Connect with us

News

Pandangan Prof Rokhmin Soal WWF Bali: Mengelola Air Sebagai Sumber Kehidupan

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Guru Besar Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan – IPB University, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan World Water Forum di Bali menjadi sebuah perhelatan yang patut diapresiasi. Perhlatan ini membahas isu penting soal pengelolaan air sebagai sumber kehidupan.

Apalagi, kata Prof Rokhmin, Air adalah sumber daya alam yang esensial karena semua makhluk hidup memerlukannya untuk bertahan hidup. Selain untuk kebutuhan mendasar seperti minum dan makan, manusia juga membutuhkan air untuk berbagai aktivitas seperti mandi, mencuci, dan keperluan lainnya.

“Semua aspek kehidupan manusia dan sektor pembangunan seperti pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan, industri manufaktur, dan pariwisata sangat bergantung pada ketersediaan air,” ucap Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GNTI) melalui keterangan yang diterima awak media, Rabu (22/5/2024).

Ketua Dulur Cirebonan ini memaparkan, walaupun 72 persen dari permukaan bumi ditutupi oleh air, hanya 3 persen yang merupakan air tawar (seperti danau, sungai, dan rawa) yang dapat digunakan manusia untuk kebutuhan hidup. Volume total air di bumi mencapai sekitar 1,4 miliar km3, dimana hampir semuanya (97,5 persen) adalah air laut yang bersalinitas tinggi. Hanya 2,5 persen yang merupakan air tawar, namun sebagian besar dari itu (dua per tiga) berbentuk es, terutama di wilayah Antartika dan Greenland.

Lalu, lanjut Prof Rokhmin, sepertiga sisanya hampir semuanya berupa air tanah dalam (groundwater). Sehingga, hanya sedikit sekali porsi air tawar di bumi ini yang terdapat di sungai, danau, dan perairan rawa, yang dapat digunakan dengan mudah untuk menopang kehidupan manusia dan pembangunan.
Sementara itu, sejak tahun 1900, pertambahan penduduk dunia dan pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan konsumsi (penggunaan) air global lebih dari enam kali lipat (UNEP, 2023).

Bagi Prof Rokhmin, kendati proporsi penggunaan air tawar antar sektor pembangunan berbeda dari satu negara ke negara lainnya, sekitar 70 persen pengambilan air dari sungai, danau, dan sumber air alam lainnya secara global digunakan untuk kegiatan pertanian. Sekitar 20 persen untuk industri, dan 10 persen sisanya untuk kegiatan rumah tangga (household activities).

“Lebih dari separuh pengambilan air tawar dari alam secara global terjadi di benua Asia, tempat sebagian besar lahan pertanian beririgasi di dunia. Secara umum, penggunaan air per kapita di negara-negara industri maju jauh lebih tinggi ketimbang di negara-negara berpendapatan menengah dan miskin. Contohnya, penduduk Amerika Serikat menggunakan air tiga kali lipat lebih besar dari pada penduduk Indonesia, dan lima kali lipat penduduk Bangladesh,” papar Prof Rokhmin.

Defisit air
Ketersediaan air tawar dari alam yang terbatas dan kebutuhuannya yang terus meningkat, menempatkan air tawar sebagai SDA yang paling krusial bagi pembangunan berkelanjutan dan kelangsungan hidup manusia. Selain itu, distribusi sumber air tawar di bumi ini juga tidak merata. Di negara-negara atau wilayah dengan curah hujan rendah dan tingkat evaporasi yang tinggi, water scarcity (kelangkaan air) menjadi kendala serius bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan manusia.

Wujud nyata dari semakin meningkatknya masalah kelangkaan air adalah semakin banyaknya sungai-sungai yang kering, pendangkalan danau dan waduk, terkurasnya aquifer (air tanah), penurunan muka air tanah (water table), dan semakin susahnya mendapatkan air pada saat musim kemarau. Contohnya, dalam kurun waktu 40 tahun (1966 – 2006) Danau Chad di Afrika Tengah mengalami penyusutan luas permukaan sekitar 95 persen (UNEP, 2006). Dan, permasalahan ini tidak hanya menimpa D. Chad, tetapi terjadi hampir di semua danau di dunia. Di Propinsi Qinhai, China yang dilewati Sungai Kuning (Yellow River), dari 4.077 danau yang ada, 2.000 danau hilang (menjadi daratan) selama 1988 – 2008. Dalam periode yang sama, Propinsi Hebei kehilangan 969 danau dari sebelumnya 1.052 danau.

Danau Chapala, Meksiko, volume airnya susut sebesar 80 persen (Brown, 2008). Di Indonesia sendiri, dari 1.575 danau yang ada hampir semuanya mengalami penyusutan luas, dan 15 danau dalam keadaan kritis. Kelima belas danau itu adalah Danau Toba, Maninjau, Singkarak, Kerinci, Danau Diatas dan Bawah, Rawa Danau, Rawa Pening, Poso, Tondano, Tempe, Matano, Limboto, Mahakam, Sentarum, dan Sentani. Volume air di 7.245 waduk di seluruh dunia mengalami penyusutan cukup signifikan selama 1999 – 2018. Padahal, pada kurun waktu yang sama, kapasitas bendungan bertambah hingga 28.000 m3 per tahun (Nature Communication, 2023).

Banyak sungai utama di dunia, yang dulu airnya mengalir sepanjang tahun dari hulu hingga ke muaranya di laut. Dalam setengah abad terakhir, mengalami kekeringan di musim kemarau atau aliran airnya tidak mencapai laut. Contohnya adalah Sungai Colorado, S. Kuning, Nil, Indus (Pakistan), Gangga, S. Amu Darya dan S. Syr Darya (Asia Tengah), S. Tigris dan S. Euphrates (Turki – Syria – Irak dan bermuara di Teluk Persia), dan S. Mekong dari hulunya di China, melintasi Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam, lalu bermuara di Laut China Selatan.

Masalah defisit air global merupakan akibat dari meningkatkannya permintaan terhadap air tawar secara fenomenal, empat kali lipat dalam setengah abad terakhir. Jutaan sumur irigasi, sumur-sumur di wilayah perkotaan dan pemukiman di seluruh dunia yang jumlahnya terus meningkat, telah mengakibatkan laju pengambilan air tanah melampaui kemampuan pulih (recharge rate) nya. Sehingga, muka air tanah di banyak negara, termasuk di China, India, Amerika Serikat, Indonesia, dan Timur Tengah turun cukup drastis. Selain itu, banyak pula aquifer yang kering, terkuras airnya.

Terkurasnya air aquifer dan penurunan muka air tanah telah berdampak negatif terhadap produksi pangan global. Misalnya, total produksi gandum China pada 2007 menurun 15 persen menjadi 105 juta ton, dari 123 juta ton pada 1997 (USDA, 2007). Kondisi serupa juga terjadi di India, Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa. Oleh karena itu, krisis air global pada gilirannya bisa mengancam ketahanan pangan global.

Penurunan muka air tanah akibat overpumping (pengambilan air tanah secara berlebihan) dan semakin besarnya beban bangunan di wilayah perkotaan, telah menyebabkan penurunan muka tanah (land subsidence) sebesar 3 – 10 mm per tahun di 45 persen wilayah perkotaan di China. Sekitar 6,3 juta km2 lahan pesisir (coastal land) di dunia beresiko mengalami penurunan muka tanah. Selain itu, 44 kota besar pesisir dunia dilanda penurunan muka tanah, dimana 33 kota besar diantaranya berada di benua Asia, termasuk Jakarta, Semarang, dan Surabaya (NUS, 2022).

Di banyak negara, mayoritas penduduknya kesulitan untuk mendapatkan air bersih yang sehat untuk makan, minum, dan keperluan lainnya. Masalah kelangkaan air telah mengakibatkan dampak buruk bagi sekitar 1,2 milyar penduduk dunia, terutama di Afrika, Asia Selatan, dan Pasifik Selatan. Lebih dari itu, sekitar 1,6 milyar warga dunia mengalami kesulitan untuk mengambil air tawar yang bersih dan sehat dari sumber air permukaan (sungai dan danau) maupun air tanah (Juniper, 2021).

Permasalahan krisis air global ini diperparah oleh Pemanasan Global. Pasalnya, peningkatan suhu bumi telah menyebabkan peningkatan laju evaporasi, gelombang panas, mengubah pola curah hujan, cuaca ekstrem, melelehnya gunung es dunia di Kutub Utara dan Kutub Selatan, peningaktan muka air laut (sea level rise), pemasaman air laut (ocean acidification), dan banjir serta kekeringan yang ekstrem.

Pencemaran perairan
Krisis air global tidak hanya terkait dengan aspek kuantitas, seperti kelangkaan air, banjir, dan kekeringan, tetapi juga aspek kualitasnya. Tingkat pencemaran ekosistem perairan sungai, danau, waduk, dan air tanah di bergabai belahan dunia semakin meluas dan mencemaskan. Konsentrasi bahan pencemar (pollutant) telah melebihi kapasitas asimilasi (assimilative capacity) banyak perairan sungai, danau, dan bendungan di sebagian besar negara di dunia. Sebut saja, Yellow River, Sungai Mekong, S. Gangga, dan S, Nil. Serta the Great Lakes di AS, Danau Victoria di Afrika, dan Danau Wuhan di China.

Pencemaran sungai, danau, waduk, dan air tanah di Indonesia juga sudah pada tingkat yang membahayakan kelestarian eksosistem perairan dan kehidupan manusia. Bahkan S. Citarum pernah dinobatkan sebagai sungai yang paling tercemar (the most polluted river) di dunia pada 2016 (UNEP dan Bank Dunia, 2017). Paada 2015, sekitar 68 persen dari seluruh sungai di Indonesia menderita pencemaran berat, 24 persen tercemar sedang, 6 persen tercemar ringan, dan hanya 2 persen yang tidak tercemar (KLHK, 2016). Lebih dari 12,7 juta ton limbah setiap tahunnya dibuang ke danau, waduk, dan sungai yang akhirnya menumpuk di wilayah pesisir dan laut (KLHK, 2022).

Berbagai jenis bahan pencemar yang berasal dari limbah industri (seperti logam berat, pewarna, khlorin, dan limbah panas); limbah pertanian (sisa pupuk, pestisida, dan insektisida); limbah rumah tangga (bahan organik, nutrien, dan sampah padat); limbah perkotaan (plastik, kertas, dan sewage); pertambangan (lumpur, tailing, dan logam berat), dan berbagai jenis limbah dari kegiatan manusia serta sektor pembangunan lainnya dibuang ke sungai, danau, waduk, dan laut tanpa diolah (dinetralkan) terlebih dahulu.

Akibatnya, banyak sungai, danau, bendungan, dan perairan laut pesisir di dunia mengalami tingkat pencemaran yang berat hingga sangat berat. Pencemaran tidak hanya mematikan biota dan eksosistem perairan, tetapi juga dapat membahayakan kesahatan manusia, bahkan mengakibatkan kematian manusia yang memanfaatkan perairan itu. Berbagai macam bahan pencemar itu ada yang berupa limbah organik dan limbah anorganik, dan ada yang bersifat B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) dan non-B3.

Jenis limbah anorganik dan B3 (seperti logam berat, pestisida, dan insektisida) dan anorganik pada umumnya sukar atau bahkan tidak bisa terurai (non-degradable) di dalam eksosistem perairan, dan sangat membahayakan bahkan mematikan biota perairan serta manusia melaui aliran bahan pencemar tersebut dalam rantai makanan.

Sementara itu, jenis limbah non-B3, organik, dan nutrien (nitrogen dan fosfor) tidak akan membahayakan ekosistem perairan dan kehidupan manusia, sepanjang jumlah yang dibuang ke dalam suatu ekosistem perairan (polluition load) tidak melampaui kapasitas asimilasinya. Pada umumnya, ekosistem perairan (sungai, danau, bendungan, dan air tanah) yang tercemar berat sampai sangat berat, apalagi tercemar oleh limbah B3, tidak bisa digunakan untuk sumber air minum, makan, mandi, pertanian, dan pariwisata.

Apa yang harus kita lakukan
Kabar baiknya adalah bahwa meskipun banyak ekosistem perairan dan sumber air di dunia yang telah kita manfaatkan secara berlebihan, mencemari, dan tidak berkelanjutan; menurut perhitungan International Geosphere-Biosphere Programme (2020) masih tersedia air tawar di planet bumi ini yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.

Namun, tidak berarti cara-cara kita memanfaatkan sumber daya air secara boros, mencemari, merusak lingkungan, dan tidak berkelanjutan selama ini bisa diteruskan. Sebaliknya, mulai sekarang juga kita mesti melakukan transformasi untuk merawat sumber-sumber air di bumi ini dan memanfaatkannya secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. Untuk itu, ada delapan program aksi (action programs) yang harus kita laksanakan dari tingkat lokal, nasional, hingga global.

Pertama, kita harus menggunakan air untuk keperluan rumah tangga, pertanian, industri, dan kegiatan lainnya secara lebih hemat dan efisien. Selain itu, keadilan dalam penggunaan air (water-use equity) antar warga dalam suatu negara maupun antar bangsa di dunia harus ditegakkan. Pasalnya, warga dunia yang kaya umumnya menggunakan air (water footprint) jauh lebih tinggi ketimbang yang miskin. Sepuluh negara dengan penggunaan air terbesar di dunia adalah: India (1.564 km3/tahun), China (1.428 km3/tahun), AS (998 km3/tahun), Brazil (584 km3/tahun), Indonesia (431 km3/tahun), Pakistan (384 km3/tahun), Rusia (335 km3/tahun), Nigeria (309 km3/tahun), Thailand (268 km3/tahun), dan Meksiko (238 km3/tahun) (Mekonnen and Hoekstra, 2011).

Kedua, stop mencemari sungai, danau, waduk, air tanah, dan laut, dengan menerapkan zero-waste technology, teknologi 3 R (Reuse, Reduce, dan Recycle), dan teknologi pengolahan limbah sebelum dibuang ke lingkungan perairan.

Ketiga, merehabilitasi dan merawat sumber-sumber air yang telah rusak. Ini termasuk sumber-sumber air di hulu sungai dan air tanah; serta sungai, danau, dan waduk yang mengalami pendangkalan dan pencemaran.

Keempat, kurangi dan kendalikan penggunaan air tanah dangkal maupun air tanah dalam untuk mencegah penurunan water table dan land subsidence, khsusunya di wilayah perkotaan dan pemukiman padat penduduk.

Kelima, tingkatkan penampungan dan penggunaan air hujan, daur ulang air limbah non-B3 dan limbah cair (sewage) perkotaan, dan desalinasi (mengubah air laut menjadi air tawar) untuk menigkatkan ketersediaan air tawar bagi keperluan rumah tangga, pertanian, dan lainnya. Sekaligus, mengurangi tekanan penggunaan air tanah.

Keenam, rehabilitasi dan perawatan ekosistem hutan, dan perbaikan pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ini sangat urgen untuk memastikan bahwa fungsi hidro-orologis (penyediaan air di kala kemarau, dan pengendalian banjir saat musim penghujan) dari ekosistem hutan dan sungai berjalan secara optimal dan berkelanjutan.
Ketujuh, peningkatan kesadaran dan kapasitas pemerintah, swasta, dan masyarakat di dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Kedelapan, penguatan dan pengembangan kerjasama internasional yang saling menguntungkan dan menghormati dalam pengelolaan sumber daya air untuk kesejahteraan bersama secara berkelanjutan.

Mengakhiri pandangannya, Prof Rokhmin berharap World Water Forum ke-10 yang digelar di Bali pada 18 – 25 Mei 2024, Indonesia tidak hanya sukses sebagai tuan rumah (event organizer), tetapi juga mampu menggalang bangsa-bangsa dunia untuk berkolaborasi melaksanakan program aksi dalam mengatasi krisis air global dan pengelolaan pemanfaatan sumber saya air secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GNTI)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Impor Bebas, Pajak Naik, Peternak Tersingkir?

Instruksi Presiden Prabowo untuk menghapus kuota impor demi menarik pajak dan melancarkan perdagangan menimbulkan pertanyaan besar: benarkah ini langkah strategis, atau justru ancaman terselubung bagi peternak lokal?

N Ayu Ashari

Published

on

Monitorday.com – Instruksi Presiden Prabowo untuk menghapus kuota impor demi menarik pajak dan melancarkan perdagangan menimbulkan pertanyaan besar: benarkah ini langkah strategis, atau justru ancaman terselubung bagi peternak lokal?

Ketika Presiden Prabowo Subianto menyerukan penghapusan kuota impor demi mempercepat arus barang dan menambah pemasukan pajak negara, publik sontak tergoda untuk mengangguk setuju. Wacana ini disampaikan dengan gaya tegas khas sang presiden: siapa pun boleh impor, tidak ada lagi penunjukan khusus, tidak ada monopoli. Terlihat seperti angin segar, bukan? Tapi mari kita tarik napas sejenak dan bertanya: benarkah kebijakan ini akan menguntungkan rakyat, atau justru menyudutkan mereka yang paling rentan?

Kita bicara daging. Komoditas strategis. Bukan hanya soal pasokan dan harga, tapi juga soal mata pencaharian jutaan peternak lokal yang setiap hari menggantungkan hidup dari sapi, kambing, dan ayam yang mereka rawat. Jika siapa saja bisa impor daging—tanpa kuota, tanpa batas, tanpa kendali—lalu di mana ruang hidup untuk peternak kita?

Pemerintah berdalih, ini demi meningkatkan efisiensi dan menghapus kartel. Benar, kartel impor memang nyata dan menyakitkan. Tapi mengganti kartel dengan kran terbuka tanpa filter bukanlah solusi. Justru ini seperti mengganti ban bocor dengan melempar seluruh roda keluar jendela.

