Ruang Sujud
Pemerintah Bakal Sediakan Alat Kontrasepsi Untuk Pelajar, Kok Bisa?
Published
10 months agoon
By
Robby Karman
Monitorday.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
PP 28/2024 diteken Presiden Jokowi pada Jumat, 26 Juli 2024 mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja dalam Pasal 103 ayat (1).
Pasal 103 ayat (1) berbunyi upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Pada ayat (2) tertulis bahwa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.
Ayat (2) juga mencakup menjaga kesehatan alat reproduksi; perilaku seksual berisiko dan akibatnya; keluarga berencana (KB); melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak.
“Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (kesehatan sistem reproduksi) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan melalui bahan ajar atau kegiatan belajar mengajar di satuan pendidikan serta kegiatan lain di luar sekolah,” bunyi Pasal 103 ayat (3).
Pasal 103 ayat (4) tertuang bahwa pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja paling sedikit terdiri dari deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.
“Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan,” tulis Pasal 103 ayat (5).
Konseling dilakukan oleh tenaga medis, tenaga kesehatan, konselor, dan/atau konselor sebaya yang mempunyai kompetensi sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 107 menyebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi diselenggarakan melalui penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan reproduksi sesuai dengan standar.
Pelayanan kesehatan reproduksi harus aman, berkualitas, terjangkau, tidak diskriminatif, menjaga privasi, dan kesetaraan gender.
“Setiap orang berhak memperoleh akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan reproduksi,” bunyi Pasal 107 ayat (2).
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menentang isi pasal terkait penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar seperti di PP yang ditekan Presiden Jokowi.
“Itu tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama,” kata Fikri.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Fikri menilai penyediaan fasilitas alat kontrasepsi bagi siswa itu sama saja dengan membolehkan tindakan seks bebas kepada pelajar.
4o
Mungkin Kamu Suka
-
Prof Mu’ti Wujudkan Mimpi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
-
Jelang Puasa dan Lebaran, Pemerintah Beri Diskon Tiket Pesawat – Tarif Tol
-
Pemerintah Siap Gelar Cek Kesehatan Gratis untuk Pelajar Mulai Juli 2025
-
Anak-Anak dan Harapan dari Menu Bergizi
-
Heboh Pelarangan Jilbab Paskibraka, Ini Pernyataan Pemerintah
Ruang Sujud
Kesalahan Umum Saat Lempar Jumrah dan Cara Menghindarinya
Published
5 hours agoon
06/06/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Meskipun lempar jumrah adalah bagian penting dari ibadah haji, banyak jemaah yang tanpa sadar melakukan kesalahan dalam pelaksanaannya. Kesalahan-kesalahan ini bisa berdampak pada keabsahan ibadah atau bahkan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Salah satu kesalahan paling umum adalah melempar batu secara bersamaan, bukan satu per satu. Padahal syariat mengatur agar jemaah melempar tujuh batu kecil secara terpisah, dengan membaca takbir di setiap lemparan. Melempar beberapa batu sekaligus hanya dihitung satu lemparan saja, dan bisa menyebabkan kurang dari tujuh lemparan sah.
Kesalahan berikutnya adalah menggunakan batu yang terlalu besar atau benda sembarangan seperti sandal atau botol. Nabi Muhammad ﷺ mencontohkan batu yang digunakan seukuran ujung jari atau biji kacang. Melempar benda besar bukan hanya tidak sah, tapi juga membahayakan keselamatan jemaah lain.
Banyak jemaah juga salah arah, yaitu tidak mengarah ke pilar jumrah dengan tepat. Beberapa hanya melempar asal, tanpa memastikan batu masuk ke kolam tempat pilar berada. Padahal, lemparan yang tidak masuk ke area yang ditentukan tidak dihitung sah.
Selain itu, ada pula yang tidak menjaga urutan lemparan saat hari tasyrik (11–13 Dzulhijjah). Lemparan harus dimulai dari Jumrah Ula, lalu Wustha, dan terakhir Aqabah. Melanggar urutan ini bisa mengacaukan pelaksanaan ibadah karena tiap hari memiliki struktur yang teratur.
