Connect with us

News

Netralitas Universitas

Guru Besar tidak berdiri sendiri-sendiri atas satu kehendak politik semata. Guru Besar adalah salah satu institusi pengetahuan yang penting bagi kehidupan akademik maupun bangsa dan bernegara kita. Oleh karenanya suara dari civitas akademika menjadi satu hal yang penting untuk kembali kita cermati. Baik itu sebagai satu motif politik ataupun satu gerakan yang berbasis moralitas. Karena kita ingin Universitas menjadi salah satu sarana Netralitas.

Abi Rekso Panggalih

Published

on

Universitas sebagai sebuah institusi pendidikan bertujuan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-undang dasar pada BAB XIII Tentang Pendidikan Pasal 31 ayat 2. Yang berbunyi; ‘Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang’.

Tentulah hal ini menjadi pedoman penting dalam menjalankan fungsi-fungsi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam spirit pendirian Republik Indonesia harus kita pegang teguh secara seksama. Karena pendidikan dalam esensi fundamentalnya adalah mencerdaskan dan memastikan hak-hak pengajaran pada segenap bangsa Indonesia.

Begitupun terma Guru Besar yang tersemat kepada para dosen-dosen senior sivitas akademika. Perlu kita ingat, pembubuhan gelar Guru Besar pada setiap insan pendidikan tidak bisa secara brutal dan semena-mena dalam setiap aktivitas kegiatan. Guru Besar adalah pemberian gelar kehormatan kepada insan pendidikan oleh Negara atas satu pencapaian pengabdian di bidang ilmunya masing-masing.

Negara secara mekanisme perundang-undangan dan prasyarat yang telah ditetapkan memberikan gelar tersebut kepada masing-masing insan yang dianggap layak.

Dalam UU No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Guru Besar dijelaskan bahwa berkedudukan sebagai jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih aktif melakukan pengajaran di lingkungan Universitas.

Artinya apa, penyertaan gelar Guru Besar bukan datang dari kedaulatan rakyat. Mereka bukan dipilih oleh rakyat. Gelar itu diberikan oleh Negara melalui melalui mekanisme Pemerintah yang kemudian juga kembali disahkan dan ditetapkan dengan surat keputusan pemerintah.

Sehingga secara kepantasan etika fungsional, para Guru Besar sesungguhnya tidak bisa disangkut-pautkan bahwa mereka mewakilkan rakyat. Mereka sepatutnya bertindak atas dasar kepentingan ‘Ilmu Pengetahuan’ dan ‘ekosistem pendidikan’. Jika, pemerintahan hari ini dianggap merusak keberlangsungan proses pendidikan dan tidak mampu memenuhi kewajiban dalam aspek pendidikan. Barulah dalam poin itu Guru Besar menjadi sangat urgen untuk melakukan perlawanan terhadap Pemerintah.

GURU BESAR SEBAGAI INSTITUSI VS KEHENDAK POLITIK SEBAGAI PRIBADI

Guru Besar dalam satu lingkup Universitas diatur baik secara norma, etika dan profesionalisme. Sejatinya jabatan itu aktif secara otomatis dalam lingkungan universitas. Fasilitas dan kewenangan juga menyertai Guru Besar dalam lingkungan universitas dan aktivitas kegiatan penyelenggaraan pendidikan.

Kendati begitu, satu langkah kakinya keluar dari teritorial Universitas mereka adalah warga negara Indonesia yang berhak untuk berbicara secara politik bebas sesuai aspirasi pribadi maupun kelompok yang dinaungi. Meskipun tetap terbatas untuk secara terbuka karena diatur dalam UU No. 20 Tahun 2023 Tentang ASN. Mereka dituntut untuk netral secara pilihan politik dalam ruang publik.

Dengan begitu kita bisa mengerti sekarang, bahwa suara para Guru Besar hanya bisa aktif dan bernilai jika itu diadakan di dalam lingkungan Universitas. Dengan baju kebesaran yang buah dari pemberian pemerintah, kembali mereka gunakan untuk melawan pemerintah.

Tentu, Guru Besar juga punya tanggung jawab untuk memperbaiki negara atau bahkan menyuarakan aspirasinya. Tetapi tidak dengan metode recehan dengan mobilisasi di lingkungan Universitas lantas menyerukan ‘Pemerintah Telah Gagal’.

Agar lebih terhormat dan bermartabat, sepantasnya Guru Besar Universitas membangun satu simposium nasional yang merumuskan sekaligus mengevaluasi kinerja pemerintahan yang sedang berlangsung. Inilah yang semestinya dilakukan dalam kapasitas Dewan Guru Besar. Mereka bertindak bukan atas kehendak politik elektoral. Melainkan karena tanggung jawab ilmu pengetahuan dan sistem pendidikan.

UNIVERSITAS BOLEH MEMBAHAS POLITIK

Sikap-sikap infantil beberapa Guru Besar harus terus kita respon secara arif dan bijaksana. Pada prinsipnya Universitas adalah sebuah gelanggang ilmu pengetahuan dan ilmu yang secara bebas boleh dibicarakan. Apalagi dalam aspek politik yang menjadi nyawa dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Namun, seringkali ada standar ganda dalam kehidupan akademik universitas. Satu sisi, Universitas enggan bahkan melarang perdebatan politik masing-masing tim kandidat yang bertarung dalam Pemilu. Tetapi, secara diam-diam para sivitas akademik menjadi bagian dari perumus program dan kampanye masing-masing paslon.

ini juga menjadi paradoks dalam aktivitas pendidikan politik dikalangan Universitas. Seringkali juga Guru Besar dengan kedok Universitas memiliki standar ganda dalam suksesi elektoral politik.

Mungkin baiknya, sejak awal Universitas membuka diri kepada semua pasangan calon yang akan bertanding untuk juga memberikan ruang-ruang diskursus politik di lingkungan universitas. Beberapa Universitas besar sudah melakukan hal itu, tetapi masih dianggap tabu bagi universitas-universitas lain.

Kaitannya terkait dengan sikap oknum Guru Besar yang menyatakan pemerintahan Presiden Jokowi telah gagal dalam menjalankan tanggungjawabnya. Juga sangat disayangkan, karena lebih kepada motiv elektoral ketimbang persoalan kebangsaan yang lebih besar.

Sejumlah guru besar, dosen, dan mahasiswa UGM saat membacakan petisi peringatan untuk Presiden Jokowi. Foto/Istimewa

Jika, oknum-oknum Guru Besar ini memang merasa dan menilai bahwa ada banyak kegagalan dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Tentu kegelisahan itu semestinya tiba sejak satu atau dua tahun lalu. Dimana, masih banyak waktu dan ruang diskursus kenegaraan bisa kita bedah dan berikan masukan. Kenapa, kegelisahan itu baru muncul, sekarang menjelang waktu Pemilu?

Tentu akan jauh lebih terhormat, jika masing-masing oknum Guru Besar menyatakan sikap dukungan politiknya terhadap salah satu pasangan calon. Atau jika pun ada satu misi atau agenda pendidikan yang akan dititipkan kepada semua masing-masing paslon dengan memberikan satu hasil simposium akademik nasional untuk Indonesia masa depan.

hal inilah yang semestinya dikerjakan pada Guru Besar dalam menjaga obor ilmu pengetahuan dan ilmu bagi keberlangsungan Indonesia.

Salam Rakyat Akal Sehat.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *