana prioritas alokasi dana di negara adidaya seperti Amerika Serikat? Ketika miliaran dolar mengalir untuk mendukung operasi militer di luar negeri, ribuan warga di dalam negeri menghadapi kehancuran tanpa jaminan bahwa mereka akan mendapatkan bantuan yang memadai.
Kebakaran ini menjadi pengingat akan pentingnya mitigasi bencana dan perlindungan bagi warga yang terdampak. Namun, tanpa perubahan signifikan dalam kebijakan dan alokasi dana, bencana seperti ini akan terus menjadi luka yang sulit disembuhkan bagi banyak orang.
Sarah, yang kini tinggal di tempat penampungan sementara bersama keluarganya, hanya bisa berharap.
“Kami butuh bantuan, bukan hanya janji,” katanya.