News
Pandangan Prof Rokhmin Soal WWF Bali: Mengelola Air Sebagai Sumber Kehidupan
Published
6 months agoon
By
Natsir AmirMonitorday.com – Guru Besar Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan – IPB University, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan World Water Forum di Bali menjadi sebuah perhelatan yang patut diapresiasi. Perhlatan ini membahas isu penting soal pengelolaan air sebagai sumber kehidupan.
Apalagi, kata Prof Rokhmin, Air adalah sumber daya alam yang esensial karena semua makhluk hidup memerlukannya untuk bertahan hidup. Selain untuk kebutuhan mendasar seperti minum dan makan, manusia juga membutuhkan air untuk berbagai aktivitas seperti mandi, mencuci, dan keperluan lainnya.
“Semua aspek kehidupan manusia dan sektor pembangunan seperti pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan, industri manufaktur, dan pariwisata sangat bergantung pada ketersediaan air,” ucap Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GNTI) melalui keterangan yang diterima awak media, Rabu (22/5/2024).
Ketua Dulur Cirebonan ini memaparkan, walaupun 72 persen dari permukaan bumi ditutupi oleh air, hanya 3 persen yang merupakan air tawar (seperti danau, sungai, dan rawa) yang dapat digunakan manusia untuk kebutuhan hidup. Volume total air di bumi mencapai sekitar 1,4 miliar km3, dimana hampir semuanya (97,5 persen) adalah air laut yang bersalinitas tinggi. Hanya 2,5 persen yang merupakan air tawar, namun sebagian besar dari itu (dua per tiga) berbentuk es, terutama di wilayah Antartika dan Greenland.
Lalu, lanjut Prof Rokhmin, sepertiga sisanya hampir semuanya berupa air tanah dalam (groundwater). Sehingga, hanya sedikit sekali porsi air tawar di bumi ini yang terdapat di sungai, danau, dan perairan rawa, yang dapat digunakan dengan mudah untuk menopang kehidupan manusia dan pembangunan.
Sementara itu, sejak tahun 1900, pertambahan penduduk dunia dan pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan konsumsi (penggunaan) air global lebih dari enam kali lipat (UNEP, 2023).
Bagi Prof Rokhmin, kendati proporsi penggunaan air tawar antar sektor pembangunan berbeda dari satu negara ke negara lainnya, sekitar 70 persen pengambilan air dari sungai, danau, dan sumber air alam lainnya secara global digunakan untuk kegiatan pertanian. Sekitar 20 persen untuk industri, dan 10 persen sisanya untuk kegiatan rumah tangga (household activities).
“Lebih dari separuh pengambilan air tawar dari alam secara global terjadi di benua Asia, tempat sebagian besar lahan pertanian beririgasi di dunia. Secara umum, penggunaan air per kapita di negara-negara industri maju jauh lebih tinggi ketimbang di negara-negara berpendapatan menengah dan miskin. Contohnya, penduduk Amerika Serikat menggunakan air tiga kali lipat lebih besar dari pada penduduk Indonesia, dan lima kali lipat penduduk Bangladesh,” papar Prof Rokhmin.
Defisit air
Ketersediaan air tawar dari alam yang terbatas dan kebutuhuannya yang terus meningkat, menempatkan air tawar sebagai SDA yang paling krusial bagi pembangunan berkelanjutan dan kelangsungan hidup manusia. Selain itu, distribusi sumber air tawar di bumi ini juga tidak merata. Di negara-negara atau wilayah dengan curah hujan rendah dan tingkat evaporasi yang tinggi, water scarcity (kelangkaan air) menjadi kendala serius bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan manusia.
Wujud nyata dari semakin meningkatknya masalah kelangkaan air adalah semakin banyaknya sungai-sungai yang kering, pendangkalan danau dan waduk, terkurasnya aquifer (air tanah), penurunan muka air tanah (water table), dan semakin susahnya mendapatkan air pada saat musim kemarau. Contohnya, dalam kurun waktu 40 tahun (1966 – 2006) Danau Chad di Afrika Tengah mengalami penyusutan luas permukaan sekitar 95 persen (UNEP, 2006). Dan, permasalahan ini tidak hanya menimpa D. Chad, tetapi terjadi hampir di semua danau di dunia. Di Propinsi Qinhai, China yang dilewati Sungai Kuning (Yellow River), dari 4.077 danau yang ada, 2.000 danau hilang (menjadi daratan) selama 1988 – 2008. Dalam periode yang sama, Propinsi Hebei kehilangan 969 danau dari sebelumnya 1.052 danau.
Danau Chapala, Meksiko, volume airnya susut sebesar 80 persen (Brown, 2008). Di Indonesia sendiri, dari 1.575 danau yang ada hampir semuanya mengalami penyusutan luas, dan 15 danau dalam keadaan kritis. Kelima belas danau itu adalah Danau Toba, Maninjau, Singkarak, Kerinci, Danau Diatas dan Bawah, Rawa Danau, Rawa Pening, Poso, Tondano, Tempe, Matano, Limboto, Mahakam, Sentarum, dan Sentani. Volume air di 7.245 waduk di seluruh dunia mengalami penyusutan cukup signifikan selama 1999 – 2018. Padahal, pada kurun waktu yang sama, kapasitas bendungan bertambah hingga 28.000 m3 per tahun (Nature Communication, 2023).
Banyak sungai utama di dunia, yang dulu airnya mengalir sepanjang tahun dari hulu hingga ke muaranya di laut. Dalam setengah abad terakhir, mengalami kekeringan di musim kemarau atau aliran airnya tidak mencapai laut. Contohnya adalah Sungai Colorado, S. Kuning, Nil, Indus (Pakistan), Gangga, S. Amu Darya dan S. Syr Darya (Asia Tengah), S. Tigris dan S. Euphrates (Turki – Syria – Irak dan bermuara di Teluk Persia), dan S. Mekong dari hulunya di China, melintasi Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam, lalu bermuara di Laut China Selatan.
Masalah defisit air global merupakan akibat dari meningkatkannya permintaan terhadap air tawar secara fenomenal, empat kali lipat dalam setengah abad terakhir. Jutaan sumur irigasi, sumur-sumur di wilayah perkotaan dan pemukiman di seluruh dunia yang jumlahnya terus meningkat, telah mengakibatkan laju pengambilan air tanah melampaui kemampuan pulih (recharge rate) nya. Sehingga, muka air tanah di banyak negara, termasuk di China, India, Amerika Serikat, Indonesia, dan Timur Tengah turun cukup drastis. Selain itu, banyak pula aquifer yang kering, terkuras airnya.
Terkurasnya air aquifer dan penurunan muka air tanah telah berdampak negatif terhadap produksi pangan global. Misalnya, total produksi gandum China pada 2007 menurun 15 persen menjadi 105 juta ton, dari 123 juta ton pada 1997 (USDA, 2007). Kondisi serupa juga terjadi di India, Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa. Oleh karena itu, krisis air global pada gilirannya bisa mengancam ketahanan pangan global.
Penurunan muka air tanah akibat overpumping (pengambilan air tanah secara berlebihan) dan semakin besarnya beban bangunan di wilayah perkotaan, telah menyebabkan penurunan muka tanah (land subsidence) sebesar 3 – 10 mm per tahun di 45 persen wilayah perkotaan di China. Sekitar 6,3 juta km2 lahan pesisir (coastal land) di dunia beresiko mengalami penurunan muka tanah. Selain itu, 44 kota besar pesisir dunia dilanda penurunan muka tanah, dimana 33 kota besar diantaranya berada di benua Asia, termasuk Jakarta, Semarang, dan Surabaya (NUS, 2022).
Di banyak negara, mayoritas penduduknya kesulitan untuk mendapatkan air bersih yang sehat untuk makan, minum, dan keperluan lainnya. Masalah kelangkaan air telah mengakibatkan dampak buruk bagi sekitar 1,2 milyar penduduk dunia, terutama di Afrika, Asia Selatan, dan Pasifik Selatan. Lebih dari itu, sekitar 1,6 milyar warga dunia mengalami kesulitan untuk mengambil air tawar yang bersih dan sehat dari sumber air permukaan (sungai dan danau) maupun air tanah (Juniper, 2021).
Permasalahan krisis air global ini diperparah oleh Pemanasan Global. Pasalnya, peningkatan suhu bumi telah menyebabkan peningkatan laju evaporasi, gelombang panas, mengubah pola curah hujan, cuaca ekstrem, melelehnya gunung es dunia di Kutub Utara dan Kutub Selatan, peningaktan muka air laut (sea level rise), pemasaman air laut (ocean acidification), dan banjir serta kekeringan yang ekstrem.
Pencemaran perairan
Krisis air global tidak hanya terkait dengan aspek kuantitas, seperti kelangkaan air, banjir, dan kekeringan, tetapi juga aspek kualitasnya. Tingkat pencemaran ekosistem perairan sungai, danau, waduk, dan air tanah di bergabai belahan dunia semakin meluas dan mencemaskan. Konsentrasi bahan pencemar (pollutant) telah melebihi kapasitas asimilasi (assimilative capacity) banyak perairan sungai, danau, dan bendungan di sebagian besar negara di dunia. Sebut saja, Yellow River, Sungai Mekong, S. Gangga, dan S, Nil. Serta the Great Lakes di AS, Danau Victoria di Afrika, dan Danau Wuhan di China.
Pencemaran sungai, danau, waduk, dan air tanah di Indonesia juga sudah pada tingkat yang membahayakan kelestarian eksosistem perairan dan kehidupan manusia. Bahkan S. Citarum pernah dinobatkan sebagai sungai yang paling tercemar (the most polluted river) di dunia pada 2016 (UNEP dan Bank Dunia, 2017). Paada 2015, sekitar 68 persen dari seluruh sungai di Indonesia menderita pencemaran berat, 24 persen tercemar sedang, 6 persen tercemar ringan, dan hanya 2 persen yang tidak tercemar (KLHK, 2016). Lebih dari 12,7 juta ton limbah setiap tahunnya dibuang ke danau, waduk, dan sungai yang akhirnya menumpuk di wilayah pesisir dan laut (KLHK, 2022).
Berbagai jenis bahan pencemar yang berasal dari limbah industri (seperti logam berat, pewarna, khlorin, dan limbah panas); limbah pertanian (sisa pupuk, pestisida, dan insektisida); limbah rumah tangga (bahan organik, nutrien, dan sampah padat); limbah perkotaan (plastik, kertas, dan sewage); pertambangan (lumpur, tailing, dan logam berat), dan berbagai jenis limbah dari kegiatan manusia serta sektor pembangunan lainnya dibuang ke sungai, danau, waduk, dan laut tanpa diolah (dinetralkan) terlebih dahulu.
Akibatnya, banyak sungai, danau, bendungan, dan perairan laut pesisir di dunia mengalami tingkat pencemaran yang berat hingga sangat berat. Pencemaran tidak hanya mematikan biota dan eksosistem perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesahatan manusia, bahkan mengakibatkan kematian manusia yang memanfaatkan perairan itu. Berbagai macam bahan pencemar itu ada yang berupa limbah organik dan limbah anorganik, dan ada yang bersifat B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) dan non-B3.
Jenis limbah anorganik dan B3 (seperti logam berat, pestisida, dan insektisida) dan anorganik pada umumnya sukar atau bahkan tidak bisa terurai (non-degradable) di dalam eksosistem perairan, dan sangat membahayakan bahkan mematikan biota perairan serta manusia melaui aliran bahan pencemar tersebut dalam rantai makanan.
Sementara itu, jenis limbah non-B3, organik, dan nutrien (nitrogen dan fosfor) tidak akan membahayakan ekosistem perairan dan kehidupan manusia, sepanjang jumlah yang dibuang ke dalam suatu ekosistem perairan (polluition load) tidak melampaui kapasitas asimilasinya. Pada umumnya, ekosistem perairan (sungai, danau, bendungan, dan air tanah) yang tercemar berat sampai sangat berat, apalagi tercemar oleh limbah B3, tidak bisa digunakan untuk sumber air minum, makan, mandi, pertanian, dan pariwisata.
Apa yang harus kita lakukan
Kabar baiknya adalah bahwa meskipun banyak ekosistem perairan dan sumber air di dunia yang telah kita manfaatkan secara berlebihan, mencemari, dan tidak berkelanjutan; menurut perhitungan International Geosphere-Biosphere Programme (2020) masih tersedia air tawar di planet bumi ini yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.
Namun, tidak berarti cara-cara kita memanfaatkan sumber daya air secara boros, mencemari, merusak lingkungan, dan tidak berkelanjutan selama ini bisa diteruskan. Sebaliknya, mulai sekarang juga kita mesti melakukan transformasi untuk merawat sumber-sumber air di bumi ini dan memanfaatkannya secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. Untuk itu, ada delapan program aksi (action programs) yang harus kita laksanakan dari tingkat lokal, nasional, hingga global.
Pertama, kita harus menggunakan air untuk keperluan rumah tangga, pertanian, industri, dan kegiatan lainnya secara lebih hemat dan efisien. Selain itu, keadilan dalam penggunaan air (water-use equity) antar warga dalam suatu negara maupun antar bangsa di dunia harus ditegakkan. Pasalnya, warga dunia yang kaya umumnya menggunakan air (water footprint) jauh lebih tinggi ketimbang yang miskin. Sepuluh negara dengan penggunaan air terbesar di dunia adalah: India (1.564 km3/tahun), China (1.428 km3/tahun), AS (998 km3/tahun), Brazil (584 km3/tahun), Indonesia (431 km3/tahun), Pakistan (384 km3/tahun), Rusia (335 km3/tahun), Nigeria (309 km3/tahun), Thailand (268 km3/tahun), dan Meksiko (238 km3/tahun) (Mekonnen and Hoekstra, 2011).
Kedua, stop mencemari sungai, danau, waduk, air tanah, dan laut, dengan menerapkan zero-waste technology, teknologi 3 R (Reuse, Reduce, dan Recycle), dan teknologi pengolahan limbah sebelum dibuang ke lingkungan perairan.
Ketiga, merehabilitasi dan merawat sumber-sumber air yang telah rusak. Ini termasuk sumber-sumber air di hulu sungai dan air tanah; serta sungai, danau, dan waduk yang mengalami pendangkalan dan pencemaran.
Keempat, kurangi dan kendalikan penggunaan air tanah dangkal maupun air tanah dalam untuk mencegah penurunan water table dan land subsidence, khsusunya di wilayah perkotaan dan pemukiman padat penduduk.
Kelima, tingkatkan penampungan dan penggunaan air hujan, daur ulang air limbah non-B3 dan limbah cair (sewage) perkotaan, dan desalinasi (mengubah air laut menjadi air tawar) untuk menigkatkan ketersediaan air tawar bagi keperluan rumah tangga, pertanian, dan lainnya. Sekaligus, mengurangi tekanan penggunaan air tanah.
Keenam, rehabilitasi dan perawatan ekosistem hutan, dan perbaikan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ini sangat urgen untuk memastikan bahwa fungsi hidro-orologis (penyediaan air di kala kemarau, dan pengendalian banjir saat musim penghujan) dari ekosistem hutan dan sungai berjalan secara optimal dan berkelanjutan.
Ketujuh, peningkatan kesadaran dan kapasitas pemerintah, swasta, dan masyarakat di dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Kedelapan, penguatan dan pengembangan kerjasama internasional yang saling menguntungkan dan menghormati dalam pengelolaan sumber daya air untuk kesejahteraan bersama secara berkelanjutan.
Mengakhiri pandangannya, Prof Rokhmin berharap World Water Forum ke-10 yang digelar di Bali pada 18 – 25 Mei 2024, Indonesia tidak hanya sukses sebagai tuan rumah (event organizer), tetapi juga mampu menggalang bangsa-bangsa dunia untuk berkolaborasi melaksanakan program aksi dalam mengatasi krisis air global dan pengelolaan pemanfaatan sumber saya air secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GNTI)