Menyerobot atau mendesak jemaah lain saat melempar juga termasuk kesalahan yang merusak adab dan bisa menimbulkan bahaya. Beberapa jemaah memaksakan diri ingin berada di posisi paling depan agar lemparannya “lebih afdol”, padahal pelemparan dari jarak jauh tetap sah asal masuk area.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, jemaah disarankan untuk:
Mengikuti bimbingan dari pembimbing ibadah haji secara cermat.
Mempersiapkan batu yang sesuai ukuran sejak di Muzdalifah atau Mina.
Mengikuti jadwal lempar jumrah yang telah ditentukan petugas haji demi menghindari kerumunan.
Memastikan jumlah lemparan dengan menghitung setiap kali melempar sambil membaca “Allahu Akbar”.
Menjaga niat dan kesabaran, tidak terburu-buru, dan menghindari emosi saat berada di lokasi yang padat.
Bagi jemaah yang lanjut usia, sakit, atau perempuan yang rentan terdorong dalam kerumunan, sebaiknya meminta bantuan atau melakukan badal jumrah (diwakilkan oleh orang lain yang mampu).
Dengan memahami kesalahan umum ini dan menghindarinya, jemaah dapat melaksanakan lempar jumrah dengan lebih tenang, khusyuk, dan sah secara syariat. Ibadah haji bukan hanya soal menyelesaikan rangkaian ritual, tetapi tentang menjaga niat, disiplin, dan keselamatan dalam setiap amal.
Ruang Sujud
Sejarah Lempar Jumrah: Jejak Perlawanan Nabi Ibrahim terhadap Setan
Published
9 hours agoon
06/06/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Lempar jumrah adalah ritual yang memiliki akar sejarah mendalam, langsung terhubung dengan kisah perjuangan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam menghadapi godaan setan. Peristiwa ini menjadi inspirasi utama pelaksanaan lempar jumrah dalam ibadah haji hingga hari ini.
Menurut riwayat yang banyak dikenal, ketika Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, Ismail, setan mencoba menggoda beliau agar ragu dan membatalkan niatnya. Godaan ini terjadi di tiga tempat berbeda. Di setiap tempat itulah, Nabi Ibrahim melemparkan batu ke arah setan sebagai bentuk penolakan dan keteguhan iman.
Ketiga lokasi tersebut kini dikenal sebagai Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah, yang menjadi tempat pelemparan batu dalam ritual haji. Aksi Nabi Ibrahim ini bukanlah bentuk kekerasan fisik, melainkan manifestasi dari tekad bulat untuk tetap taat kepada perintah Tuhan meskipun harus mengorbankan hal yang paling dicintai.
Tak hanya Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail juga dikisahkan mengalami gangguan setan dalam perjalanan menuju tempat penyembelihan. Namun ketiganya menolak godaan tersebut dengan keimanan yang kokoh. Peristiwa ini menunjukkan bahwa ujian dan godaan adalah bagian dari perjalanan spiritual manusia.
Sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, tradisi lempar jumrah ini dilestarikan sebagai bagian dari ibadah haji. Rasulullah sendiri melakukan lemparan dengan batu kecil, membaca takbir di setiap lemparan, dan melakukannya secara tertib sesuai urutan. Beliau juga menekankan bahwa ritual ini adalah untuk mengenang tindakan Nabi Ibrahim dan sebagai simbol pengusiran setan dari kehidupan manusia.
Seiring berjalannya waktu, tempat-tempat jumrah dibangun menjadi pilar permanen, dan kini telah diperluas dengan struktur bertingkat untuk mengakomodasi jutaan jemaah haji dari seluruh dunia. Namun, esensi sejarahnya tetap sama: melawan setan dengan iman dan keteguhan hati.
Pelajaran dari sejarah lempar jumrah sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Setan hadir dalam banyak bentuk: kesombongan, ketamakan, kemalasan, dan kebencian. Dengan melempar jumrah, seorang muslim mengingat kembali perjuangan Nabi Ibrahim dan memperbaharui tekadnya untuk melawan hawa nafsu dan bisikan jahat.
Lempar jumrah bukan sekadar ritual fisik, tapi adalah simbol perlawanan spiritual terhadap segala bentuk kejahatan yang bersemayam di hati dan lingkungan. Semangat Nabi Ibrahim dalam menolak ajakan setan menjadi warisan abadi yang terus dikenang dan diamalkan oleh umat Islam hingga hari ini.
Ruang Sujud
Tata Cara Lempar Jumrah: Panduan Lengkap untuk Jemaah Haji
Published
13 hours agoon
06/06/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Lempar jumrah adalah salah satu rukun wajib dalam ibadah haji yang dilaksanakan di Mina, dan memiliki prosedur pelaksanaan yang telah diatur dengan rinci dalam syariat Islam. Ketaatan terhadap tata cara ini menjadi bagian penting dari kesempurnaan ibadah haji seorang muslim.
Secara umum, lempar jumrah dilakukan dengan melemparkan tujuh batu kecil ke masing-masing dari tiga jumrah: Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah. Ketiga jumrah tersebut berjejer dalam satu jalur yang menjadi lokasi khusus di Mina. Namun, tidak semua jumrah dilempar pada hari yang sama.
Pada tanggal 10 Dzulhijjah, jemaah hanya melempar Jumrah Aqabah sebanyak tujuh kali lemparan. Ini dilakukan setelah melaksanakan wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah. Setiap lemparan diiringi dengan bacaan “Allahu Akbar”, menandakan keteguhan hati dalam menolak godaan setan.
Selanjutnya pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah (hari-hari tasyrik), jemaah melempar ketiga jumrah secara berurutan: dimulai dari Jumrah Ula, dilanjutkan dengan Wustha, dan diakhiri dengan Aqabah. Masing-masing jumrah dilempar dengan tujuh batu, dengan total 21 batu per hari. Jemaah dapat memilih hanya dua hari (11 dan 12 Dzulhijjah) dan meninggalkan Mina setelahnya (nafar awal), atau menambah satu hari lagi hingga tanggal 13 (nafar tsani).
Batu yang digunakan untuk lempar jumrah adalah batu kecil seukuran ujung jari atau kelereng kecil, bukan batu besar. Batu tersebut diambil saat mabit di Muzdalifah, atau bisa juga diambil dari area Mina selama sesuai ukuran dan ketentuan. Batu harus dilempar satu per satu, tidak boleh sekaligus, dan harus benar-benar masuk ke dalam kolam tempat pilar jumrah berada.
Jemaah juga harus menjaga niat dan tidak terburu-buru. Lempar jumrah bukan sekadar “menyelesaikan tugas”, melainkan ibadah yang penuh makna. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan dzikir selama melaksanakan ritual ini.
Karena situasi di lokasi bisa sangat padat dan panas, Pemerintah Arab Saudi membagi waktu pelaksanaan lempar jumrah untuk mencegah penumpukan. Jemaah Indonesia umumnya mengikuti jadwal yang ditetapkan oleh petugas haji agar pelaksanaan tetap aman dan lancar.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah tidak mendorong atau menyakiti jemaah lain, menghindari membawa barang berat, serta memperhatikan kondisi fisik. Bila memungkinkan, jemaah lanjut usia atau sakit dapat diwakilkan oleh orang lain untuk melaksanakan lempar jumrah (badal).
Dengan mengikuti tata cara lempar jumrah secara tertib, jemaah tidak hanya menyempurnakan ibadah haji secara teknis, tetapi juga menunjukkan ketaatan dan kecintaan kepada Allah dalam bentuk paling nyata.
Ruang Sujud
Idul Adha di Era Digital: Tetap Bermakna Meski Berbeda Cara
Published
1 day agoon
05/06/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Era digital mengubah banyak hal dalam hidup kita, termasuk cara merayakan hari besar keagamaan seperti Idul Adha. Dari penyembelihan kurban online hingga khutbah Id yang disiarkan daring, semuanya mencerminkan adaptasi umat Islam terhadap zaman.
Kini, banyak lembaga dan platform menyediakan layanan kurban digital. Calon pekurban tinggal memilih hewan, mentransfer dana, dan menerima laporan pelaksanaan melalui email. Praktis dan efisien, terutama untuk yang tinggal jauh dari kampung halaman atau tak punya waktu untuk mengurus langsung.
Media sosial juga menjadi medium baru untuk menyebarkan pesan Idul Adha. Ucapan selamat, video takbir, hingga dokumentasi penyembelihan kurban ramai beredar. Meski bersifat virtual, konten-konten ini membantu menyebarkan semangat dan pesan keikhlasan yang menjadi inti dari Idul Adha.
Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga esensi ibadah tetap hidup di tengah digitalisasi ini. Jangan sampai semangat berkurban hanya berhenti pada transfer uang dan unggahan foto, tanpa disertai refleksi spiritual.
Idul Adha digital tetap bisa bermakna jika dijalani dengan kesadaran dan niat yang benar. Teknologi hanyalah alat. Yang paling penting adalah niat, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama yang tetap menjadi jiwa dari perayaan ini.
Ruang Sujud
Tradisi Kurban: Antara Ibadah, Sosial, dan Kearifan Lokal
Published
1 day agoon
05/06/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Tradisi kurban dalam Islam bukan hanya ibadah spiritual, tapi juga mengandung dimensi sosial yang sangat kuat. Bahkan di banyak daerah, tradisi ini dipadukan dengan kearifan lokal yang memperkaya makna dan pelaksanaannya.
Sebagai ibadah, kurban merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj: 37 bahwa “daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian.” Maka, niat dan ketulusan adalah yang utama.
Namun, kurban juga memiliki nilai sosial yang luar biasa. Daging kurban dibagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan keluarga. Ini menjadi momen berbagi dan memperkuat solidaritas sosial. Di masyarakat pedesaan, daging kurban menjadi sumber protein langka yang sangat ditunggu.
Di Indonesia, pelaksanaan kurban sering diiringi dengan gotong royong. Warga saling bantu dalam proses penyembelihan, pemotongan, hingga distribusi daging. Inilah bentuk nyata dari semangat kebersamaan yang diwariskan secara turun-temurun.
Menariknya, tiap daerah memiliki kekhasan dalam merayakan kurban. Di Aceh ada tradisi meugang, di Jawa dikenal dengan selametan sebelum penyembelihan, sementara di Sulawesi kadang ada pengolahan daging menjadi makanan khas sebelum dibagikan.
Kurban tidak hanya ritual ibadah, tapi juga ruang untuk memperkuat identitas sosial dan budaya. Selama tetap pada koridor syariat, kearifan lokal justru membuat pelaksanaan kurban semakin membumi dan bermakna.
Ruang Sujud
Amalan Sunnah di Hari Raya Idul Adha yang Sering Terlupakan
Published
2 days agoon
05/06/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Idul Adha datang dengan sejumlah anjuran amalan sunnah yang memiliki nilai ibadah tinggi. Namun, tak sedikit umat Islam yang justru melupakan atau mengabaikannya. Padahal, amalan-amalan ini bisa memperkaya makna Idul Adha secara spiritual.
Salah satu amalan yang dianjurkan adalah memperbanyak takbir sejak malam Idul Adha hingga hari Tasyrik berakhir. Takbir ini menjadi simbol pengagungan terhadap Allah dan bentuk syukur atas nikmat-Nya. Sayangnya, gema takbir sering hanya terdengar di malam takbiran saja, lalu menghilang keesokan harinya.
Amalan lain adalah mandi sebelum salat Id. Ini merupakan sunnah yang menandakan kesiapan lahir dan batin untuk menyambut hari raya. Mengenakan pakaian terbaik dan memakai wewangian juga menjadi anjuran, karena mencerminkan semangat merayakan hari besar Islam dengan bersih dan rapi.
Tak kalah penting adalah menyembelih hewan kurban bagi yang mampu. Kurban bukan sekadar penyembelihan, tapi bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sayangnya, ada sebagian orang yang lebih fokus pada urusan teknis dan pesta makan-makan, ketimbang niat ibadah di balik kurban itu.
Idul Adha juga bisa dimaknai dengan mempererat silaturahmi dan berbagi kepada yang membutuhkan. Jadi, daripada sekadar menjadi formalitas tahunan, mari hidupkan kembali amalan-amalan sunnah yang justru menjadi roh dari Idul Adha itu sendiri.
Ruang Sujud
Makna Idul Adha: Meneladani Keikhlasan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Published
2 days agoon
05/06/2025By
Yusuf Hasyim
Monitorday.com – Idul Adha bukan sekadar hari raya yang dirayakan dengan menyembelih hewan kurban dan berbagi daging kepada sesama. Di balik itu semua, terdapat pelajaran besar tentang keikhlasan dan kepatuhan kepada Allah SWT yang tercermin dalam kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Dalam sejarahnya, Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya, Ismail. Tanpa ragu, beliau menyampaikan perintah itu kepada sang anak. Respons Ismail begitu luar biasa: “Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102).
Kisah ini menunjukkan bahwa keimanan dan keikhlasan bukan hanya dimiliki oleh Nabi Ibrahim, tapi juga oleh Nabi Ismail. Keduanya memberi contoh tentang bagaimana ketaatan total kepada perintah Allah adalah bentuk tertinggi dari keimanan.
Idul Adha mengajak umat Islam untuk meneladani nilai-nilai tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada berbagai bentuk ujian. Bisa jadi bukan dalam bentuk pengorbanan fisik, tapi dalam bentuk waktu, tenaga, dan keinginan pribadi. Menahan ego, bersabar menghadapi ujian, dan tetap taat pada ajaran agama merupakan bentuk pengorbanan di masa kini.
Dengan memahami makna Idul Adha secara mendalam, kita tak sekadar merayakannya sebagai tradisi tahunan, tapi menjadikannya sebagai momentum spiritual untuk memperbaiki diri, memperkuat iman, dan membangun hubungan yang lebih ikhlas dengan Tuhan.
Ruang Sujud
Kisah Nabi Ismail dan Hajar: Keajaiban Air Zamzam di Padang Tandus
Published
2 days agoon
04/06/2025
Monitorday.com – Kisah Nabi Ismail dan ibunya, Hajar, adalah sebuah narasi penuh keajaiban, ketabahan, dan keimanan yang tak lekang oleh waktu. Di tengah padang pasir Mekkah yang tandus dan tak berpenghuni, muncul sebuah mukjizat agung: air zamzam. Sebuah sumber air yang hingga kini terus mengalir tanpa henti, menjadi saksi dari kesabaran dan tawakkal dua hamba Allah yang luar biasa.
Cerita ini bermula ketika Nabi Ibrahim, atas perintah Allah, membawa Hajar dan Ismail yang masih bayi ke sebuah lembah gersang di Hijaz, yang kelak menjadi kota suci Mekkah. Tanpa perbekalan yang cukup, tanpa tempat tinggal, dan tanpa penduduk, Hajar ditinggalkan oleh Ibrahim karena ketaatannya kepada Allah. Meski awalnya berat, Hajar menerima dengan penuh iman karena tahu suaminya menjalankan titah Ilahi.
Saat persediaan makanan dan air habis, Hajar yang kehausan melihat bayinya menangis pilu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha. Ia berlari antara dua bukit—Shafa dan Marwah—sebanyak tujuh kali, dengan harapan ada manusia atau sumber air di sekitar. Usaha ini menjadi simbol dari keikhlasan dan kegigihan seorang ibu yang rela melakukan apa saja demi menyelamatkan anaknya.
Ketika semua usaha telah dilakukan dan Hajar kembali ke sisi Ismail, mukjizat Allah pun datang. Dari hentakan kaki kecil Ismail, memancar air yang terus mengalir dari tanah. Hajar spontan menampung air tersebut sambil berkata, “Zamzam, zamzam!” yang berarti “berkumpullah, berkumpullah!” Maka, air itu pun tidak hanya mengalir deras, tapi juga menjadi sumber kehidupan bagi masa depan kota Mekkah.
Keberadaan air zamzam inilah yang kemudian menarik kabilah-kabilah Arab untuk menetap di daerah tersebut, menjadikannya kawasan yang ramai dan makmur. Maka bisa dikatakan bahwa perjuangan Hajar dan keberadaan Ismail menjadi cikal bakal berdirinya kota Mekkah—kota suci yang kelak akan menjadi pusat spiritual umat Islam.
Kisah ini tidak hanya mencerminkan mukjizat dalam bentuk fisik, tetapi juga pelajaran spiritual yang sangat dalam. Hajar tidak tinggal diam menunggu pertolongan datang. Ia berikhtiar maksimal, berlari bolak-balik tanpa lelah. Barulah setelah itu, pertolongan Allah datang. Ini menjadi pelajaran penting bahwa ikhtiar dan tawakkal harus berjalan seiring—usaha tidak menghilangkan iman, dan iman tidak menggugurkan usaha.
Salah satu bentuk penghormatan terhadap perjuangan Hajar ini adalah diwajibkannya umat Islam untuk melakukan sa’i—berlari kecil antara Shafa dan Marwah—sebagai bagian dari rukun umrah dan haji. Aktivitas fisik ini bukan sekadar ritual, tetapi pengingat akan betapa besarnya pengorbanan dan keyakinan seorang ibu yang dijadikan syariat sepanjang zaman.
Kehadiran Nabi Ismail di tengah kisah ini pun memperkuat pesan bahwa mukjizat sering kali muncul melalui kelemahan yang tampak. Seorang bayi yang belum bisa berkata-kata justru menjadi sebab munculnya sumber kehidupan yang tak terputus. Hal ini mengajarkan bahwa dalam hidup, tak ada yang mustahil bagi Allah, dan bahkan kelemahan bisa menjadi kekuatan jika disertai keimanan.
Zamzam bukan hanya air biasa. Ia adalah simbol dari rahmat dan keberkahan. Dalam banyak hadis, air zamzam memiliki berbagai keutamaan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Air Zamzam tergantung kepada niat orang yang meminumnya.” Artinya, air ini bisa menjadi obat, kekuatan, atau berkah sesuai dengan niat peminumnya. Hingga hari ini, jutaan orang datang ke Mekkah untuk mencicipi air ini, menjadikannya bagian dari ibadah yang penuh makna.
Dalam konteks kehidupan modern, kisah Hajar dan Ismail mengajarkan ketabahan dalam menghadapi ujian. Ketika seseorang merasa berada di titik terendah, di padang tandus kehidupan, maka jangan pernah berhenti berusaha dan jangan pernah putus harapan. Pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tak disangka, bahkan melalui sesuatu yang tampak mustahil.
Tak kalah penting, kisah ini juga menjadi pengingat tentang pentingnya peran ibu. Hajar bukan nabi, bukan tokoh kerajaan, tetapi seorang ibu yang kuat, penuh cinta, dan ikhlas. Allah mengabadikan perjuangannya dalam ritual haji, menunjukkan bahwa peran seorang ibu sangatlah mulia dan layak dikenang sepanjang masa.
Pada akhirnya, kisah Nabi Ismail dan Hajar bukan hanya sejarah, tetapi juga refleksi iman, usaha, dan pengharapan. Ia adalah bukti bahwa di balik setiap ujian, selalu ada rahmat yang menanti. Dan dari air zamzam yang terus mengalir, kita diajak untuk terus percaya bahwa kasih sayang Allah tidak pernah kering.
Ruang Sujud
Sejarah Pengorbanan Nabi Ismail: Awal Mula Disyariatkannya Idul Adha
Published
3 days agoon
04/06/2025
Monitorday.com – Kisah pengorbanan Nabi Ismail ‘alaihis salam adalah salah satu momen paling menggetarkan dalam sejarah umat manusia, dan menjadi pondasi lahirnya syariat penyembelihan hewan qurban yang diperingati setiap Idul Adha. Peristiwa ini bukan hanya menyoal hubungan antara ayah dan anak, tetapi juga tentang ketaatan mutlak kepada perintah Allah.
Kisah ini bermula dari mimpi yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Dalam mimpi tersebut, beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya yang sangat dicintainya, Ismail. Sebagai seorang nabi, Ibrahim memahami bahwa mimpi itu adalah wahyu dan bukan sekadar bunga tidur. Namun sebagai seorang ayah, tentu ini menjadi ujian berat yang tak terbayangkan.
Namun yang luar biasa, bukan hanya Nabi Ibrahim yang taat, tetapi Nabi Ismail juga menunjukkan sikap luar biasa. Ketika ayahnya menyampaikan perintah tersebut, Nabi Ismail dengan tenang menjawab bahwa ia siap untuk menjalani perintah Allah. Hal ini tercatat dalam Al-Qur’an, Surah Ash-Shaffat ayat 102:
“Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Ayat ini menggambarkan dua karakter besar dalam satu keluarga: seorang ayah yang patuh dan seorang anak yang ikhlas. Saat proses penyembelihan akan dilakukan, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba yang besar. Perintah itu sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menyembelih secara literal, tetapi sebagai ujian untuk membuktikan sejauh mana ketaatan dan keikhlasan hamba-Nya terhadap perintah yang sangat berat.
Peristiwa ini menjadi titik balik penting dalam sejarah spiritual umat manusia. Dari situlah, Allah menetapkan ibadah qurban sebagai bagian dari syariat Islam. Setiap tahun, umat Muslim di seluruh dunia menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan bentuk penghormatan terhadap pengorbanan agung Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Idul Adha bukan sekadar momen berbagi daging, tetapi lebih dari itu adalah refleksi spiritual yang dalam. Kita diingatkan untuk bersedia “menyembelih” ego, hawa nafsu, dan keinginan pribadi demi menjalankan kehendak Allah. Qurban menjadi simbol nyata dari penundukan diri kepada Sang Pencipta.
Dalam konteks sosial, semangat qurban juga menjadi pengingat untuk berbagi dan peduli terhadap sesama. Sebab daging hewan qurban dibagikan kepada fakir miskin dan yang membutuhkan, mencerminkan ajaran Islam yang adil, inklusif, dan penuh kasih sayang. Maka pengorbanan Nabi Ismail tidak hanya berdampak secara spiritual, tetapi juga sosial.
Banyak ulama menekankan bahwa makna terdalam dari kisah ini bukan pada darah atau daging hewan yang disembelih, tetapi pada niat dan ketakwaan. Seperti yang disebutkan dalam QS Al-Hajj ayat 37:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
Kisah ini juga mengajarkan bahwa dalam hidup, ujian adalah keniscayaan. Bahkan seorang nabi seperti Ibrahim dan anaknya pun diuji dengan sesuatu yang sangat berat. Namun di balik ujian, selalu ada hikmah dan pengangkatan derajat bagi mereka yang lulus dengan sabar dan ikhlas.
Secara simbolik, kita semua adalah Ibrahim yang diuji dengan berbagai bentuk cinta dunia: harta, jabatan, keluarga, bahkan nyawa. Dan kita semua juga bisa menjadi Ismail yang siap untuk menyerahkan segala yang kita miliki demi keridaan Allah. Maka ibadah qurban bukan hanya seremoni tahunan, tetapi latihan spiritual yang menuntut kontinuitas dalam hidup sehari-hari.
Lebih jauh lagi, semangat pengorbanan ini juga sangat relevan dalam konteks modern. Di zaman yang penuh kompetisi dan materialisme, kita sering terlalu terikat dengan kesenangan duniawi. Padahal, ruh dari kisah Nabi Ismail mengajarkan pentingnya melepaskan keterikatan terhadap hal-hal dunia yang bisa menghalangi hubungan kita dengan Allah.
Sebagai penutup, sejarah pengorbanan Nabi Ismail adalah kisah tentang cinta—cinta kepada Allah yang mengalahkan cinta terhadap anak, cinta terhadap dunia, dan cinta terhadap diri sendiri. Dari kisah ini, kita belajar bahwa kepatuhan dan pengorbanan adalah kunci menuju kedekatan dengan Tuhan. Idul Adha menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan kembali sejauh mana kita siap mengorbankan ego demi kebenaran dan nilai-nilai luhur dalam hidup.
Ruang Sujud
Nabi Ismail: Teladan Ketaatan dan Keikhlasan Seorang Anak Saleh
Published
3 days agoon
04/06/2025
Monitorday.com – Nabi Ismail ‘alaihis salam adalah salah satu sosok luar biasa dalam sejarah kenabian yang patut menjadi teladan bagi setiap generasi, khususnya dalam hal ketaatan kepada Allah dan bakti kepada orang tua. Ia adalah putra Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan Hajar, lahir dari keluarga yang sarat dengan ujian, namun justru dari situlah muncul keteguhan iman yang luar biasa.
Sejak kecil, Nabi Ismail telah menunjukkan ketundukan kepada kehendak Allah. Hal ini terlihat dalam salah satu peristiwa paling menggetarkan dalam sejarah manusia, yaitu ketika ayahnya, Nabi Ibrahim, mendapat perintah dari Allah melalui mimpi untuk menyembelih putranya sendiri. Perintah ini bukan hanya menguji ketaatan seorang ayah, tetapi juga menguji kesediaan sang anak untuk taat pada perintah Allah, meski harus mengorbankan nyawa.
Ketika perintah tersebut disampaikan kepada Ismail, reaksinya bukan ketakutan atau penolakan, tetapi justru jawaban yang penuh keyakinan dan tawakkal. “Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,” demikian jawaban Nabi Ismail sebagaimana disebut dalam QS Ash-Shaffat ayat 102. Kalimat ini menggambarkan kedalaman iman dan ketulusan jiwa seorang remaja yang telah tertanam nilai-nilai tauhid sejak dini.
Pengorbanan Nabi Ismail tidak jadi dilaksanakan, karena Allah menggantikannya dengan seekor domba. Namun, peristiwa ini diabadikan menjadi syariat penyembelihan hewan qurban yang dilakukan setiap Hari Raya Idul Adha oleh umat Islam di seluruh dunia. Ini menjadi simbol keikhlasan dan pengorbanan yang diwariskan Nabi Ismail untuk seluruh umat.
Tidak hanya dalam kisah pengorbanan, Nabi Ismail juga dikenal sebagai anak yang berbakti, pekerja keras, dan pemimpin yang bijak. Dalam QS Maryam ayat 54-55, Allah memujinya sebagai seorang yang jujur dalam janji, seorang rasul dan nabi, serta orang yang menyuruh keluarganya untuk salat dan zakat. Karakter inilah yang menjadikannya panutan bukan hanya dalam konteks spiritual, tetapi juga sosial dan keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari, pelajaran dari Nabi Ismail bisa diterapkan oleh generasi muda. Misalnya, dalam hal ketaatan kepada orang tua, kemauan untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi kebaikan yang lebih besar, serta keteguhan dalam memegang prinsip keimanan meskipun dihadapkan pada ujian berat. Di tengah zaman yang serba cepat dan individualistis, kisah Nabi Ismail menjadi pengingat tentang nilai-nilai luhur yang tak lekang oleh waktu.
Selain itu, Nabi Ismail juga dikenal sebagai pribadi yang tangguh dan tidak cengeng menghadapi ujian hidup. Saat ditinggalkan oleh ayahnya bersama ibunya, Hajar, di padang pasir yang tandus, ia tetap tumbuh menjadi anak yang kuat. Ia tidak tumbuh dalam kemewahan, tetapi dalam kondisi yang mengasah mental dan spiritualnya sejak dini. Ketegaran inilah yang akhirnya membentuk kepribadiannya sebagai seorang nabi yang layak menjadi contoh.
Keberkahan yang lahir dari ketaatan Nabi Ismail juga tidak main-main. Dari keturunannya, lahirlah Nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad ﷺ. Ini menunjukkan bahwa ketaatan dan keikhlasan seorang anak kepada Allah bisa menjadi sebab munculnya generasi terbaik di masa depan. Maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa Ismail adalah fondasi awal dari risalah Islam yang diteruskan oleh keturunannya.
Kisah Nabi Ismail mengajarkan bahwa keimanan bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga mewujud dalam tindakan konkret, baik dalam hubungan dengan orang tua, masyarakat, maupun dalam menjalani perintah Allah yang terkadang terasa berat. Ia adalah gambaran sempurna dari integritas spiritual dan moral yang seharusnya menjadi cita-cita setiap insan.
Di era modern ini, keteladanan Nabi Ismail tetap relevan. Remaja dan anak muda dihadapkan pada banyak pilihan dan godaan yang bisa menjauhkan mereka dari nilai-nilai agama. Namun, dengan meneladani Nabi Ismail, mereka bisa belajar tentang arti pengorbanan, tanggung jawab, dan kesetiaan pada nilai-nilai ilahi yang abadi.
Akhirnya, Nabi Ismail bukan sekadar sosok dalam kisah keagamaan, tetapi inspirasi hidup nyata. Ketaatan dan keikhlasannya adalah warisan spiritual yang akan terus hidup dalam setiap hati yang ingin berjalan di jalan yang lurus. Semoga kita bisa meneladani semangatnya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Monitor Saham BUMN

Perjamuan Kekuasaan di Meja Makan

Listyo Sigit Tetap Kapolri, Tak Tergoyahkan

Kesalahan Umum Saat Lempar Jumrah dan Cara Menghindarinya

Menanti Pembuktian Marquez Sang Penakluk Sirkuit Aragon, Lihat Jadwalnya

Usai Bertemu Prabowo di Kertanegara, Pemain Timnas Pulang Bawa Jam Tangan Mewah

Sejarah Lempar Jumrah: Jejak Perlawanan Nabi Ibrahim terhadap Setan

Kurban, Pendidikan dan Misi Peradaban

Tata Cara Lempar Jumrah: Panduan Lengkap untuk Jemaah Haji

Makna dan Hikmah di Balik Lempar Jumrah dalam Ibadah Haji

Prabowo Bangga Timnas Bekuk China: Perjalanan Belum Usai, Siapa Tahu ke Piala Dunia

Ole Romeny Cetak Gol Lagi, Timnas Indonesia Tumbangkan China

Wuih! Awali Petualangan Global, Jumbo Rambah Bioskop Rusia hingga Kyrgystan

Idul Adha di Era Digital: Tetap Bermakna Meski Berbeda Cara

Seskab Teddy Gercep Tanggapi Soal Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat

Tradisi Kurban: Antara Ibadah, Sosial, dan Kearifan Lokal

Prabowo Salurkan 985 Sapi Kurban di Iduladha 1446 H, Terberat Capai 1,3 Ton

Jerman Jatuhkan Hukuman Seumur Hidup Kepada Mantan Milisi Suriah

5 Pemain Dicoret, Ini Skuad Final Timnas Indonesia Jelang Laga Kunci vs China

Trump Larang Warga dari 12 Negara Masuk AS, Lha Kok Kenapa?