Bagaimana nasib peternak sapi lokal yang produksinya belum bisa bersaing dari sisi harga dengan daging beku asal Australia, Brasil, atau India? Harga sapi lokal masih terpaut jauh karena rantai pasok dan biaya produksi yang tinggi. Tanpa proteksi minimal, peternak hanya akan jadi penonton di negeri sendiri. Yang menimpa petani bawang dan cabai karena impor murah bisa dengan mudah menimpa peternak. Padahal, bukan mereka yang gagal. Mereka hanya belum diberi ekosistem yang adil untuk berkembang.

Dan bila tujuan utama kebijakan ini adalah meningkatkan penerimaan pajak, apakah memang tak ada cara lain? Pajak bisa dikejar dari sisi hilir—konsumsi, transaksi digital, penguatan PPh Badan—bukan dengan membuka pintu impor lebar-lebar dan menenggelamkan produsen lokal. Lagi pula, pengusaha lokal yang sehat juga akan membayar pajak. Tapi jika mereka terkapar dihantam daging murah impor, maka satu-satunya yang tersisa membayar pajak adalah korporasi besar asing.

Prabowo menyebut ini langkah demi menciptakan lapangan kerja. Tapi siapa yang akan menciptakan lapangan kerja ketika peternak lokal gulung tikar? Siapa yang akan menjaga ketahanan pangan jika daging sepenuhnya bergantung pada pasar global?

Perekonomian bukan hanya soal angka dan kemudahan bisnis. Ia adalah denyut hidup rakyat. Birokrasi memang harus ramping, tapi bukan berarti tanpa arah. Jika setiap orang bisa impor sesuka hati, siapa yang memastikan kualitas? Keamanan pangan? Standar produksi? Atau ini akan jadi era baru “siapa cepat dia dapat” tanpa batas dan pengawasan?

Energi perubahan yang diusung Presiden Prabowo memang patut diapresiasi. Tapi energi tanpa arah bisa jadi angin puyuh. Membuka pintu tanpa pagar bukan kebebasan, itu justru kelengahan.

Kita butuh reformasi, iya. Kita butuh efisiensi, tentu. Tapi yang lebih mendesak adalah keberpihakan: pada peternak lokal, pada ketahanan pangan nasional, dan pada masa depan industri dalam negeri. Sebab bukan pajak semata yang jadi tolok ukur kesejahteraan, melainkan siapa yang masih bisa hidup layak dalam ekosistem ekonomi yang kita bangun bersama.

Continue Reading

News

Hamas Apresiasi Langkah Uni Afrika Usir Dubes Israel dari Konferensi Genosida Rwanda

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com – Kelompok Palestina Hamas menyambut baik keputusan Uni Afrika untuk mengusir Duta Besar Israel untuk Ethiopia, Avraham Neguise, dari konferensi yang membahas genosida Rwanda, menggambarkan langkah tersebut sebagai tindakan berani.

Pada Senin (7/4), Neguise diusir dari konferensi yang diselenggarakan Uni Afrika di ibu kota Ethiopia, Addis Ababa.

Keputusan ini mendapat pujian dari Hamas, yang menyatakan bahwa langkah Uni Afrika mencerminkan nilai dan prinsip yang dijunjung tinggi oleh organisasi tersebut, serta mendukung perjuangan Palestina melawan kolonialisme Zionis.

Dalam pernyataannya, Hamas menekankan bahwa keberanian Israel dalam mengirimkan perwakilan ke konferensi tentang genosida Rwanda, sementara negara tersebut tengah melakukan kejahatan genosida terhadap warga Palestina di Gaza, menunjukkan sikap yang semakin melampaui batas.

Hamas juga mendesak organisasi internasional dan regional untuk memberlakukan boikot terhadap Israel, serta mencegah negara tersebut memanfaatkan platform internasional untuk membenarkan tindakannya terhadap rakyat Palestina.

Pihak berwenang Israel mengonfirmasi bahwa Neguise diusir setelah negara-negara anggota Uni Afrika menolak berpartisipasi bersama dirinya dalam konferensi tersebut.

Kejadian ini mengingatkan pada insiden sebelumnya pada Februari 2023, ketika seorang diplomat Israel juga diusir dari pertemuan puncak Uni Afrika ke-36 yang berlangsung di Addis Ababa.

Keputusan Uni Afrika ini terjadi di tengah serangan militer Israel yang berlangsung di Gaza sejak Maret 2025, yang telah menyebabkan lebih dari 1.400 korban jiwa dan melukai lebih dari 3.400 orang.

Sejak serangan dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 50.700 warga Palestina telah tewas di Gaza, dengan mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak.

Selain itu, Israel kini menghadapi tuntutan atas kejahatan perang di Mahkamah Pidana Internasional dan kasus genosida di Mahkamah Internasional terkait serangan militer di Gaza.

Continue Reading

News

Prabowo dan Megawati Gelar Pertemuan di Teuku Umar, Ini yang Dibahas

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com – Ketua Harian DPP Partai Gerindra sekaligus Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengungkapkan bahwa pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, berlangsung dalam suasana yang akrab dan hangat.

Pertemuan yang berlangsung pada Senin (7/4) di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, berlangsung sekitar satu jam 30 menit dan membahas berbagai hal penting.

Dasco menjelaskan bahwa meskipun pertemuan ini berlangsung cukup lama, suasana yang tercipta tetap terasa ringan dan kekeluargaan.

“Pertemuan semalam adalah pertemuan yang penuh keakraban, tak terasa waktu berjalan cukup lama, dan banyak hal yang dibahas oleh kedua tokoh ini,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa (8/4).

Menurut Dasco, hubungan antara Prabowo dan Megawati memang sudah terjalin baik sejak lama, sehingga pertemuan tersebut merupakan hal yang wajar. Selain itu, pertemuan ini juga dimaknai sebagai ajang silaturahmi dalam rangka menyambut Hari Raya Idulfitri 1446 Hijriah.

“Pertemuan ini juga bagian dari silaturahmi menyambut Hari Raya Idulfitri,” ujar Dasco.

Momen tersebut juga diabadikan dalam sebuah foto yang diunggah oleh Dasco melalui akun Twitter-nya. Dalam foto tersebut, Prabowo dan Megawati tampak duduk bersama di sebuah sofa, dengan Prabowo mengenakan kemeja safari lengan panjang dan celana panjang hitam, sementara Megawati mengenakan pakaian lengan panjang berwarna ungu dengan motif bunga.

Di unggahannya, Dasco menuliskan, “7-4-2025, Alhamdulillah… Merajut kebersamaan Untuk Indonesia Kita,” disertai emoticon bendera merah putih.

Pertemuan ini sebenarnya sudah direncanakan sejak lama, namun baru kali ini terlaksana.

Pertemuan antara Prabowo dan Megawati dianggap signifikan, mengingat PDI Perjuangan adalah satu-satunya partai yang tidak berada dalam pemerintahan Prabowo Subianto saat ini.

Continue Reading

News

Kritisi Kebijakan Tarif Impor AS, Sri Mulyani Sebut Trump Tidak Berdasarkan Ilmu Ekonomi

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengkritik keras kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terutama tarif resiprokal yang diberlakukan terhadap Indonesia sebesar 32 persen.

Sri Mulyani menyebut, kebijakan tarif yang diterapkan Trump tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang sah, melainkan semata-mata untuk menanggulangi defisit perdagangan AS.

Dalam acara Sarasehan Ekonomi yang digelar di Menara Mandiri, Jakarta Pusat, pada Selasa (8/4), Sri Mulyani menilai bahwa tarif yang ditetapkan oleh AS terhadap 60 negara tersebut tidak dapat dipahami oleh ekonom yang memahami teori ekonomi.

“Tarif resiprokal yang disampaikan oleh Amerika terhadap 60 negara menggambarkan cara perhitungan tarif tersebut, yang saya rasa semua ekonom yang sudah belajar ekonomi tidak bisa memahami dasar perhitungannya,” ucapnya.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan Trump hanya bertujuan untuk menutup defisit neraca perdagangan AS dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia.

“Tidak ada ilmu ekonominya di situ, menutup defisit perdagangan AS. Ini benar-benar berbasis transaksi, bukan ilmu ekonomi,” kritiknya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga menyayangkan bahwa kebijakan tersebut menghapuskan manfaat dari hubungan persahabatan antarnegara.

“Indonesia berharap masih ada dampak positif dari negara-negara yang berkawan, namun sekarang justru kebijakan Trump menghilangkan benefit dari hubungan bilateral,” lanjut Sri Mulyani.

Selain itu, Sri Mulyani mengungkapkan bagaimana negara-negara lain, seperti China dan Vietnam, bereaksi terhadap kebijakan tarif AS. China, misalnya, membalas dengan menetapkan tarif balasan sebesar 34 persen, yang kemudian dibalas oleh Trump dengan ancaman untuk menaikkan tarif tersebut menjadi 50 persen.

Sementara itu, Vietnam yang berusaha menurunkan tarif menjadi 0 persen agar terhindar dari tarif resiprokal justru tidak mendapat respons positif dari AS.

“Berbagai negara mungkin menggunakan pendekatan diplomasi dan negosiasi, tetapi hasilnya tidak selalu memuaskan. Seperti Vietnam yang berjanji untuk tarif 0 persen, tetapi AS tetap menilai itu tidak memadai,” jelas Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga mengingatkan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS dalam waktu singkat mengubah peta perdagangan dunia yang sebelumnya berbasis aturan yang jelas menjadi penuh ketidakpastian.

“Ini menggambarkan bahwa dunia yang tadinya berbasis aturan sekarang tidak ada lagi kepastian. Kita harus terus waspada dalam mengelola ekonomi,” pungkasnya.

Continue Reading

News

Prabowo Ajak Dialog Tokoh “Indonesia Gelap”, Mau Bahas Apa?

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com – Presiden Prabowo Subianto menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan tokoh atau kelompok masyarakat yang sempat menyuarakan isu “Indonesia Gelap” hingga “kabur aja dulu” yang viral beberapa waktu lalu.

Dalam wawancara dengan tujuh jurnalis senior di kediamannya di Hambalang, Bogor, pada Jumat (6/4), Prabowo menegaskan bahwa ia menginginkan pertemuan tersebut dilakukan secara tertutup.

“Saya ingin dialog. Saya mau bertemu dengan siapa saja. Mari kita bahas bersama, mungkin tidak perlu di publik. Tokoh-tokoh yang menyuarakan ‘Indonesia Gelap’,” kata Prabowo.

Prabowo juga menanggapi kritik yang menyebutkan Indonesia dalam keadaan gelap. Ia menyatakan bahwa jika kondisi tersebut benar, maka tugas semua pihak untuk bekerja keras agar Indonesia tidak dalam kondisi seperti itu.

“Mari kita bekerja bersama, kita atasi masalah ini. Kita harus bisa membuat Indonesia lebih baik, bukan malah mencari kesalahan tanpa solusi,” imbuhnya.

Meskipun dunia sedang menghadapi tantangan ekonomi global, Prabowo tetap optimis. Ia menilai Indonesia telah teruji menghadapi berbagai krisis sejak tahun 1968, 1998, 2008, hingga pandemi COVID-19. Menurutnya, kunci untuk melewati masa-masa sulit adalah kerukunan di dalam masyarakat.

Di kesempatan tersebut, Prabowo juga menanggapi sejumlah kritik terhadap program makan bergizi gratis yang ia canangkan. Ia menjelaskan bahwa tujuannya adalah untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, khususnya stunting yang banyak terjadi di desa-desa. “Apa salahnya memberi makan anak yang kekurangan gizi?” tegasnya. Prabowo menggambarkan kondisi memilukan yang ditemuinya di lapangan, di mana anak-anak usia 10 tahun terlihat seperti berusia 5 tahun akibat kekurangan gizi.

“Saya melihat anak-anak yang badannya kurus dan kecil, padahal usianya sudah 10 tahun. Ini adalah masalah serius, dan kita harus melakukan sesuatu untuk mengatasinya,” ujar Prabowo.

