Connect with us

Review

Tak Perlu Berebut Sarung, Bukan Jaminan Menang juga dalam Politik

Natsir Amir

Published

on

Menjelang tahun politik 2024, para calon presiden hingga politisi dari berbagai parpol rajin menyambangi pesantren-pesantren. Publik bisa menerka tujuan dari sowan tersebut tidak lain adalah menarik simpati warga nahdiyin yang notabennya adalah kaum sarungan.

Diakui bahwa jumlah anggota hingga 150 juta jiwa, NU selalu menjadi incaran partai-partai politik. Terbukti, sejumlah elite partai politik beramai-ramai memasang baliho untuk mengucapkan selamat satu abad NU.

Para ketua umum partai politik menyempatkan diri datang ke Resepsi Puncak Satu Abad NU, meski harus berdesakan dengan warga lain. Bahkan beberapa partai, seperti PKB dan PDI-P, menggelar acara khusus untuk memperingati satu abad NU.

Gaya busana para politisi yang bersarung pun cukup efektif memikat warga nahdiyin dari akar rumput. Kendati demikian, tidak menjadi jaminan suara warga nahdiyin menjadi juru kunci kemenangan dalam kontestasi politik.

Kisah kandasnya Kiai Hasyim Muzadi-Megawati menjadi cerita yang bakal diingat sepanjang masa bahwa petinggi PDIP meminang pucuk pimpinan NU juga tidak jadi garansi.

Politisi Senior PDIP, Panda Nababan mencontohkan saat Megawati berpasangan dengan Kiayi Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar NU pada Pilpres 2004 berakhir dengan kekalahan.

“Megawati dulu mengambil biangnya NU, jagoannya NU siapa itu? Hasyim Muzadi. Kalah juga,” kata Panda saat ditemui di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (23/6/2023).

Belum lagi, Anak Kiayi Makruf Amin,Siti Nur Azizah, yang mengikuti calon walikota tangerang selatan juga kalah. Padahal Kiai Ma’ruf Amin yang saat ini adalah Wakil Presiden Republik Indonesia. Kiai Ma’ruf juga menjadi pucuk pimpinan dua ormas Islam terbesar dan paling disegani, Nahdlatul Ulama (Rais Aam) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dan masih banyak contoh lainnya yang mengisahkan cara-cara politisi mendekati Kiyai atau tokoh yang beririsan dengan NU terkesan hanya berebut suara dari warga nahdiyin atau mendompleng nama besar NU.

Soal mencari ceruk suara warga nahdiyin, Katib Aam Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Abdullah Syamsul Arifin, mengeritik kecenderungan kiai untuk mengarahkan pilihan politik masyarakat dan santri. Hal ini menyebabkan pendidikan politik tidak efektif.

“Hak-hak memilih dipasung. Walau pemilih bisa memilih, tapi diarahkan,” katanya.

Kehadiran tokoh, termasuk tokoh agama, dalam partai juga tidak memberikan dampak berarti bagi demokrasi. Kehadiran mereka menyebabkan partai lebih mengandalkan tokoh daripada visi, misi, dan program kerja.

“Masyarakat akhirnya bukan ikut platform partai, tapi ikut orang,” jelasnya. Para kiai diharapkan bisa bersikap arif, membebaskan umatnya memilih tanpa tersekat-sekat.

Umat harus diajarkan cara memilih calon pemimpin yang baik dan benar, dan agar menggunakan hak pilihnya alias tidak golput.

“Kalau melihat calon pemimpin, lihatlah 5-6 tahun yang lalu. Jangan waktu mendekati pemilu, karena yang tampak hanya semu,” kata Abdullah.

PDIP Bakal pilih Cawapres Ganjar dari Kalangan NU

Kendati demikian, Panda Nababan berasumsi kemungkinan bakal calon wakil presiden (cawapres) Ganjar Pranowo dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).

Hal senada juga disampaikan oleh Pengamat politik Dedi Kurnia Syah yang merasa PDIP maupun Megawati memiliki kecenderungan memilih tokoh-tokoh dari Nahdlatul Ulama sebagai cawapres.

Kecendrungan PDIP memilih kalangan NU ini karena Anies Baswedan sepertinya sukses menggaet Muhaimin Iskandar yang tidak cuma Ketua Umum PKB tapi merupakan pula tokoh NU. Dedi berpendapat, masuknya Cak Imin ke Koalisi Perubahan tentu saja mengurangi porsi pemilih NU di Pilpres 2024.

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, cuma memberikan kode-kode kalau cawapres Ganjar Pranowo Mr X dan Mrs Y. Banyak yang menilai tokoh-tokoh yang dimaksud Mahfud MD dan Khofifah Indar Parawansa.

Namun politik di Indonesia ini sangat dinamis, semua serba ada kejutan di titik akhir. Siapa sangka Prabowo yang merupakan rival Jokowi justru dalam satu kabinet. Banyak yang mengagumi Jokowi dan respect kepada Prabowo yang negarawan, bisa legowo dan mau bergandengan tangan demi persatuan bangsa.

Akhirnya banyak istilah-istilah baru tentang kondisi politik saat ini. Politik akomodasi, politik kekeluargaan atau mungkin politik dangkal dan apapun. Istilah-istilah dan analisa-analisa baru muncul karena memang politik di Indonesia sulit ditebak.

Sulit menggunakan logika dasar. Dan, tidak perlu dibawa sampai ke perasaan atau istilah sekarang tidak usah baper. Mari kita sarungan, tetap berpeci karena itu adalah out fit yang keren dikenakan saat mau sholat. Setelah itu, barulah kita ngopi.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *