Review
Karen, BJR, dan Pentingnya Komisaris Independen
Published
6 months agoon
By
Muchlas RowiPagi itu, Kamis 16 Mei 2024. Ruang Sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jalan Bungur Besar tak seperti biasanya. Ruangan yang biasanya sepi mendadak penuh sesak.
Banyak orang hadir melihat kesaksian penting Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia, dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan.
Jusuf Kalla, atau akrab disapa JK, masuk ke ruang sidang dengan raut wajah serius dan mengenakan kemeja putih bergaris biru langit. Beliau adalah saksi meringankan yang didatangkan tim kuasa hukum Karen.
Ketika JK duduk di kursi saksi, ruangan terasa tegang. Semua mata tertuju padanya. Dengan suara tenang namun penuh keyakinan, JK menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hakim.
Saat ditanya apakah dirinya tahu mengapa Karen Agustiawan menjadi terdakwa, JK mengaku bingung.
Ekspresi wajahnya menunjukkan kebingungan yang tulus. Alisnya sedikit mengerut dan matanya menatap lurus ke arah hakim, seolah mencari jawaban yang logis di balik dakwaan yang dijatuhkan pada Karen.
“Ooh, saya juga bingung kenapa dia jadi terdakwa, bingung… karena dia menjalankan tugasnya,” ujarnya, sambil menggerakkan tangan untuk menekankan kebingungannya.
Hakim melanjutkan dengan pertanyaan yang lebih mendalam, “Ini kan berdasarkan instruksi, kata Bapak tadi?”
“Ya, instruksi! Saya ikut dalam pembahasannya waktu itu!” jawab JK tegas.
“Instruksinya harus dipenuhi di atas 30 persen. Saya masih di pemerintahan waktu itu!”
Dengan nada yang makin serius, JK melanjutkan, “Kalau suatu kebijakan bisnis, langkah bisnis rugi, cuma dua kemungkinannya; untung dan rugi. Kalau semua perusahaan rugi harus dihukum, maka seluruh BUMN Karya harus dihukum.”
Pernyataan ini langsung disambut tepuk tangan dari hadirin yang memenuhi ruang sidang.
Kesaksian JK ini menggema di ruang sidang dan membuka diskusi baru tentang prinsip business judgment rule (BJR) dalam kasus korupsi. Tidak hanya di ruang sidang, pernyataannya menyulut percakapan luas tentang bagaimana kerugian bisnis tidak selalu harus berakhir dengan pidana.
Kasus Karen Agustiawan berpusat pada dugaan korupsi dalam investasi Blok Basker Manta Gummy di Australia. Inti dari dakwaannya adalah dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Karen, yang dianggap telah menyebabkan kerugian negara.
Namun, apa yang membuat kasus ini menarik adalah bagaimana keputusan bisnis yang berisiko tinggi, ketika berujung kerugian, bisa berimplikasi hukum.
Dalam konteks ini, pentingnya kepatuhan terhadap tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) menjadi sangat jelas.
Kasus ini menyoroti tiga aspek utama: pelanggaran kewajiban fidusia, kerugian negara, dan kepatuhan terhadap tata kelola perusahaan.
Pertama, Karen Agustiawan diduga melanggar kewajibannya untuk bertindak dengan itikad baik, menjaga kepentingan perusahaan, dan menghindari konflik kepentingan.
Kedua, unsur kerugian negara menjadi fokus utama penuntutan, dianggap sebagai akibat langsung dari keputusan investasi yang diambil tanpa pertimbangan yang matang.
Ketiga, kasus ini menekankan pentingnya tata kelola perusahaan yang baik dalam proses pengambilan keputusan investasi.
Di sinilah peran komisaris independen menjadi sangat krusial. Dimana komisaris independen harus terlibat aktif dalam mengawasi dan memberikan persetujuan terhadap keputusan investasi strategis.
Juga memastikan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada analisis yang menyeluruh dan kepatuhan terhadap prosedur yang berlaku.
Dalam konteks ini, kita mengenal adanya Governance, Risk Management, dan Compliance (GRC). Yang dapat membantu direksi dan dewan komisaris dalam mengambil keputusan sejak rencana investasi digulirkan, hingga saat perusahaan memutuskan untuk keluar dari investasi tersebut.
GRC menjadi kian penting, karena evaluasi risiko yang objektif dan independen memang mesti dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengukur risiko dengan tepat dan cepat.
Selain itu, audit internal yang kuat dan kepatuhan terhadap peraturan dan kebijakan internal harus dipastikan oleh komisaris independen untuk mencegah dan mendeteksi potensi penyimpangan.
Transparansi dan akuntabilitas juga harus didorong, sehingga setiap keputusan besar didokumentasikan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan memaksimalkan peran komisaris independen, perusahaan dapat memperkuat tata kelola perusahaan dan mengurangi risiko terjadinya kasus serupa di masa depan.
Kasus Karen memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya tata kelola yang baik dalam menjaga integritas dan keberlanjutan bisnis.
Semoga ini menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa dalam setiap keputusan bisnis. Kepatuhan dan pemahaman terhadap resiko adalah kunci utama.