Continue Reading

News

Naikkan HPP Gabah, Petani Apresiasi Prabowo

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com – Para petani di berbagai daerah sentra produksi padi di Indonesia menyatakan rasa syukur dan kebahagiaan mereka atas kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah menjadi Rp6.500 per kilogram.

Kebijakan ini dinilai memberikan dampak positif bagi pendapatan petani sekaligus mendorong peningkatan produktivitas pertanian di tanah air.

Joko (47), Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, menyatakan kebahagiaannya atas kebijakan ini. Menurutnya, harga gabah yang lebih tinggi telah membantu meningkatkan hasil pertanian di daerahnya.

“Kami sangat bersyukur dengan kebijakan Bapak Presiden. Harga gabah naik menjadi Rp6.500 per kilogram, dan pupuk juga mudah didapatkan,” ungkap Joko di Majalengka, Senin (7/4).

Lebih lanjut, Joko menjelaskan bahwa dalam dua tahun terakhir, produksi padi di Ngawi meningkat signifikan, dengan petani kini bisa panen hingga tujuh kali dalam dua tahun. Ia juga memberikan apresiasi atas langkah cepat Perum Bulog yang langsung turun ke lapangan untuk menyerap hasil panen petani.

“Alhamdulillah, Bulog bergerak cepat. Harapan kami, sistem penyalurannya bisa terus disederhanakan agar tengkulak tidak lagi bermain di sektor pertanian,” tambahnya.

Ketua Gapoktan Sumber Makmur di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, menyampaikan hal serupa. Ia mengucapkan terima kasih kepada Presiden Prabowo dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman atas perhatian yang diberikan kepada petani.

“Alhamdulillah, pengolahan lahan pertanian semakin baik, pupuk lancar, harga gabah stabil, dan irigasi berfungsi dengan baik. Semua ini berkat kepemimpinan Presiden Prabowo,” katanya.

Petani di Banten bahkan merasakan peningkatan hasil panen yang signifikan, dengan rata-rata hasil panen mencapai 10,2 ton per hektare, naik tajam dari 7,5 ton per hektare pada tahun sebelumnya.

“Pupuk lancar, penghasilan meningkat. Petani benar-benar merasakan manfaatnya,” ucapnya.

Kebijakan kenaikan HPP gabah ini diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam acara Panen Raya Serentak yang digelar di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, di mana Presiden juga turut mengoperasikan combine harvester, alat panen modern yang menjadi simbol kemajuan mekanisasi pertanian Indonesia.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa kebijakan ini adalah bentuk nyata keberpihakan pemerintah terhadap petani. Ia menambahkan, lebih dari 100 juta petani di Indonesia akan merasakan manfaat langsung dari kenaikan harga gabah.

“Terima kasih dari petani Indonesia. Harga gabah naik menjadi Rp6.500 per kilogram. Ini adalah kebahagiaan besar bagi seluruh petani,” kata Amran.

Menutup acara panen raya, Presiden Prabowo menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh petani Indonesia. Ia menegaskan bahwa petani adalah pahlawan pangan yang harus dimuliakan.

“Kami bangga mengabdi kepada rakyat. Tidak ada panggilan lebih mulia daripada membela petani. Karena itu, petani harus dimuliakan, harus makmur. Kami akan buktikan itu bersama-sama,” tegas Presiden Prabowo.

Continue Reading

News

Diplomasi Tarif, Prabowo Tunjukkan Taring

Ketika tensi perang dagang memanas, Presiden Prabowo Subianto tak memilih jalur keras atau tunduk begitu saja. Ia justru menyalakan semangat negosiasi, menyuarakan prinsip kesetaraan dalam hubungan ekonomi global.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Ketika tensi perang dagang memanas, Presiden Prabowo Subianto tak memilih jalur keras atau tunduk begitu saja. Ia justru menyalakan semangat negosiasi, menyuarakan prinsip kesetaraan dalam hubungan ekonomi global.

Di tengah gelombang proteksionisme dan pengetatan tarif global, terutama dari Amerika Serikat, Presiden Prabowo Subianto mengambil sikap yang mengejutkan sekaligus menggugah: siap berunding. Bukan dengan nada menantang, bukan pula dengan sikap inferior, melainkan dengan semangat setara dan energik. Ia menyampaikan dengan tegas bahwa Indonesia terbuka untuk dialog—termasuk dengan kekuatan ekonomi raksasa seperti AS—selama prinsip keadilan dan kesetaraan dijunjung tinggi.

“Kita akan berunding dengan semua negara, kita juga akan buka perundingan sama Amerika,” ujar Prabowo dalam siaran langsung dari Jakarta. Kata-kata itu sederhana, namun sarat makna strategis. Ia ingin menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara yang bisa ditekan begitu saja oleh kebijakan ekonomi unilateral. Tetapi juga bukan negara yang gegabah dalam menyikapi dinamika perdagangan global.

Pernyataan Prabowo datang pada saat yang krusial. Dunia tengah bergulat dengan ketidakpastian ekonomi, rantai pasok terganggu, dan negara-negara mulai mengadopsi kebijakan inward-looking demi menyelamatkan industri domestik mereka. AS, sebagai salah satu motor utama perdagangan dunia, memutuskan mengenakan tarif resiprokal kepada sejumlah negara—termasuk Indonesia. Ini bukan pukulan ringan, melainkan tantangan strategis yang harus direspons dengan kepala dingin dan visi yang jernih.

Di sinilah letak keunggulan pendekatan Prabowo. Alih-alih terpancing dalam narasi konflik, ia justru menyodorkan diplomasi. Tapi bukan diplomasi yang lemah—ini adalah diplomasi berbasis kepentingan nasional. Ia menyadari bahwa pemimpin Amerika tentu ingin melindungi rakyatnya, maka Indonesia pun berhak dan wajib menjaga kepentingan bangsanya sendiri. Dalam konteks inilah, perundingan menjadi arena di mana Indonesia tidak datang sebagai pihak lemah, tetapi sebagai mitra sejajar.

“Kita ingin hubungan yang baik, kita ingin hubungan yang adil, kita ingin hubungan yang setara,” ucap Prabowo, penuh determinasi. Ini adalah sinyal kuat bahwa era baru hubungan luar negeri Indonesia sedang digulirkan: tidak mendikte, tapi juga tidak didikte. Retorika ini bukan sekadar pernyataan normatif, tetapi juga refleksi dari kesiapan Indonesia untuk memperkuat daya saing dalam lanskap global yang terus berubah.

Lebih dari sekadar bicara tarif, ini adalah pernyataan identitas. Indonesia ingin didengar, dihormati, dan dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan global yang berdampak langsung pada rakyatnya. Jika nanti perundingan menghasilkan kesepakatan yang masuk akal, Indonesia siap menerimanya. Tapi jika tidak, negara ini pun siap menegakkan prinsipnya dengan tetap menjaga stabilitas dan hubungan internasional yang konstruktif.

Dalam pernyataan lanjutannya, Prabowo bahkan menegaskan bahwa rakyat Indonesia tidak perlu cemas. Tidak ada yang perlu ditakuti dari tekanan ekonomi luar, sebab bangsa ini memiliki kekuatan sendiri. Kekuatan itu bukan hanya dalam bentuk sumber daya alam atau jumlah penduduk yang besar, tetapi juga dalam bentuk tekad untuk berdiri tegak, menghadapi dunia dengan kepala tegak, dan berani menyuarakan kepentingan nasional dalam setiap forum internasional.

Presiden Prabowo tidak sedang mengobarkan api konflik, tapi menyalakan obor kepercayaan diri nasional. Ia tidak memulai perang dagang, tapi juga tidak akan membiarkan Indonesia terseret tanpa posisi tawar. Di tengah dunia yang semakin multipolar dan penuh tantangan, semangat negosiasi setara yang ditawarkannya adalah jalan tengah yang cerdas dan strategis.

Continue Reading

News

Panen Raya di Majalengka: ini Nasehat Prof Rokhmin untuk Presiden Prabowo

Panen raya di Majalengka jadi momentum pengingat pentingnya kedaulatan pangan dan keberpihakan pada petani lokal sebagai fondasi ketahanan bangsa.

Natsir Amir

Published

on

Monitorday.com – Di tengah hamparan sawah Majalengka yang menguning, hadir pemandangan luar biasa: Presiden, menteri, anggota DPR, hingga petani, bersatu dalam panen raya serentak. Momentum ini bukan sekadar simbol seremonial, tetapi panggilan untuk membumikan kembali makna kedaulatan pangan Indonesia.

Langit Majalengka seakan ikut berseri ketika bulir padi menguning siap panen. Di sanalah, Senin (7/4), hadir pemandangan yang jarang terlihat: Presiden Prabowo Subianto, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menko Pangan Zulkifli Hasan, Gubernur Jawa Barat, dan para pemangku kebijakan dari pusat hingga daerah duduk sejajar dengan para petani dan penyuluh. Di tengah mereka, Anggota Komisi VI DPR RI, Prof. Rokhmin Dahuri, dengan semangat mengingatkan bahwa pangan adalah urat nadi bangsa—dan Indonesia belum sepenuhnya sadar akan pentingnya itu.

“Negara harus hadir secara nyata dalam sektor pertanian,” seru Guru Besar IPB University itu.

Kalimat ini mengandung energi, sekaligus kegelisahan. Sebab selama ini, negeri yang dikenal sebagai zamrud khatulistiwa justru masih terlalu bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

Bukankah ironis, ketika tanah yang subur justru menyisakan kekhawatiran akan masa depan pangan?

Panen raya ini bukan hanya soal hasil tani, tapi juga tentang harapan yang ditanam. Di balik setiap bulir padi, ada peluh petani yang jarang terlihat oleh sorotan kebijakan. Sering kali, mereka tertinggal oleh narasi pembangunan yang lebih berpihak pada industrialisasi, padahal dari tangan merekalah kehidupan ini tumbuh.

Ketua Dulur Cirebonan ini tidak hanya datang untuk menyaksikan hasil panen. Ia datang membawa pesan besar: kedaulatan pangan harus dimulai dari keberpihakan pada petani lokal.

Menteri KKP era Presiden Gus Dur dan Megawati ini juga mendorong kolaborasi nyata antara semua pihak—dari pembuat kebijakan, akademisi, hingga masyarakat—untuk membangun ekosistem pertanian yang tangguh, mandiri, dan berkelanjutan. Menurutnya, pangan tak boleh lagi menjadi isu musiman yang hanya ramai saat krisis. Ia harus menjadi agenda tetap dalam setiap pembangunan.

Ada semacam urgensi dalam suaranya. Karena jika lahan pertanian terus menyusut dan generasi muda enggan bertani, siapa yang akan memastikan piring kita tetap terisi?

Saat ini, regenerasi petani menjadi tantangan besar. Tanpa insentif yang memadai dan perlindungan yang kuat, pertanian tak lagi terlihat sebagai masa depan yang menjanjikan.

Namun hari itu, Majalengka memberi harapan. Ketika para pengambil keputusan duduk bersama rakyat, ketika panen menjadi perayaan bersama, ketika komitmen diucapkan tidak hanya dalam pidato, tapi juga di tengah lumpur sawah—saat itulah semangat swasembada kembali menyala. Energi dari tanah, air, dan kerja keras petani seolah menjalar hingga ke pusat-pusat kekuasaan.

Sudah saatnya Indonesia serius dengan pangan. Bukan hanya soal memenuhi perut, tapi membangun martabat. Sebab bangsa besar adalah bangsa yang bisa memberi makan rakyatnya dari tanahnya sendiri. Dan hari itu di Majalengka, kita diingatkan kembali akan mimpi itu—bahwa dengan tekad dan keberpihakan, mimpi itu bukan mustahil terwujud.

Continue Reading

News

Israel Larang Jurnalis Masuk Masjid Al Aqsa, Pemukim Ilegal Justru Diizinkan Masuk

Yusuf Hasyim

Published

on

Monitorday.com – Otoritas pendudukan Israel kembali menuai kecaman setelah melarang jurnalis Firas al-Debs, pegawai Departemen Wakaf Islam, memasuki Masjid Al Aqsa selama tiga bulan. Larangan ini menambah jumlah jurnalis yang disanksi menjadi 15 orang sejak awal bulan lalu, menurut Serikat Jurnalis Palestina.

Larangan terhadap al-Debs dijatuhkan usai dua kali diinterogasi, termasuk pada hari Jumat terakhir Ramadan, dan kembali dipanggil Minggu (6/4/2025) untuk menerima perpanjangan larangan masuk.

Ironisnya, di saat yang sama, lebih dari 500 pemukim Israel justru diizinkan memasuki kompleks Al Aqsa di bawah perlindungan ketat pasukan Israel, seperti dilaporkan Saudi Gazette. Aksi ini disebut sebagai bagian dari provokasi menjelang libur Paskah Yahudi yang dimulai 12 April.

Sepanjang Ramadan lalu saja, Masjid Al Aqsa diserbu 21 kali dan tercatat 13.064 pemukim ilegal telah memasuki kompleks ini secara sepihak pada kuartal pertama 2025, menurut data Kementerian Wakaf Palestina.

Penyerbuan yang hampir terjadi setiap hari sejak 2003—kecuali Jumat dan Sabtu—dikecam luas oleh warga Palestina dan masyarakat internasional, terutama karena Al Aqsa adalah situs suci bagi umat Islam dan simbol perlawanan rakyat Palestina.

Masjid Al Aqsa sendiri berada di wilayah Yerusalem Timur yang direbut Israel dalam Perang 1967 dan kemudian dicaplok secara sepihak pada 1980, sebuah tindakan yang tak diakui oleh banyak negara di dunia.

Continue Reading

News

Sensor Mata-mata Rusia Ditemukan Inggris, Di Mana?

Hendi Firdaus

Published

on

Monitorday.com – Militer Inggris baru-baru ini menemukan sejumlah sensor yang diduga milik Rusia di dasar laut mereka. Sensor-sensor tersebut diyakini digunakan untuk memata-matai kapal selam nuklir Inggris, yang membawa rudal nuklir.

Temuan ini pertama kali dilaporkan oleh Sunday Times pada Minggu (6/4), yang mengutip sumber dari AFP.

Angkatan Laut Kerajaan menemukan beberapa perangkat yang tertanam di dasar laut, sementara sebagian lainnya terdampar di pantai. Penemuan ini menambah kekhawatiran Inggris mengenai ancaman pengintaian di perairan mereka.

Kepala militer dan intelijen Inggris menduga perangkat-perangkat tersebut dirancang untuk mengumpulkan informasi mengenai empat kapal selam nuklir Inggris yang terlibat dalam operasi militer.

“Tidak diragukan lagi, ada perang yang berkecamuk di Atlantik. Ini adalah permainan kucing dan tikus yang telah berlanjut sejak berakhirnya Perang Dingin, dan kini semakin memanas,” ujar seorang tokoh senior militer Inggris kepada Sunday Times.

Laporan investigasi yang dilakukan selama tiga bulan juga menyebutkan penemuan kendaraan tak berawak Rusia yang terdeteksi mengintai di sekitar kabel komunikasi laut dalam.

Selain itu, pemerintah Inggris juga memperoleh “intelijen yang kredibel” bahwa superyacht milik oligarki Rusia mungkin digunakan untuk melakukan pengintaian bawah laut.

Situasi ini semakin memperburuk ketegangan di perairan internasional, di tengah ancaman yang terus berkembang antara Rusia dan negara-negara Barat.

Continue Reading

Monitor Saham BUMN



News31 minutes ago

Impor Bebas, Pajak Naik, Peternak Tersingkir?

Sportechment4 hours ago

Hansi Flick Ingatkan Barcelona Tidak Jemawa Jelang Lawan Borussia Dortmund

Sportechment4 hours ago

Megawati Gagal Antar Red Sparks Juarai Liga Voli Korea Meski Cetak Poin Tertinggi

News4 hours ago

Hamas Apresiasi Langkah Uni Afrika Usir Dubes Israel dari Konferensi Genosida Rwanda

Sportechment5 hours ago

Madonna dan Elton John Akhirnya Berdamai Usai 20 Tahun Berseteru

Sportechment5 hours ago

D’Masiv Siap Konser Perdana di Jepang, Catat Tanggalnya

News5 hours ago

Prabowo dan Megawati Gelar Pertemuan di Teuku Umar, Ini yang Dibahas

News6 hours ago

Kritisi Kebijakan Tarif Impor AS, Sri Mulyani Sebut Trump Tidak Berdasarkan Ilmu Ekonomi

Ruang Sujud8 hours ago

Menjadi Kaya Tanpa Terikat: Seni Zuhud di Era Modern

Ruang Sujud10 hours ago

Zuhud Bukan Anti-Kemajuan: Menggali Hikmah di Tengah Kemewahan Dunia

Ruang Sujud14 hours ago

Rahasia Ketenangan Hati: Menyelami Makna Zuhud dalam Kehidupan Sehari-hari

Sportechment18 hours ago

Viral di Malaysia dan Indonesia, Serial ‘Bidaah’ Pecahkan Rekor Penayangan

Ruang Sujud18 hours ago

Zuhud di Era Digital: Menjadi Hamba yang Merdeka dari Dunia

News18 hours ago

Prabowo Ajak Dialog Tokoh “Indonesia Gelap”, Mau Bahas Apa?

News19 hours ago

Naikkan HPP Gabah, Petani Apresiasi Prabowo

Sportechment19 hours ago

Pastikan Timnas Indonesia ke Piala Dunia U-17 2025, Erick Thohir Ingatkan Hal Ini

News19 hours ago

Diplomasi Tarif, Prabowo Tunjukkan Taring

Sportechment1 day ago

Cukur Yaman 4-1, Timnas Indonesia OTW Piala Dunia U-17 2025

Ruang Sujud1 day ago

Amal Saleh: Investasi Abadi yang Mengalir Setelah Kematian

Ruang Sujud1 day ago

Amal Saleh dalam Perspektif Generasi Z: Antara Konten dan Keikhlasan